Konvergensi
Intelektualitas dan Organisasi: Memformat Potensi Mahasiswa Indonesia di
Kairo*
Oleh : Zuhairi Misrawi
Pendahuluan
Pada awal tahun 90-an, alumni barat pernah menyerbu alumni Timur-Tengah
dengan kritikan-kritikan korektif, konstruktif, transformatif dan futuristik.
Di antaranya, Dr. Harun Nasution secara tegas menyatakan, bahwa cara berpikir
alumni Timur-Tengah tradisionalis, tekstualis, eksklusif dan konservatif
sehingga tidak memungkinkan bercengkrama dengan perubahan dan perkembangan
modern, alumni Timur-Tengah berada pada kelompok periferal, Alumni Timur-Tengah
kurang vokal dan masih banyak lagi asumsi lain yang sengaja dialamatkan
kepada alumni Timur-Tengah. Secara eksplisit, banyak kalangan yang tidak
akomodatif dengan asumsi tadi, bahkan menganggapnya sebagai proporsionalisasi
potensi yang secara riil menjadi bidang garapan utama mereka. Tapi bagaimanapun
juga, secara pragmatis, mayoritas kita pasti mengakui — terlepas dari anggapan
proporsionalisasi potensi— peran mayoritas alumninya hanya terbatas pada
upaya mempertahankan norma daripada mengejawantahkan dan mensosialisasikan
norma dalam bingkai realitas. Di sini, perlunya kita membuka mata untuk
menyadari akan keterbatasan peran dan tugas, sekaligus kesengajaan kita
untuk mempersempit ruang lingkup jihad dan ijtihad yang hanya diposisikan
pada tempat-tempat yang disakralkan.
Kenyataan ini merupakan fenomena kongkrit yang terus bergulir dan berseliweran
di atas trotoar aktifitas kemahasiswaan, bahkan —sampai saat ini— belum
memiliki terapi atau solusi yang aplikatif serta- merta belum mampu diterjemahkan
dalam pola dan sistem pergerakan yang integral dan subtansial. Karena diakui
atau tidak, keterbatasan tadi hanya disikapi dengan tumbuhnya organisasi-organisasi
yang dilatarbelakangi oleh emosi kelompok atau kepentingan golongan tertentu,
tanpa dipertegas dengan konsep-konsep yang matang, sehingga nampak hanya
bergerak di tempat dengan seuntai permasalahan yang melilitinya. Bahkan
tanpa disengaja, aktifitas praktis lebih berkembang dan menjamur di tengah-tengah
mahasiswa dalam rangka menayangkan kembali drama potensi yang dibawanya
dari tanah air. Padahal secara sosiologis, perpindahan dari satu tempat
ke tempat lain, dari satu masa ke masa yang lain, memiliki nilai filosofis
yang sangat tinggi untuk kemudian digali dalam upaya membangun masyarakat
baru yang ideal. Di sini, barangkali ditemukan gambaran singkat tentang
bagaimana menyikapi asumi yang dilontarkan oleh alumni barat dengan terapi
singkat yang nampak kurang optimal, sehingga konsekuensinya —sampai detik
ini— kita belum mampu menciptakan kondisi kompetitif dalam mewujudkan pola
pikir yang utuh serta belum bisa mempengaruhi kebijakan-kebijakan kaum
elit birokrasi, karena etos kebersamaan dan etos kreatif- inovatif belum
menjadi landasan yang kuat dalam melihat beberapa permasalahan sosial-kemahasiswaan.
Oleh karena itu agar sampai pada titik kulminasi yang maksimal dibutuhkan
usaha untuk mempertemukan beberapa kemungkinan yang dapat digunakan untuk
menyatukan visi sekaligus secara proaktif mampu memberikan stimulasi pemikiran
bagi setiap individu, sehingga istilah “untung atau rugi” tidak menggejala
pada tubuh kita.
Optimalisasi Visi Intelektual dalam Organisasi
Tak bisa dipungkiri, apabila fenomena tadi —sedikit banyak— akan mempengaruhi
pola pikir kita untuk senantiasa meminimalkan etos pikir, baik secara individual
maupun kolektif, karena eksistensi struktur masyarakat mahasiswa belum
bisa dikondisikan untuk membiasakan dialog tebuka untuk bersama-bersama
memikirkan kerangka kolektif sebagai modal awal untuk melakukan reformasi
sosial. Secara garis besar ada tiga model visi intelektual yang berkembang
di Kairo. Pertama, kelompok mahasiswa yang radikal dalam menyikapi
gejala keagamaan dan sosial kemahasiswaan. Kelompok ini cenderung eksklusif
dalam bersikap, sehingga sering terlihat emosional, karena menurut mereka
‘kebenaran’ berada dalam sebuah kerangka tertentu. Kelompok ini memilih
untuk tidak berkecimpung dalam aktifitas kemahasiswaan dalam pelbagai bentuknya
dalam rangka membentuk komunitas khusus untuk mengisolasikan diri dari
sosial. Kelompok ini kadangkala nampak “keras” dalam melakukan koreksi,
sehingga gagasan-gagasannya menjadi isu umum yang menjadi boom baginya,
karena kurang akomodatif dengan dinamika intelektual yang berkembang dalam
masyarakatnya. Kedua, kelompok mahasiswa yang cenderung pragmatis
dalam menyikapi realitas. Kelompok ini lebih banyak terjun dalam kegiatan-kegiatan
praktis tanpa memperhitungkan idealisme dan identitas pribadinya. Kebaikan
dalam kacamatan kelompok ini yaitu apabila bisa bekerja dan berbuat walaupun
tidak mempunyai paradigma konsep yang jelas dan cerdas, sehingga tidak
ayal algi apabila output yang dilahirkan cenderung serampangan,
karena kurang memperhatikan konsep dasar sebagai landasan dalam bekerja.
Ketiga, kelompok mahasiswa yang moderat dalam menyikapi fenomena
keagamaan dan sosial. Kelompok ini terbuka dalam melihat setiap permasalahan,
dengan prioritas pengembangan wawasan keilmuan. Kelompok ini berusaha untuk
menyalurkan gagasan-gagasannya serta mendialogkannya sebagai tanggungjawab
dan kesadaran sosial untuk mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi. Oleh karenanya kelompok ini nampak lebih bisa diterima dalam skala
yang lebih besar. Karena seluruh kinerjanya berdasarkan ilmu dan strategi
yang mantap. Kelompok ini berusaha untuk ikut aktif dalam kegiatan yang
bersifat konsepsional, tapi tidak menutup kemungkinan untuk terjun dalam
kegiatan praktis.
Ketiga gambaran singkat ini menampilkan permasalahan sekaligus solusi
sebagai bekal untuk melakukan reformasi intelektual ke arah profesionalisasi
dan dinamisasi. Hal ini penting, karena perkembangan zaman dan poblematikanya
menuntut setiap manusia untuk melakukan bergaining dalam melahirkan konsep-konsep
baru. Oleh karena itu, yang menjadi prioritas kita yaitu bagaimana menjadikan
intelektualitas sebagai batu dasar dalam menyikapi setiap permasalahan.
Karena dengan intelektualitas kita senantiasa berusaha untuk membangun
masa depan yang positif dengan mempertimbangkan kontruksi daripada destruksi
serta mendahukan subtansi daripada aksi. Kita tidak menginginkan lahirnya
para “kutu buku” saja, namun lebih dari itu, bagaimana dari buku-buku itu
muncul teori-teori yang dapat ditransformasikan dalam konteks yang lebih
kongkrit dalam masyarakat, sehingga ilmu yang kita timba dapat melahirkan
manfaat dan hikmah yang berguna bagi bangsa dan tanah air (rahmatan lil
alamin). Di sini, bahkan jangkauan yang lebih futuristik bagaimana caranya
agar Kairo menjadi lokomotif intelektual. Artinya, wacana pemikiran dengan
pelbagai coraknya agar dilahirkan dari Kairo yang pada akhirnya akan membentuk
paradigma berpikir masyarakat luas dengan asas Islam yang kuat, yaitu dalam
rangka menepis ungkapan, bahwa umat Islam berada dalam kelompok periferal
(pinggiran), lebih dari itu agar konsep ‘Imarah al-’Ardhi’ membumi dalam
setiap aktifitas kemahasiswaan. Apabila selama ini kita mempunyai keinginan
agar mengajak wong elit dalam proyek implementasi ajaran-ajaran Islam yang
murni, tapi setelah proses ini tugas kita yaitu memformulasikan ilmu-ilmu
Islam dalam kerangka teoritis yang fleksibel, sehingga Islam secara mudah
dapat dipahami oleh seluruh lapisan penghuni jagat ini. Karena Islam tidak
hanya mempunyai tantangan dari dalam, namun juga tantangan dari luar yang
menganggap Islam sebagai agama puritan dan tidak menghendaki Hak Asasi
Manusia (HAM), seperti yang tertera dalam mas-media barat belakangan ini.
Usaha-usaha tranformasi Islam tersebut secara simbolik sudah diprakarsai
oleh Dr. Yusuf Qardlawi dalam "Fikih Taysir" yang menghendaki
agar fikih disampaikan dengan cara yang mudah dan masih ditunggu model-
model lain yang lebih dari itu, sehingga Islam shalihun likulli zamanin
wamakanin.
Untuk itu, yang paling mendasar yaitu bagaimana agar tradisi intelektualitas
—agar sampai pada tujuan di atas— sedikit demi sedikit dapat dirasakan
dan disadari oleh setiap mahasiswa. Bahwa tujuan tersebut tidak dapat dicapai
hanya dengan gerakan personal, tapi butuh dinamika yang dapat menggairahkan
semangat berkolektif untuk berkecimpung dalam satu model perjuangan. Oleh
karenanya, kita butuh agar tradisi intelektualitas melebur dalam organisasi.
Artinya, setiap organisasi yang ada di Kairo dalam pelbagai bentuknya agar
senantiasa memprioritaskan garapan-garapan intelektualitas dari pada sekedar
aktifitas ceremonial yang cendrung bernuansa material dan formal. Di samping
itu, nampak bahwa khazanah keislaman yang bertebaran di Mesir belum mendapatkan
perhatian yang serius dari kalangan mahasiswa. Di sini, perlunya kita memahami
fikih Awlawiyat dalam konteks sosial untuk mengukur neraca idealisme dan
realitas, sehingga produk-produknyapun mumpuni sesuai dengan kapabilitas
dan spesialisasinya masing-masing. Oleh karena itu, perceraian antara intelektualitas
dan organisasi akan berdampak negatif dalam memformat potensi mahasiswa
Indonesia di Kairo.
Berdasarkan hal di atas, kita membutuhkan kiat-kiat dasar untuk mewujudkan
kader-kader yang berkualitas :
Pertama, perlunya pembekalan. Dalam hal ini, kita setiap mahasiswa
harus mempunyai bekal yang cukup sebelum melangkah lebih jauh. Setiap mahasiswa
harus memahami tri darma perguruan tinggi. Antara lain, Pendalaman Keilmuan,
Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Ini penting, agar para mahasiswa
mengetahui tugas utama masing-masing sebagai kader bangsa untuk mendalami
ilmu pengetahuan hingga sampai pada titik kepakaran dan kecendekiaan melalui
penelitian yang detail dan sistimatis serta merta kemudian agar disampaikan
kepada khalayak ramai dengan metode yang lentur dan mudah dalam rangka
dedikasi. Di sini, seorang mahasiswa berfungsi sebagai ujung tombak dalam
membangun gerakan kultural sebagai antitesa dari gerakan struktural sesuai
dengan etika yang berkembang dalam setiap bidangnya.
Kedua, perlunya penguatan basis. Dalam hal ini setiap mahasiswa
diharapkan dapat menterjemahkan keislaman dan keindonesiaan yaitu melalui
etos kebersamaan. Karena bagaimanapun ikatan atau tali yang kuat dan sesuai
dengan orientasi yang jelas merupakan salah satu syarat yang harus terjalin
dalam tubuh mahasiswa, sehingga secara proaktif para mahasiswa mempunyai
konsensus untuk menjadikan aktifitas ekstra kurikulernya sebagai second
campuss sekaligus sebagai jembatan untuk melahirkan gagasan- gagasan
baru yang spektakuler.
Ketiga, perlunya pengkaderan non-formal. Dalam hal ini, mahasiswa
tidak hanya dituntut untuk mengikuti pengkaderan dalam bentuk formal, namun
lebih dari itu harus terus berkesinambungan sesuai dengan tuntutan zaman.
Karena pada hakekatnya, pengkaderan yang produktif yaitu bagaimana memfollow-up
hasil-hasil pengkaderan dalam kegiatan-kegiatan praktis.
Penutup
Demikianlah sekilas tentang upaya mengkonvergensikan antara intelektualitas
dan organisasi, sehingga satu sama lain saling mengisi dan memberi menuju
ke arah pembentukan Sumber Daya Manusia yang mumpuni dan berkualitas. Terutama
dalam rangka memberikan kepercayaan kepada alumni Timur-Timur untuk memperluas
wawasan dan dedikasinya, sehingga tidak menjadi kaum periferal. Akhirnya
selamat membangun dan berkarya, semoga bermanfaat bagi kita semua. Amien.
|