[  A r t i k e l ]


ISLAM: AKIDAH & SYARIAH
Studi Pemikiran Keagamaan Syeikh Mahmud Syaltut
Oleh : Ahmad Sofiudin Elma

Pendahuluan

Mengatakan bahwa Islam agama universal hampir sama kedengarannya dengan mengatakan bahwa bumi itu bulat. Hal itu benar, terutama untuk masa akhir-akhir ini, ketika ide tersebut sering dikemukakan orang, baik untuk sekedar bagian dari suatu apologi maupun untuk pembahasan yang lebih sungguh-sungguh.

Dalam percakapan sehari-hari, kita juga sering mendengar bahwa agama Islam adalah sesuai dengan segala zaman dan tempat (al Islam shalih li kulli zamanin wa makanin). Ini dibuktikan antara lain oleh pengamatan bahwa Islam adalah agama yang paling banyak mencakup berbagai ras dan kebangsaan, dengan kawasan pengaruh yang meliputi hampir semua ciri klimatologis dan geografis.

Islam sebagai sebuah keyakinan dan sistim nilai, kita yakini mempunyai muatan kompherensif dalam mengakomo dasikan berbagai kepentingan hidup manusia. Bahkan Yusuf Qardlawi mengemukakan bahwa kata Islam lebih luas dari kata al-dien. Ia bukan hanya menyangkut sistim ritual saja, ataupun sistim ideologi saja, tetapi ia merupakan seperang kat sistim nilai hidup yang mencakup berbagai aspek kepenti ngan yang menjadi agenda hidup manusia.

Dalam konteks kemodernan, ketika kita memahami Is lam yang universal kita tentunya akan berbicara sejauh mana Islam relevan dengan kehidupan modern. Banyak orang yang skeptis dalam menjawab perta nyaan ini, tetapi banyak pula kalangan yang pesimis dan positif.

Ernest Gellner berpendapat bahwa diantara tiga agama monotheis; Yahudi, Islam dan Kristen, baginya Islam adalah yang paling dekat kepada modernitas, disebabkan oleh ajaran Islam tentang universalisme, skriptualisme (yang mengajarkan bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipaha mi oleh siapa saja, bukan monopoli kelas tertentu dalam hirarki keagamaan, dan kemudian yang mendorong tradisi baca tulis atau melek huruf), egalitarianisme spritual (tidak ada sistim kependetaan ataupun kerahiban dalam Islam), yang meluaskan partisipasi dalam masyarakat kepada semua anggotanya (sangat mendukung apa yang disebut sebagai sebagai partisipasi demokrasi) dan akhirnya yang mengajarkan sistimatisasi rasional kehidupan sosial.

Oleh karena Islam memiliki kualitas-kualitas seperti diamati oleh Gellner di atas, maka menurut pengamatan Gellner lebih lanjut, diantara berbagai agama yang ada hanya Islam yang sanggup bertahan dengan mengatasi persoalan kesenjangan antara yang normatif dan yang konkret historis, atau antara tradisi besar dan tradisi kecil.

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin senantisa dituntut untuk mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia yang universal, sehingga Islam tidak akan pernah kehilangan relevansinya baik dengan waktu mapun tempat sebagaimana yang pesimis kepadanya, sehingga Islam dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajarannya mampu menjadi manhaj manusia dalam berprilaku dan berhubu ngan dengan lingkungan zaman dan alam, dan juga mampu membentuk tatanan masyarakat yang berkeadilan.

Syeikh Mahmud Syaltut akan memberikan pemahaman kepada kita bagaimana agar Islam bisa dipahami dengan baik, dan dapat dipahami dan diamalkan dengan mudah, sehingga Islam akan selalu kondisional dan dapat selalu beradaptasi dengan perkembangan kehidupan manusia, khususnya manusia modern.

Dan secara khusus Syaltut akan melontarkan kandungan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuha nan dari kewajiban-kewajiban Tuhan yang dibebankan kepa da kita. Sehingga sikap keberagamaan kita berangkat dari fitrah kemanusiaan kita serta semangat ketaatan dan keikh lasan, dan diarahkan dalam rangka penyerahan diri dan pengabdian kita sebagai makhlukNya.

Syeikh Mahmud Syaltut Sosok Mujtahid Kontemporer

Dalam sejarah masayikh Azhar, Mahmud Syaltut dianggap sebagai salah satu sosok Syeikh Azhar yang moderat dalam melihat sebuah masalah dan memfatwakan sebuah hukum. Sehingga dengan kemodera tannya dan kelu wesannya dalam berfikir dan memfatwakan hukum, tidak jarang apa yang dilontarkannya akan bertentangan dan tidak sejalan dengan kalangan ulama-ulama Azhar lainnya, sehingga tidak heran pula ia kerapkali dianggap seorang sosok yang kontraversial.

Syeikh Mahmud Syaltut merupakan sosok yang selalu menggeluti dunianya dengan aktivitas keagamaan, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan ketika beliau masih muda sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fikih yang besar, pembaharu (tokoh) masyarakat, penulis yang hebat, seorang khatib yang besar yang menyampaikan pesan-pesan agama dengan bahasa yang mudah dipahami, argumentasi yang rasional dan pemikiran yang bijak. Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, beliau diutus oleh Majlis ‘Ala AL Azhar untuk mengikuti mu’tamar tentang Al-Qanun al-Dauli al Muqaran di Lahay Belanda. Dalam muktamar, beliau yang sempat mempresentasikan pikirannya, dianggap mampu me mahamkan tentang eksistensi kerelevanan syariah Islam dalam konteks kekinian, sehingga apa yang dilontarkannya mampu membuat peserta muktamar kagum akan sosok beliau.

Syeikh Mahmud Syaltut dilahirkan pada tahun 1893 di desa Munyah Bani Mansur di Profinsi Bahiroh. Ia di lahir kan dalam keluarga yang haus akan ilmu pengetahuan dan taat beragama, serta hormat pada ulama. Pada tahun 1906 ia masuk Ma’had Al Iskandariah setelah sebelumnya meng hafal Qur’an di desanya. Studinya dirampungkan setelah ia mendapat Syahadah 'Alamiyah pada tahun 1918.

Setelah beliau berhasil merampungkan studinya, kemudian mulai pada tahun 1919 beliau mengabdikan diri nya menjadi seorang guru pada almamaternya. Dan bersamaan itu pula terjadi gerakan revolusi rakyat Mesir melawan kolonial Inggris, sehingga beliau ikut berjuang dalam gerakan itu lewat ketajaman penanya, kepiawaan lisannya maupun keberanian-keberanian lain yang dimilikinya. Dari perjuangan yang beliau bisa sumbangkan ini, tidak jarang beliau harus berpindah tempat dari satu tempat ke tempat lainnya dalam rangka menjaga diri dan berperang melawan penjajah.

Kemudian setelah melalui proses yang panjang, beliau menempati beberapa jabatan penting di Al Azhar, mulai dari mejadi pengajar pada Lembaga Tinggi Al azhar, penilik pada sekolah-sekolah agama, wakil pada Fakultas Syariah, panga was umum pada kantor lembaga penetian dan kebudayaan Islam Azhar, wakil Syeikh Azhar, sampai pada akhirnya pada tanggal 13 Oktober 1958 diangkat menjadi Syeikh Azhar.

Syeikh Mahmud Syaltut dalam perjalanan umurnya senantiasa mengarahkan hidupnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dalam rangka mencari ridla Allah. Dari dirinya akan terpancar seorang yang sufi dan saleh, dan dari pikirannya akan senantiasa terlihat sosok seorang yang bijak. Ia bagaikan angin topan yang tak pernah berhenti memperjuangkan kebenaran sampai dirasakan olehnya nilai-nilai keadilan dirasakan oleh semua manusia, dan semangat menebarkan kebaikan akan selalu ia tiupkan, sampai nilai-nilai kebaikan itu menempati kehidupan manusia.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang ahli fikih, sema ngat berijtihad dan jihad selalu menyatu dalam dirinya. Dalam mengistanbatkan sebuah hukum ia selalu mengkondi sionalkan dengan perkembangan yang sedang berlangsung, dan mengambill serta memilih pendapat yang dianggap mempunyai nilai relevansi dengan masalah yang ada. Karena itu apa yang dilontarkannya tidak terbatas pada satu penda pat mazhab saja, ataupu pada satu pendapat imam saja, tetapi senantiasa fatwa yang dikeluarkannya akan sejalan dengan nilai-nilai Syariah Islam yang mempunyai nilai keabadiaan, kepastian dan keuniversalan, tidak dapat dipengaruh oleh tempat dan juga tidak berubah karena perkembangan zaman, tidak sempit oleh perkembangan peradaban, dan tidak mundur oleh perkembangan ilmu pengetahuan.

Dari konteks ini, Al Ustadz Al Adib Ahmad Hasan Adzayaat dalam majalah Azhar mengemukakan bahwa Mahmud syaltut merupakan seorang yang memiliki kecerdasan fikih yang bergelut di bidang Fikih dan Tafsir al Qur’an. Beliau memiliki pendapat dan pandangan-pandangan ijtihad fikih yang cemerlang, yang tidak hanya mempergunakan pendekatan naql ataupun nash-nash dalam mengistinbatkan hukum, tetapi juga mempergunakan pendekatan akal yang terbuka seteleh melalui proses pengkajian yang mendalam dengan tetap bersandar pada nash-nash syar’i.

Lebih jelas lagi ditambahkan oleh Al ustadz Ali Abdul Adzim dalam buku "Masayikh Azhar dari dulu hingga kini", beliau mengemukakan bahwa Syeikh Mahmud syaltut merupakan sosok yang mempunyai cakrawala yang dalam dan luas dalam memahami al-Qur’an dan al-Hadits, sehingga melalui apa yang dikemukakannya lewat pendapatnya, apa yang ditulisnya lewat fatwanya ataupun apa yang disusun lewat karya-karya beliau layak disebut sebagai hasil ijtihad. Beliau juga berani mengemukakan apa yang diyakininya benar. Apabila beliau mengkaji suatu masalah beliau senantiasa menajamkan pandangannya, dan melihat apa yang mungkin pernah dikemukakan oleh ulama-ulama sebelum nya dan untuk selanjutnya mempertimbangkannya untuk menjadi suatu keputusan hukum. Dan apabila beliau mem punyai suatu pendapat, maka beliau akan konsisten dengan apa yang menjadi pendapatnya, dan selanjutnya beliau lontarkan dengan mengemukakan dalil-dalil syara’, tanpa memperdulikan orang yang berbeda dengannya ataupun pada orang jumud dalam berfikr. Karena itu fatwa beliau yang paling kontraversial adalah tentang halalnya manaruh harta di Bank dan juga bolehnya pembatasan keturunan (KB). Dan kitab "Al Fatawa" merupakan karya beliau yang memuat tentang pandangan Islam dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan kontemporer.

Dan akhirnya walaupun beliau sangat moderat dalam melontarkan keputusan-keputusan hukum, tetapi apa yang dilontarkannya tidak semata- mata merupakan hasil olah pikir beliau semata-mata, tetapi tetap bersandar dari apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber utama dan sumber penguat ketetapan Hukum. Dan Walaupun apa yang di kemukakannya sering berbeda dengan ulama-ulama lainnya, tetapi tidak mengurangi sosok beliau sebagai seorang mujtahid yang selalu mengajak untuk berijtihad

Kontekstualisasi Pemahaman Terhadap Islam

Islam sebagai agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan sumber nilai yang senantiasa menjadi pedoman hidup kita, baik dalam perspektif duniawi maupun ukhrowi. Kehadiran Islam sebagai agama yang rahmatan lil a’lamin harus signifikan dengan konteks keki nian dan pluritas kehidupan umat manusia. Islam bukanlah sebuah nilai yang dimonopoli oleh umatnya, dan juga bukan merupakan agama yang dogmatis, tetapi akan senantiasa relevan dengan konteks kehidupan seluruh umat manusia, baik menurut tempat maupun waktunya.

Mahmud Syaltut merupakan sosok tokoh agama yang selalu berusaha memahamkan Islam sebagai agama yang dinamis dan mudah untuk dipahami dan diamalkan. Kalau manusia mampu menterjemahkan apa yang terkandung da lam al-Qur’an serta memahaminya secara kontekstual dan proporsioanal, maka manusia akan melaksanakan apa yang menjadi perintah Tuhan kepadanya dengan bersandar pada nilai-nilai kebenaran yang diyakini dan dipahaminya lewat pengkajian terhadap kandungan al Qur’an tersebut. Sehing ga pada akhirnya agama tidak bernilai dogmatis ataupun bukan merupakan sebuah paksaan ideologis, tetapi merupa kan proses pencarian kebenaran manusia dalam rangka ke bahagiaan hidup manusia.

Karena itu Islam memberikan tempat yang luas sekali kepada kita untuk menerjemahkan Islam bukan dalam konteks ideologis semata, tetapi juga sebuah nilai. Islam memberikan kebebasan berpikir manusia untuk memahami agamanya sedalam-dalamnya serta seluas-luasnya.

Memahami Islam menurut beliau bukanlah hak atupun monopoli kalangan tertentu, kita harus senantiasa mengembangkan pemahaman dan kajian kita terhadap Islam secara dinamis, karena al Qur’an merupakan kumpu lan nash-nash yang terbuka untuk dipahami dan bahkan diperdebatkan. Bukti dari kebebasan berfikir yang diberikan Islam kepada umatnya dalam memahami agamanya adalah dengan banyaknya wacana pemikiran Islam baik klasik mau pun kontemporer, baik berupa pendapat, adanya mazhab, maupun karya-karya ulama-ulama.

Dalam konteks modernitas, Islam sering kehilangan relevansinya dan Islam sering dianggap tidak mampu bera daptasi dengan dengan peradaban modern. Padahal Robert Bellah (seorang tokoh sosiologi agama), berpendapat bahwa Islam, menurut zaman dan tempatnya, adalah sangat modern, bahkan telalu modern sehingga gagal.

Pengamatan Bellah itu membawa kita kepada renu ngan lebih lanjut, bahwa jika Islam memang sebuah moder nitas seperti dikatakannya, maka seharusnya zaman modern akan memberi kesempatan kepada kaum Muslim untuk melaksanakan ajaran agamanya secara lebih baik, dan menjadi modern dapat dipandang sebagai penyiapan lebih jauh infrastruktur sosial. Guna melaksanakan ajaran Islam secara benar. Atau, zaman modern tentunya akan meleng kapi kaum Muslim untuk dapat memahami ajaran agama nya dan menangkap makna ajaran itu sedemikian rupa sehingga apinya dapat bersinar terang dalam kegelapan zaman modern di barat yang ditandai dengan pertentangan antara ilmu dan agama yang belum terdamaikan.

Karena itu, Islam yang merupakan kesinambungan ajaran Ilahi yang telah dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, akan selalu kondusif dengan perkembangan kehidupan umat manusia jika kita mampu menerjemahkan nilai-nilai ajaran yang terkandung di dalamnya secara kontekstual dan proporsional, dalam rangka pencarian kebenaran tuhan, dengan tetap berangkat dari sikap kepasrahan dan kesadaran bahwa manusia adalah makhluk ciptaan tuhan dan sebagai khilafah Tuhan dimuka bumi ini.

Islam sebagai Akidah

Akidah merupakan unsur asasi dalam konteks keberagamaan seseorang. Dari Akidah, keyakinan dan keimanan seeorang kepada Tuhan akan melahirkan tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un), maka Tuhan adalah asal dan tujuan hidup.

Menurut Syaltut substansi akidah Islam adalah keimanan, baik iman kepada adanya pencipta maupun akan apa yang diciptakan oleh sang pencipta tersebut. Dan kalimat Syahadah merupakan bentuk perjanjian keimanan manusia dan pernyataan ideologis manusia kepada Tuhannya yang satu dan Muhammad sebagai utusannya. Dengan syahadah ini, akan membuka hati dan pikiran manusia untuk memahami Islam lebih dalam dan luas, yang untuk selanjutnya mengamalkannya dalam kehidupannya.

Dan walaupun Islam menuntut manusia untuk percaya kepada unsur-unsur ideologis yang diharuskan Tuhan, dari mulai percaya kepada Tuhan, percaya kepada malaikat, percaya kepada utusan-utusan Tuhan, percaya kepada hal-hal ghaib sampai akhirnya manusia harus percaya dengan datangnya hari kiamat, unsur-unsur keimanan ini menurut Syaltut tidak boleh melalui pemaksaan ideologis. Karena kepercayaan dan keimanan yang disertai oleh sebuah pemaksaan akan sia-sia akhirnya. Manusia bukan hanya sekedar harus percaya akan unsur-unsur itu, tetapi juga harus mampu membuktikan kebenaran tuhan lewat dalil-dalil. Sehingga keimanan manusia akan berproses secara alami sejalan dengan fitrah kemanusiannya dalam mencari kebenaran. Dan pada akhirnya proses penyerahan diri manusia kepada Tuhannya untuk menjalankan ajaran-ajarannya berangkat dari kesadaran kemanusiannya.

Nurcholis Madjid dalam konteks ini, mengemukakan bagaimana manusia bisa memproses sikap keberagamaannya berangkat dari fitrah kemanusiaannnya. Sebab semua agama yang benar yang dibawa oleh para nabi mengajarkan manusia untuk berserah diri dengan sepenuh hati, tulus dan damai kepada tuhan yang Maha Esa adalah sikap berserah diri sepenuhnya kepada tuhan itu yang menjadi ini dan hakekat agama dan keagamaan yang benar.

Jadi ber-Islam menurut Nurcholis bagi manusia adalah sesuatu yang alami dan wajar. Ber-Islam menghasilkan ben tuk hubungan yang serasi antara manusia dan alam sekitar, karena alam sekitar ini semuanya telah berserah diri serta tunduk patuh kepada Tuhan secara alami pula. Sebaliknya, tidak berserah diri kepada Tuhan bagi manusia adalah tindakan yang tidak alami. Manusia mencari kemuliaan ha nya pada Tuhan bukan kepada yang lainnya. Ber-Islam seba gai jalan mendekati itu ialah dengan berbuat baik kepada sesama manusia , disertai sikap meninggalkan tujuan hidup kepada-Nya, tanpa kepada yang lain apapun juga.

Apa yang dikemukakan oleh Nurcholis Madjid mempu nyai substansi yang sama dengan yang dilontarkan Syaltut mengenai sikap keberagamaan manusia yang harus berproses secara alami dan wajar. Sehingga keimanan dan keIsla man manusia bukan berangkat dari pemaksaan, tetapi pada kebutuhan dan kesadaran kemanusiaan manusia dalam proses pencarian kebenaran.

Dalam masalah perbedaan agama, Syaltut menilai bahwa perbedaan agama bukan berati bahwa kita dibolehkan bermusuhan dengan pemeluk agama lain ataupun dilarang untuk melakukan kontak hubungan sosial. Karena itu Syaltut menurutnya Islam membolehkan kepada umatnya untuk melakukan perjanjian ataupun kontak hubungan sosial dengan pemeluk agama lain selama itu tidak menyentuh hal-hal yang mendasar dari ideologi yang kita miliki, ataupun membahayakan kemaslahatan terhadap penyebaran dakwah Islam dan umatnya. Bahkan beliau memperbolehkan perkawinan dengan Ahli kitab (Yahudi, Nasrani).

Syaltut menyatakan bahwa kebebasan beragama adalah hal yang dijamin dalam Islam. Manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Manusia dengan kemampuan akalnya dan amal yang diperbuatnya akan menjadikan derajatnya menjadi dekat dengan sang Khalik. Dan manusia diciptakan Tuhan bebas untuk melaku kan apa yang diingininya dan dengan akalnya diberikan kebe basan untuk memlih mana yang baik dan yang buruk.

Untuk mencari kebenaran Tuhan manusia, menurutnya manusia harus menyadari bahwa ada sesuatu yang harus diketahuinya hanya sebatas untuk tahu, dan ada sesuatu yang diketahuinya dan memang harus diamal kannya. Menurut Syaltut untuk mememperoleh kebenaran itu manusia harus melalui pendekatan rasional dan pendekatan irrasional.

Syaltut menegaskan bahwa walaupun bayak perbedaan-perbedaan pendapat yang muncul dalam masalah memahami akidah, namun ada tiga hal yang harus harus kita batasi dalam memahami perbedaan-perbedaan tersebut : Pertama, bahwa dalam memahami akidah dan proses pencarian kebenaran Tuhan kita harus memakai dalil yang Qath’i. Kedua, bahwa pemahaman akidah yang berangkat dari dalil yang tidak Qath’i yang akhirnya menimbulkan perbe daan-perbedaan pendapat, tidaklah dapat dikatakan itu me rupakan kongklusi dari akidah yang benar, dan tidaklah pendapat satu kelompok tertentu merupakan pendapat yang paling benar dengan menafikan kebenaran kelompok lain. Ketiga, bahwa apa yang terdapat dalam beberapa bu ku-buku tauhid tidaklah dapat dikatakan bahwa masalah-masalah akidah yang diwajibkan oleh Tuhan kepada kita untuk mengetahuinya telah terangkum dalam kitab-kitab tersebut. Kitab-kitab tersebut hanya merupakan karya- karya ilmiah yang mungkin bisa berbeda dengan apa terdapat da lam nash- nash syar’i, dan karena itu, itu merupakan lapangan Ijtihad para ulama.

Syari’ah sebagai Sistem Hidup

Syariah merupakan seperangkat aturan ataupun sistem hukum yang mengatur pola kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya, dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitarnya.

Urgensi syariah dalam kehidupan manusia adalah dalam rangka terciptanya kemaslahatan manusia dalam menata kehidupannya dan meminimalisir apa yang mungkin menjadi mudlaratnya. Dalam skala global syariah diarahkan pada jalb al mashalih dan dar’ al mafasid. Dan dalam pengertiannya yang lebih luas syariah mencakup seluruh kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan ini dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral.

Menurut Syaltut, syariah dan akidah merupakan satu sistim yang tidak dapat dipisahkan. Akidah merupakan dasar yang mendorong manusia untuk menjalankan syariah Tuhan, dan syariah adalah refleksi panggilan hati manusia yang berakidah. Karena itu menurut Syaltut manusia yang berakidah tanpa menjalankan syariah Tuhan, ataupun manusia yang menjalankan syariah Tuhan tetapi tanpa memiliki akidah tidak dianggap seorang Muslim, dan juga tidak dihukumi Islam.

Syaltut juga menilai bahwa tujuan manusia melaksanakan perintah-perintah syariah bukan sebatas melaksanakan kewajiban Tuhan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana manusia bisa membersihkan dirinya dengan selalu mengarahkan hidupnya dalam konteks ibadah dan menca ri ridla Allah Swt.

Dalam masalah ibadah menurut Syaltut, ibadah yang kita laksanakan bukanlah hanya menyangkut aspek ritualitas saja ataupun formalitas kewajiban, tetapi memiliki kandungan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta menyentuh aspek tarbiyah ruhaniyah diri manusia, dan juga bahkan menyentuh aspek-aspek sosial keidupan manusia. Dan semua itu diarahkan juga dalam membentuk integritas diri manusia sebagai makhluk yang bermoral.

Dalam masalah shalat misalnya, Syaltut berusaha mencari nilai- nilai yang terkandung di dalamnya. shalat merupakan bentuk rutinitas hubungan yang berkesinam bungan dari manusia kepada Tuhannya, yang akan memben tuk integritas kepribadian muslim sejati yang akan membias dalam aspek-aspek prilaku kehidupannya. Karena itu, de ngan shalat keimanan seseorang akan dapat diukur. Shalat juga menurut Syaltut bentuk Rihlah Ilahiyah manusia dalam rangka penghambaan kepadanya dan mencari ridlaNya. Ibadah shalat juga bukanlah merupakan ibadah syhaksiyah murni antara manusia dengan Tuhannya tetapi juga mengan dung nilai-nilai sosial kemanusian manusia kepada yang lainnya. Karena itu, disyariatkan kepada kita shalat jum’at dan shalat jamaah. Dan walaupun shalat dianggap ibadah yang paling berat, namun menurutnya kalau manusia mam pu memahaminya secara proporsianal serta dapat menem patkan pada tempatnya, mana yang azimah dan mana yang rukhsoh, niscaya tidak ada kata berat dalam melaksanakan ibadah shalat tersebut.

Zakat, puasa, dan haji menurut Syaltut merupakan ibadah yang banyak menyentuh nilai-nilai kemanusiaan yang menyangkut refleksi sosial manusia sebagai makhluk Tuhan. Ibadah-ibadah ini punya fungsi dan peran yang besar dalam membentuk tatanan kehidupam masyarakat yang kontsruktif dan dalam membentuk sistim kehidupan masya rakat yang ideal dalam rangka menuju keadilan dan kemak muran masyarakat.

Kewajiban yang dibebankan manusia untuk melaksanakan ibadah-ibadah yang disyariahkan kepadanya kalau dilaksanakan berangkat dari semangat kemanusiaan dan semangat ketaatan dan pengabdian kepada sang Khaliq, maka manusia akan mampu menemukan nilai-nilai kebenaran dan identitas kemanusiannya sesuai yang diridlai Tuhan.

Akhlak sebagai Sistem Nilai

Akhlak merupakan bagian yang terpenting dari manusia yang ber-Islam dan beriman. Dari akhlaq ini identitas ke-Islaman dan keimanan manusia akan terbiasi dalam prilaku kehidupannya dan pandangan baik buruknya dalam melihat sesutau serta mencari kebenaran yang diyakininya. Dan Islam yang kita yakini selalu memerintahkan dan mendorong kita untuk selalu berbuat baik dan beramal shaleh. Yaitu berbuat atau melakukan sesuatau yang akan membawa kebaikan bagi orang lain dalam masyarakat dan menghantarkan kita kepada keridlaan Ilahi di akhirat nanti.

Karena itu, tidak aneh kalau para ulama gemar memperingatkan bahwa kejayaan suatu bangsa tergantung kepada keteguhan akhlak , budi pekerti, atau moral bangsa itu. Biasanya peringatan itu dikaitkan dengan adagium berbentuk syair arab, yang artinya "Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama akhlaknya tegak, dan jika akhlaknya runtuh, maka runtuh pulalah bangsa-bangsa itu.

Syaltut juga menunjukan bahwa dalam sejarah turunnya Risalah Ilahiyah, pada akhirnya diorientasikan untuk memperbaiki prilaku masyarakat. Akhlak punya peran yang besar dalam membentuk tatanan nilai kehidupan masyarakat. Dan jika Allah memerintahkan kita berebuat baik, seolah-olah Dia hanyalah mengingatkan kepada kita akan kemanusiaan kita, dan kecenderungan alami kita. Dengan kata lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan sesuai dengan sifat dasar manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi sifat dasar manusia itu.

Dari sudut penglihatan itu, maka perintah Allah kepada kita untuk berbuat baik tidaklah untuk kepentingan Sang Maha Pencipta itu. Perbuatan baik kita tidak berarti dan tidak boleh diartikan sebagai pelayanan kita kepada Tuhan. Tuhan adalah Maha Kaya, dan Mutkak sedikitpun tidak memerlukan sesuatu dari makhlukNya, termasuk dari manusia. Sebaliknya, perbuatan baik atau amal shaleh adalah untuk kepentingan kita sendiri dan demi kebahagiaan kita sendiri.

Ikhtilaf dan Taqrib al-Mazahib

Perbedaan-perbedaan pendapat dalam mema hami taks-teks syar’i merupakanan kekayaan kita akan wacana pemikiran, dan juga merupakan bagian dari kebebasan befikir yang diberikan oleh Islam kepada manusia dalam rangka memahami agamanya secara detail.

Perbedaan yang timbul itu disebabkan oleh metodologi yang berbeda pada seorang mujtahid dalam memahami nash-nash syar’i, dan juga cara pandang yang berbeda dalam melihat sebuah masalah, sehingga hasil ijtihadnya pun berbeda.

Perbedaan-perbedaan yang muncul yang akhirnya menjadi sekte-sekte atupun aliran-aliran, menurut Syaltut merupakan proses menyejarah. Sejarah menunjukan setelah nabi wafat banyak pemahaman-pemahaman yang berbeda dalam melihat nash-nash syar’i, dan pada akhirnya perbedaan- perbedaan ini banyak termuati oleh nuansa-nuansa politis dan munatan- muatan fanatis. Namun demikian menurut Syaltut, walaupun jurang perbedaan antara mereka begitu besar bahkan sulit untuk disatukan, tetapi pada hakekatnya mereka punya satu sasaran tujuan yang sama dalam memahami Islam yaitu mencari kebena ran, walaupun kebenaran yang diyakini dan didapatinya menimbulkan perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.

Oleh karena sebenarnya ada satu prinsip dan hakekat tujuan yang sama tersebut antara satu mazhab dengan mazhab lainnya dalam memahami nash-nash syar’i, Syaltut melontarkan gagasan tentang "Taqrib al Mazahib", di mana kita berusaha mempersatukan visi dan persepsi pemahaman keagamaan kita tanpa melihat simbol-simbol aliran yang kita yakini, dan dengan meminimalisir fanatisme mazhab yang selama ini membekas dalam prilaku keagamaan kita. Gagasan ini bukan berarti kita harus menghilangkan dan menghapuskan plurarisme mazhab yang ada, ataupun menyatukan antara satu mazhab dengan mazhab lainnya, tetapi diarahkan untuk mengurangi sekat-sekat keagamaan yang telah menyejarah, dan membersihkannya dari unsur-unsur fanatisme aliran, sehingga umat Islam bisa menyamakan barisannya, dan menghimpun kekuatannya dalam satu kekuatan besar tanpa melihat mazhab yang diyakininya.

Dalam konteks ini Syaltut memeberikan komentar terhadap buku DR. Musthof Syak’ah "Islam Bila Mazahib", bahwa karya Musthofa Syak’ah ini relevan dengan dinamika pluritas pemahaman keagamaan yang selama ini telah menyejarah, sehingga dengan karya ini kita diharapkan mampu memahami dan menyadari tentang perbedaan-perbedaan pemahaman kegamaan yang muncul dan berkembang sampai saat ini. Dan dengan kesadaran ini pula, pada akhirnya kita dapat meminimalisir perbedaan ataupun fanatisme mazhab ada, untuk selanjutnya kekayaan akan pluraritas itu kita dayagunakan dan kita himpun mejadi sebuah kekuatan.

Penutup

Islam yang artinya pasrah sepenuhnya (kepada Allah), mempunyai dimensi-dimensi yang komphrensip dalam membekali dan memenuhi kebutuhan manusia dalam rangka menjalankan fungsi kekhalifaannya di muka bumi ini. Dan agama semua Nabi adalah sama yaitu Islam, meskipun syariatnya berbeda-beda sesuai zaman dan tempanya. Karena itu agama yang dibawa oleh nabi muhammad merupakan garis kelanjutan dari agama- agama yang dibawa oleh nabi sebelumnya, hanya saja, seperti halnya dengan semua yang hidup dan tumbuh, agama itupun dalam perjalanan sejarahnya, juga berkembang dan tumbuh, sehingga akhirnya mencapai kesempurnaan dalam agama nabi muhammad SAW.

Syeikh Mahmud Syaltut, dengan gagasan-gagasannya mengajarkan kita bagaimana memahami Islam secara Kaffah, bagaimana Islam dapat dipahami dan diamalkan dengan mudah, bukan berangkat dari pemaksaan, tetapi berangkat dari semangat kemanusiaan, semangat ketuhanan, dan semangat ketaatan dan pengabdian manusia sebagai khalifah Tuhan. Sikap keberagamaan manusia juga menurut beliau harus dimanisfestasikan dan terpolakan dalam bentuk yang dinamis, fleksibel dan dewasa, sehingga Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan sholih likulli zamanin wa makanin benar mewarnai dalam semua tatanan kehidupan manusia.

Dan akhirnya kesadaran manusia akan ber-Islam dan beriman dan berihsan dapat memberikan suatu konstribusi peradaban manusia yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan.


www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt