[ Gus Dur dan Gurunya ] |
Tiga bulan lebih saya menunggu sehingga saya bisa mewawancarainya. Sejak medio Oktober, menjelang pemilihan Presiden sampai Ahad malam Senin setelah waktu Isyak 6 Februari kemarin baru bisa ketemu. Lama memang, karena permohonan wawancara, satu-satunya cara untuk menyampaikannya melalui pos biasa. Di samping itu, dia harus mengetahui betul siapa saya --juga siapa saja yang ingin menemui dan mewawancarainya yang belum dikenalnya. Sehingga saya harus mengirim surat dua kali: surat yang pertama menceritakan pengaruh pemikirannya di Indonesia di samping menyatakan ingin ketemu dengannya, dan yang kedua saya harus menyebutkan data pribadi secara singkat-jelas dan disertai pas foto, dan mengutarakan apa maksud dari wawancara itu. "Demi keamanan", katanya saat menelpon saya menjelaskan alasan menyertakan data pribadi. Dalam hal security, ia memang sangat ketat sekali karena saya pikir ia sadar ide-idenya yang tertuang dalam berbagai karyanya sangat kontroversial, terutama bagi kalangan Islamiyyin yang masih memasyarakat luas di Mesir. Ia pun tak mudah meninggalkan nomor telpon, apalagi untuk saya yang baru dikenalnya lewat surat. Alamatnya saya dapat dari bukunya. Dan kayaknya ia sengaja menyertakan alamatnya di setiap karya-karyanya agar orang yang ingin menemuinya atau mengkritiknya bisa menyuratinya. Muhammad Saad Al-Asymawi adalah salah satu pemikir Mesir yang telah mempengaruhi pemikiran Gus Dur, khususnya mengenai hubungan agama dan negara. Selain dia adalah Hassan Hanafi penggagas Kiri Islam yang sampai sekarang masih menjabat sebagai Dekan Fakultas Adab Universitas Kairo, dan Nasr Hamid Abu Zayd yang pernah dikafirkan karenanya diwajibkan mencerai istrinya tapi akhirnya ia melarikan diri ke Belanda sampai sekarang. Al-Asymawiy lahir di Kairo pada 1932 (3 tahun lebih tua dari Hassan Hanafi [lahir di Kairo pada 1935], 8 tahun lebih tua dari Gus Dur [lahir pada 1940]). Memperoleh Sarjana Hukum dari Cairo University pada 1954, pernah belajar hukum di Harvard University di USA, mantan Ketua Mahkamah Agung Mesir. Telah menulis lebih dari 20 buku dalam bahasa Arab, Inggris, dan Perancis dengan tema-tema utama seputar hubungan agama dan negara, kerukunan umat beragama, syari'at Islam, dan tema-tema penting lainnya. Beberapa karyanya di antaranya adalah :
Bahasa Inggris
Bahasa Perancis
***
Dari wawancara sekitar 45 menit itu, saya menangkap bahwa dia masih konsis dengan pemikiran-pemikirannya yang telah ditulisnya sejak dekade 1970-an. Sayang dia tak mau direkam. Ketika saya mengeluarkan walkman, dia buru-buru menolaknya. "Kalau mau menulis, silahkan ditulis, saya mendikte", katanya. Berikut ini poin-poin utama pernyataan yang didiktekan ke saya itu,
yang sebagian pemikirannya itu juga pernah saya tulis dalam artikel saya
di Duta Masyarakat Baru edisi 16 Oktober 1999, "PKB
Benar-benar Telur":
Yaitu hasil pemikiran manusia biasa yang mungkin salah dan sama sekali tak boleh dikultuskan. Boleh saja bagi orang lain untuk melanggarnya, merubah dan menggantinya. Begitu juga jika kita mendefinisikan lafaz 'hukm' sebgaimana yang terdapat dalam Qur'an, maka akan jelas bahwa yang dimaksud hukm disitu adalah memecahkan sengketa-sengketa atau sebuah tindakan --dalam sekala sempit-- tidak melalui kekuasaan negara secara luas. Selain itu, bisa juga diartikan sebagai 'kedewasaan' dan 'hikmah'. Pengartian kata hukm sebagai tindakan politis secara luas, adalah merupakan dampak perkembangan sejarah saja --yang pada dasarnya tak bisa dijadikan tendensi penafsiran Qur'an. Karena menafsiri Qur'an berdasar perkembangan sejarah bisa menimbulkan pertentangan dan penyimpangan makna. Demikian juga dengan kata-kata iman, islam, dll. 2. Menafsiri Qur'an berdasar sababunnuzul, tidak berdasar kalimat-kalimatnya
secara leksikal ('umum al-lafdh). Misalnya sababunnuzul-nya surat al-Maidah
ayat 44 yang dimaksudkan kepada kaum Yahudi Madina pada masa Nabi. Berdasar
ayat ini sering muncul anggapan bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah
berlawanan dengan syari'at, karenanya harus dilawan. Ayat ini dipakai sebagai
ideologi politik dengan tafsiran yang salah, berlawanan dengan agama, dan
tak sesuai dengan syari'at. Runtutan ayat dari ayat
3. Memisahkan politik dari agama, dengan arti bahwa tindakan seorang politikus adalah manusiawi yang tak luput dari kesalahan. Tapi bisa saja dikritik dan ditolak, tanpa ada tekanan-tekanan pada pengkritik. Jika tidak demikian, Pendapat yang berlawanan dengan itu akan berakibat melindungi kekuatan penguasa sekiranya tak bisa didebat dan dilawan. Sehingga semua tindakan-tindakan politis berubah menjadi tindakan-tindakan muqaddas dan hal-hal yang terlarang yang bisa mengakibatkan perdebatan-perdebatan agama, baik antara pemerintah dan oposisi. Mencampur-aduk antara urusan agama dan negara berarti merubah agama menjadi sekedar idiologi. Sejarah telah membuktikan bencana 'fitnah kubra' masa khalifah ketiga, Utsman bin Affan, yang sebenarnya merupakan dampak pencapuradukan wilayah agama dan politik. Pihak-pihak oposisi memberontak dan menghalalkan darah Utsman karena kebijaksanaan-kebijaksanaannya, sebaliknya juga Utsman berpandangan bahwa pihak-pihak oposisi telah kufur karena berani melawan khalifah yang menurutnya tak mungkin salah. 4. Membedakan antara kata 'ummat' (golongan) dan 'daulah' (negara).
Kata 'ummat' berasal dari bahasa 'Ibriy yang berarti kabilah atau golongan.
Sebagaimana yang termaktub dalam Qur'an, "annahum kawwanuu ummatan waahidatan"
(sesungguhnya mereka adalah ummat yang satu), yang mempunyai dasar hubungan
agama yang sama antara masing-masing individu. Sementara daulah, sekarang
ini berarti mekanisme aturan-aturan yang mengikat berbagai golongan yang
berlainan ras dan akidah. Dan hubungan antara masing-masing
Begitulah pesan-pesan utama Al-Asymawi, yang sebagian seluruhnya telah dilakukan Gus Dur, dan menjiwai langkah-langkahnya. Poin pertama nampak pada tingkah laku Gus Dur yang tak mudah mengikuti pendapat-pendapat ulama. Berjabat tangan dengan orang perempuan, oleh sebagian ulama diharamkan, namun karena dia punya alasan lain, maka menurutnya hal itu tak apa-apa dilakukan. Kasus itu menyiratkan kesadarannya akan perbedaan antara syari'ah dan fiqih. Dan banyak kenylenehan Gus Dur lainnya yang berhubungan dengan persoalan fiqihiyyah. Dalam memakai prisip sababunnuzul pun ia nampak sekali mempraktekkannya. Misalnya ketika ia berpandangan bahwa poligami itu tidak boleh. Karena pada dasarnya nas-nas yang menyiratkan halalnya poligami itu terjadi pada masa-masa kenabian yang dekat sekali dengan masa jahiliyyah. Di mana masyarakatnya yang memandang sangat rendah perempuan. Jadi sifatnya untuk menerapkan hukum secara gradual. Dan ketika sekarang sampai pada masa kesetaraan laki-laki dan perempuan, maka hukum itu tak berlaku lagi. Dan pada prinsip ketiga dan keempat di atas, Gus Dur nampak menjiwai betul. Pandangan-pandangannya mengenai hubungan agama dan negara, dan sikap-sikapnya yang egaliter, terbuka, dan pluralis menunjukkan itu. Persamaan Selain persamaan pemikiran di atas, antara Gus Dur dan Al-Asymawi, ada persamaan lain yang unik dan menarik dicatat. Pertama kesukaan Gus Dur pada musik klasik, rasanya tak beda dari Al-Asymawi. Begitu saya masuk ruang tamunya, dia memutar musik klasik. Entah, saya kurang menjiwai musik klasik. Kayaknya tidak Bethoven 9 yang sangat masyhur itu, namun yang jelas yang diputarnya adalah musik klasik. Dan kedua, keduanya sama-sama menantang Barat. Ketika selesai wawancara dan melangkah keluar ruang tamunya, dia memesan dengan nada pasti, "Kita jangan sampai meniru Barat, tapi harus menggali nilai-nilai dalam Islam sendiri". Seperti kita tahu, Gus Dur sangat menentang hegemoni Barat terutama Amerika. Begitu jadi presiden dia mempromosikan semangatnya untuk menggalang kekuatan Asia. Bahkan pada abad 20 kemarin, Gus Dur menyatakan penghargaannya yang tinggi kepada Imam Khomeini sebagai "wali abad ini", karena kepahlawanannya memimpin revolusi Islam Iran 1979. Titik persamaan kedua ini, semua tokoh dan pemikir muslim tak ada yang tak senang, tak hanya Gus Dur dan Al-Asymawi. Gurunya Gus Dur yang lain, Hassan Hanafi menyamakan revolusi itu setingkat dengan Revolusi Perancis. Lebih dari itu dia mengambil momen Revolusi Iran untuk menerbitkan jurnal Kiri Islam-nya. Dia juga telah menulis buku khusus bertitel "Oksidentalisme" ('Ilmu al-Istighrab) sebagai tandingan dari orientalisme. "Saya mencintai Indonesia, dan Abdurrahman Wahid presidenmu itu telah menjadi muridku", katanya yang sangat mengesankan. Tak salah kalau Gus Dur suatu saat pernah menulis "Bukankah orang-orang seperti mereka yang akan membawa Islam ke masa depan dengan damai dan sarat dengan nuansa kemanusiaan?", ketika mengomentari perjuangan Hassan Hanafi, Al-Asymawi, dan Nasr Abu Zayd, guru-gurunya.*** Kairo, Sabtu 12 Februari 2000 |
|