[ NU dan Abad Perempuan ]

NU DAN "ABAD PEREMPUAN" 
Oleh M. Arif Hidayat
 
Untung saja, setelah ada tekanan terus-menerus, Pak Hasyim Muzadi, masih dengan rasa "bimbang", terakhir menyatakan secara positif PBNU akan mangakomodasi muslimat. Tapi, sayangnya tetap saja ia mengangkat pertanyaan "lucu": bolehkah laki-laki masuk lembaga perempuan? Bisakah laki-laki memimpin muslimat? (Media Indonesia, 5 Desember 1999). Kelucuan pertanyaan itu persis yang pernah muncul di arena Muktamar: "Kalau perempuan ingin masuk pengurus harian, apakah laki-laki dimungkinkan aktif di Muslimat atau Fatayat" (Kompas, 27 November 1999). 

Bagaimanapun saya tetap heran: "bagaimana masih muncul opini seperti itu pada penghujung abad sekaligus millenium ini?". Dikemanakan sejarah NU yang pernah mengaktifkan person perempuan dalam struktur PBNU pada dekade 50-60-an? Terasa terhapus sudah fakta itu dari lembaran sejarah, dan serta merta NU seakan-akan mundur jauh ke belakang. Mestinya sekarang tidak muncul lagi keraguan dan kebimbangan lagi, jika sekian tahun silam PBNU pernah menyertakan muslimat. 

Kebimbangan PBNU itu nampak lebih ironis lagi karena terjadi pada penghujung abad 20, yang dipercaya oleh sebagian orang sebagai "abad perempuan". Christiane Collange, perempuan Perancis, melalui bukunya "Merci Mon Siècle" ("Terimakasih Abadku". Paris, 1999), melukiskan abad 20 ini sebagai "abad perempuan", karena abad 20 telah memberikan kesempatan terbanyak bagi perempuan daripada abad-abad lainnya untuk andil di panggung publik, terutama sejak paroh kedua: kendati tuntutan kesetaraan gender belum tuntas, terhitung lebih dari 12 perempuan menjadi presiden dan perdana menteri, di negara-negara Islandia, Philipina, Nikaragua, Irlandia, Srilanka, India, Israel, Pakistan, dan Turki. Tak terlewatkan juga Ratu Inggris yang terkenal sebagai "wanita besi". 

Statistik lain hasil studi Patricia Morgan bertitel "Runtuhnya Dunia 
Laki-laki" (1996) menyebutkan bahwa jumlah karyawan perempuan di Amerika melonjak dari 36 persen pada awal 70-an menjadi 57 persen pada saat ini, penghasilan orang perempuan yang menjadi penopang utama rumah tangga di Inggris mencapai angka 30 persen, sementara di Amerika terdapat 34 persen kepala keluarga berkulit putih dan 56 persen berkulit hitam tidak mampu memberikan penghidupan kepada keluarganya secara layak. Dan laporan "New York Review" (21 Oktober 1999) menyebutkan "masa antara 1960 sampai 1996 angka perempuan yang menyandang ijazah BA. di Amerika Serikat menaik dari 38,5% menjadi 55,1%, yang berijazah Doktor dari 10,5% menjadi 40,9%, pengacara dari 2,5% ke 43,5%, dan insinyur dari 0,4% menjadi 16,1%. (Harian Al-Hayat, 31 Oktober 1999). 

Lebih menarik dicatat lagi adalah munculnya pendapat seorang ulama 
berkaliber nan kharismatis di Mesir, Syeikh Mohammad Ghazaliy. Melalui bukunya, "Al-Sunnah al-Nabawiyyah Baina Ahli al-Fiqh wa Ahli al-Hadits" (Kairo 1989), Ghazaliy menyatakan bahwa "perempuan boleh menjadi presiden". Ibarat ledakan fatwa itu, karena muncul di tengah-tengah riuh-rendahnya perdebatan "presiden perempuan". Begitulah, terus bermunculan tulisan, karya buku, pernyataan, pendapat, fatwa, tuntutan, dan semacamnya, sehingga benar-benar membentuk opini global kesetaraan gender. Orang tidak ragu dan khawatir lagi. 

Ditengah angin perubahan dunia seperti itu, apa arti sebuah gurauan di atas? Bagi saya bukan apa-apa melainkan sekedar gurauan yang tak berdasar sama sekali, tidak sinkron dan tidak akan menandingi tuntutan keseteraan gender yang terus semakin gencar. Hal itu, paling tidak berdasar pada beberapa alasan: Pertama, keberadaan organisasi Muslimat NU, sebenarnya tidak dimaksudkan untuk dan tidak akan menyaingi struktur NU. Muslimat hanyalah merupakan seksi atau badan otonom NU. Sedangkan NU ibaratnya merupakan payung bagi semua warga NU, termasuk Muslimat. Dengan demikian tidak bisa dimustikan keberadaan struktural PBNU bersih dari orang perempuan. Sebaliknya, Muslimat memang sesekali tidak memerlukan andilnya person laki-laki dalam strukturnya, karena fungsinya yang sangat spesifik membawahi kaum muslimat. 

Kedua, karena keberadaan Muslimat yang demikian, bisa dibilang ia merupakan organisasi pembantu (slave) NU, dan segenap jajaran NU dari pusat sampai ranting merupakan "master". Susunan master-slave seperti itu tentunya memungkinkan penghapusan struktur Muslimat jika suatu saat sistem sosial menghendaki hal itu: NU tidak membutuhkan otonomi Muslimat, tapi berdasarkan "kesepakatan sosial" pemberdayaan peranan seluruh warga NU merupakan tugas bareng muslimin-muslimat yang terikat jadi satu dalam NU. Ketiga, kebimbangan pengaktifan perempuan dalam struktur PBNU (baik Tanfidziyah atau Syuriyah) tidak mempunyai landasan hukum sama sekali, baik internal, AD/ART, atau external berupa sumber-sumber hukum Islam. Namun hal itu sekedar berdasar pada norma-norma sosial-kultural yang tidak sepenuhnya berasaskan dalil-dalil Islam. 

Model-model yang sangat normatif yang berlangsung sejak lama itu berujud pada pandangan-padangan dikotomis yang membedakan antara urusan agama dan dunia. Sekecil dan seringan apapun urusan agama murni, penghulu misalnya, hendaknya jangan dipasrahkan pada kaum perempuan. Dan urusan duniawi, sekalipun lebih berat, kaum perempuan tidak terlarang lagi untuk bersaing. Kini tidak aneh lagi perempuan duduk di kursi dewan, menteri, bahkan presiden. Jabatan presiden Indonesia walaupun belum pernah diduduki oleh orang perempuan, namun perdebatan dan perbincangan yang mengarah ke situ sudah biasa terdengar dan tidak tabu lagi. Tapi akan menjadi sangat aneh bahkan tabu bila penghulu dijabat oleh perempuan. 

Pandangan-pandangan seperti ini mengakar kuat dan membudaya sejak lama karena pengaruh-pengaruh penafsiran yang misogini, yang merendahkan kaum perempuan. Tak terlewatkan wacana keislaman Indonesia juga terpengaruh kuat oleh penafsiran-penafsiran seperti itu. Apalagi NU, yang kebanyakan kiainya masih berkutat pada teks-teks "kitab kuning" yang ditulis pada beberapa abad silam, dan dialog intelektual atau pemikiran keislaman pasca "kitab kuning" nyaris mati. 
 

Pasca "Mazhab" 

Terbukti sampai kini tuntutan kesetaraan gender dan gerakan feminisme belum mampu meruntuhkan pandangan dikotomis para ulama seperti itu. Dan akan terbukti juga bahwa penafsiran-penafsiran seperti itu sangat terpengaruh kuat oleh tindakan sosial-kultural masyarakat, yang tidak sepenuhnya kehendak Islam. Pada masa awal Islam, kendati masih sangat dekat dari masa jahiliyah, bisa disebut sebagai kehidupan yang ideal bagi kaum perempuan. Tercatat beberapa nama perempuan ikut andil memutuskan kebijakan-kebijakan publik. Nama-nama seperti Aisyah (istri Nabi) yang sering mengeluarkan fatwa, Ummu Warakah yang pernah dipilih Nabi menjadi imam, Ummu Salama juga sering menjadi imam sepeninggal Nabi, dan masih banyak perempuan lain yang ikut berlaga di medan pertempuran, adalah beberapa di antaranya. Bahkan Ruth Roded memberikan catatan yang sangat menarik: ada sekitar 1200 perempuan dari beribu-ribu sahabat yang pernah berhubungan langsung dengan Nabi.("Kembang Peradaban Citra Wanita Di Mata Penulis Biografi Muslim", 1995) Namun sayang, setelah masa Nabi, perlakuan terhadap perempuan semakin hari terus semakin menurun. 

Fenomena seperti itu cukup menunjukkan bahwa Islam sebenarnya tidak pernah berlawanan dengan modernisasi, bahkan kesetaraan laki-laki dan perempuan hendaknya diyakini hal itu merupakan salah satu "bawaan lahir" Islam. Tapi mengapa hal itu kini nampak sebagai barang baru? Kesalahan siapa? 

Kaitannya dengan hal ini, saya akan menyertakan perbedaan pandangan-pandangan antara yang klasik dan modern sebagai berikut: 

Ibnu Rusd dalam sebuah karyanya, "Bidayat al-Mujtahid", memberikan keterangan sebagai berikut: "...orang yang melarang wanita jadi hakim memutuskannya berdasar qiyas atas "imamah kubra" yang tak boleh diduduki orang perempuan, orang yang membatasi wanita boleh menjadi hakim dalam wilayah harta benda (mal) saja menganalogkannya dengan diperbolehkannya saksi (syahadah) dari orang perempuan dalam kasus yang berhubungan dengan harta benda, sedangkan orang yang memperbolehkan wanita menjadi hakim (secara mutlak) berfikiran bahwa pada dasarnya setiap orang yang mampu memberikan putusan maka putusan itu sah adanya, tak membedakan antara perempuan atau laki-laki". Pendapat-pendapat yang dicatat oleh Ibnu Rusd di atas, secara berturut-turut, adalah pendapat-pendapat sebagian besar ulama, mazhab Hanafiyah, dan Imam Al-Thobariy. 

Pendapat-pendapat itu merupakan pendapat mazhab-mazhab klasik. Bagaimana yang modern? Baru-baru ini, Mufti Mesir, Dr. Nasr Farid memfatwakan bolehnya orang wanita menjadi penghulu (ma'dzuun syar'iy). Menurut Nasr Farid, hal itu diperbolehkan karena syarat-syarat untuk menduduki jabatan tersebut tidak dimonopoli oleh kaum Adam; mengetahui dan paham betul syarat-syarat atau tuntutan-tuntutan berumah tangga, serta konsisten dengan syari'at Islam. 

Dalam hal penghulu perempuan ini Mesir bahkan tidak sendirian, karena Syiria lebih maju lagi dengan menugaskan sebanyak 20 penghulu perempuan dan telah menjalankan tugasnya dengan baik. Sementara di Mesir dari sekitar 6000 penghulu, tak satu pun kaum hawa. (Harian "Al-Sharq al-Ausat", Jum'at 9 April 1999). 

Keputusan Mufti Mesir seperti itu tidak bertentangan dengan pernyataannya Dr. Su'ad Shalih, kepala jurusan Fiqih Universitas Al-Azhar Kairo. Dalam sebuah seminar bertema "Tantangan Studi Keperempuanan di Abad 21" di Yaman baru-baru ini, Su'ad menandaskan bahwa "absennya perempuan menduduki jabatan Mufti saat ini, tidak bisa dijadikan dasar untuk memutuskan bahwa perempuan 'haram' menduduki jabatan tersebut, karena sebenarnya tak satu nas pun yang melarang perempuan menjadi mufti. Semua nas syari'ah menandaskan persamaan antara laki-laki dan perempuan". (Harian Al-Ahram, 22 Oktober 1999) 

Di Indonesia pun terjadi gejala-gejala yang sama: menguatnya tuntutan kesetaraan gender. Terlepas dari berkecamuknya berbagai kecenderungan yang bias politik, juga kendati mazhab Syafi'iyah mendominasi Indonesia, sempat muncul pendapat yang membolehkan wanita menduduki jabatan presiden. Bahkan pendapat-pendapat semacam itu, anehnya, dikumandangkan oleh organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang sejak lama diklaim sebagai tradisional dan puritan. Juga menarik dicatat, kesimpulan Seminar Nasional Gender NU di Baturaden (16-17 Juli 1999) yang dilaksanakan untuk menyambut Muktamarnya yang ke-30 yang menuntut adanya reinterpretasi-reinterpratasi atas nas-nas agama yang berkaitan dengan perempuan sehubungan perubahan masa dan cara pandang masyarakat yang menyetarakan gender. 

Pandangan-pandangan terhadap perempuan yang muncul di dunia Islam sekarang ini membuktikan bahwa kesetaraan gender merupakan hal yang lumrah, tidak tabu, dan merupakan bagian misi Islam. Hal itu diperkuat oleh fakta bahwa pandangan subordinatif atas perempuan tak terjadi hanya di Indonesia, tapi merupakan gejala global negara-negara berpenduduk mayoritas muslim yang semuanya tergolong "Dunia Ketiga". Dengan demikian harus diakui bahwa semakin maju suatu masyarakat semakin hilang subordinasi laki-laki atas perempuan, dan pada abad ini kesetaraan gender seakan menjadi barang baru, setelah sekitar 13 abad lebih yang lalu hal itu sudah dirintis oleh Nabi. 

Berkaitan dengan ide kesetaraan gender ini, menarik diketengahkan hasil studinya Asoka Bandarage (Woman, Population and Global Crisis, 1997), Professor dan Ketua Program Studi Perempuan di Mount Holyoke College, Massachussets, mencatat beberapa kesimpulan di antaranya bahwa "pandangan-pandangan subordinatif terhadap perempuan sangat potensial tumbuh subur di negara-negara miskin dan berkembang". Studi Bandarage itu menguatkan pandangan bahwa penafsiran-penafsiran misogini tersebut -- termasuk pendapat-pendapat mazhab klasik Islam -- merupakan dampak keterikatannya pada situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya (tidak melulu kehendak murni Islam), dan hasil-hasil ijtihad modern yang menyetarakan gender baru terjadi setelah ummat Islam terjaga dari tidur nyenyaknya. 

Abad baru dan millenium baru sudah di ambang pintu. Dengan harap-harap cemas, semoga NU benar-benar membuktikan penyetaraan gender dan tidak melalaikan "Abad Perempuan".*** 

Kairo, Sabtu 3 Ramadan 1420 H / 11 Desember 1999

 

www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir