[ A r t i k e l ]


Menyikapi Perbedaan Persepsi Ulama Fikih
Oleh: A. Sayuti Anshari Nasution

I. Pendahuluan

Sebelum datang ke Mesir, saya selalu bertanya-tanya dalam hati, kenapa harus terjadi perbedaan persepsi di kalangan ulama, bukankah kitab sucinya sama..? hadis-hadisnya sama..? Kadang-kadang saya tidak menaruh respek menanggapi penjelasan dosen saya di IAIN-SU yang dalam banyak hal selalu menyebutkan perbedaan persepsi imam-imam mazhab. Kesempatan dikirim ke Cairo, dalam benak saya tersimpan satu obsessi, semoga saya dapat belajar hukum Islam dari sumbernya serta terhindar dari perbedaan-perbedaan mazhab yang saya tidak senangi itu.

Sesampainya di Cairo dan mengikuti perkuliahan di Al Azhar, pertama sekali saya mengalami apa yang disebut penyakit “cultural sock” karena yang saya hadapi sehari-hari di perkuliahan tidak sesuai dengan maksud kedatangan saya ke Al Azhar. Saya harus menentukan mazhab, karena jurusan di tingkat S-1 Fakultas Syariah berdasar pada mazhab dan apa yang saya temui sehari-hari di perkuliahan adalah perbedaan persepsi para ulama. Untunglah saya dapat menyesuaikan diri setelah berselang mengikuti perkuliahan beberapa waktu.

Bagaimanakah seharusnya kita bersikap dalam menghadapi perbedaan persepsi para ulama fikih itu dan apakah perbedaan persepsi mereka itu dinilai cacat dalam Islam, sehingga mengikutinya juga dianggap termasuk bercacat..? Inilah sebuah pertanyaan yang menentukan kawasan makalah ini.

II. Terjadinya Perbedaan Persepsi

Nabi Muhammad saw memenuhi panggilan Ilahy setelah dengan sempurna melaksanakan semua tugas-tugasnya, mengantarkan ummat manusia dari zaman kebodohan ke zaman cahaya. Beliau meninggalkan ummatnya bukan bagaikan air meninggalkan daun keladi, tidak mempunyai bekas, tetapi beliau meniggalkan sebuah buku pedoman lengkap dengan petunjuk pelaksanaannya, yaitu Al Qur`an dan hadis. Sesuai sabda Rasulullah, “Saya tinggalkan buat kamu dua barang wasiat, selama kamu berpegang padanya, kamu tidak akan kesasar selamanya”. (H. R. Hakim dari Abu Hurairah).

Kedua sumber hukum di atas sebenrnya masih bersifat bahan mentah yang dapat diolah untuk seterusnya diaplikasikan, kedua sumber di atas belumlah merupakan bahan jadi, karena belum tertuang dalam bentuk kitab undang-undang. Untuk itu masih diperlukan adanya interpretasi. Dalam menginterpretasikan kedua sumber di atas terjadilah perbedaan persepsi.

Kalau kita menginventarisir sebab-sebab terjadinya perbedaan persepsi dikalangan ulama fikih, kita tidak akan dapat mencatatnya dalam makalah yang sangat kecil ini, karena arena dan kemungkinannya sangat luas sekali. Namun untuk sekedar memberikan contoh soal, berikut ini penulis sebutkan di antaranya sbb :

    1. Perbedaan dalam analisa linguistik

    Perbedaan analisa linguistik sangat potensial membuat perbedaan pesepsi fikih, disebabkan sumber-sumber hukum Islam termuat dalam bahasa Arab yang mempunyai aturan-aturan linguistik tersendiri yang tidak mungkin dihindari. Contoh soal dari perbedaan ini adalah ayat uduk dari surat Al-Maidah ayat 6 yang artinya sbb., “Hai orang-orang yang beriman! Bila kamu hendak melaksanakan salat, basuhlah terlebih dahulu muka dan kedua tanganmu sampai siku, kemudian sapulah kepala dan kedua kakimu sampai dua mata kaki.”

    Dalam ayat ini nampaknya ada dua masalah syntaksis yang membuat para ulama berbeda pendapat dalam menentukan sifat udluk yang benar. Masalah pertama adalah posisi i'rab dari kata "arjulakum". Dimana Jumhur mengatakan yang wajib adalah membasuh kaki (megalirkan air) bukan menyapukan air. sedangkan Syi’ah Imamiah berpendapat bahwa menyapukan air ke kedua kaki adalah wajib. Pendapat pertama berdasar pada posisi ikrab dari "arjulakum" yang mansub yang berarti di'atafkan kepada "wujuhakum" yang berada dalam posisi nasab sebagai penderita dari "faghsiluu". Sedangkan Syi’ah Imamiah beralasan bahwa kata "arjulakum" adalah dalam posisi jar (sesuai qiraat Ibn Katsir, Abu Amr dan Hamzah). Ini berarti bahwa kata "arjulakum" di'atafkan kepada "ru'usakum" yang berada dalam posisi jar karena terdapatnya huruf jar (ba').

    Adapun masalah syntaksis kedua terdapat pada huruf jar (ba') itu sendiri. Sebagian ulama berpendapat bahwa huruf jar itu berfungsi, sedangkan ulama yang lain menganggapnya za'idah dan tidak berfungsi. Atas dasar itu maka yang pertama mengatakan bahwa yang wajib adalah membasuh kaki, sedangkan yang kedua mengatakan bahwa yang wajib adalah mengusap kaki, karena kata "arjulakum" pada dasarnya di'atafkan kepada kata yang terdekat yaitu "ru'usakum" yang juga berada dalam posisi mansub.

    2. Sebagian hadis Rasulullah tidak sampai kepada sebagian ulama, sedangkan sebagian yang lain tidak mengetahui hadis lain.

    Ini adalah suatu hal yang sangat lumrah sekali, karena sewaktu Rasulullah hidup tidak semua perbuatan, perkataan dan persetujuannya dicatat. Dalam satu ketika dia didampingi oleh sebagian sahabat, maka sahabat itulah yang mengetahui hadis yang diucapkannya ketika itu, sebaliknya pula pada peristiwa lain. Sebagai contoh, Abu Bakar ra yang hampir sepanjang waktu mendampingi Rasulullah, siang, malam, pagi dan sore, namun pernah absen juga sehingga keputusan Rasulullah memberikan 1/6 dari harta warisan buat seorang nenek tidak diketahui oleh Abu Bakar ra.

    Atau mungkin karena masalahnya spesifik untuk orang tertentu, sehingga orang lain tidak mengetahuinya. Umar ra yang begitu melekat dengan Nabi umpamanya tidak mengetahui hadis nabi yang mengatakan bahwa wanita tidak perlu melepas kepangan rambutnya disaat mandi junub, sehingga diwaktu dia ditanya tentang cara mandi wanita dia mengatakan kepangan rambut wanita harus dibuka, membuat Siti Aisyah yang mengetahui hadis tersebut angkat suara.

    3. Akurasi hadis disangsikan

    Ini juga suatu hal yang sangat logis terjadi. Ulama telah membuat standar untuk menilai hadis yang dapat diterima dan yang harus ditolak. Namun dalam mengaplikasikan standar tersebut terhadap suatu hadis kadang-kadang dihadapkan masalah yang sulit diditeksi, seperti akurasi perawinya. Oleh Ali bin Abi Talib umpamanya tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh Ma`kal bin Sannan Al Asyja`y sehingga dia mengatakan bahwa seorang wanita yang mati sebelum berhubungan dengan suaminya tidak dapat mahar dan tidak ada idah, sebaliknya ulama lain menganggap Ma`kal bin Sannan orang yang akurasi hadisnya terjamin, lalu berpendapat bahwa wanita tersebut mendapat mahar mitsil dan mempunyai idah.

    4. Perbedaan dalam memahami teks

    Perbedaan dalam memahami teks ini, memang masalah biasa, karena tarap inteligensi manusia tidak sama tingkatnya, ada yang genius dan ada yang pas-pasan. Umar bin Khattab umpamanya memahami makna muallafah qulubuhum adalah orang yang baru masuk Islam dan hatinya belum stabil, orang itu diberi zakat agar hatinya dapat dikuatkan, bila orangnya sudah bertahun-tahun masuk Islam dan sudah berkali-kali diberi zakat namun tidak ada perobahan, maka menurut Umar orang itu bukan muallaf lagi, atas dasar itu tidak berhak mendapat zakat. Sebaliknya sebagian ulama melihat visual saja, dimana orang itu pernah mendapat zakat di zaman Nabi, ya harus juga diberi zakat.

    5. Pengertian kalimat

    Pengertian kalimat juga bisa menimbulkan terjadinya perbedaan persepsi, umpamanya masalah satu kata yang mempunyai dua makna. Contoh kata quru` yang dalam bahasa Arab bisa berarti menstruasi dan bisa juga berarti berhenti menstruasi.Orang yang mengatakan quru` artinya adalah menstruasi, mengatakan bahwa idah wanita yang ditalak adalah tiga kali menstruasi sedangkan orang yang mengatakan quru` bermakna berhenti mens, mengatakan idah wanita tersebut tiga kali bersih.

    6. Kontradiksi antara beberapa dalil

    Kontradiksi antara beberapa dalil sebenarnya, tidak mungkin terjadi, karena sumbernya adalah satu yaitu Allah, sudah barang tentu tidak mungkin Allah membuat beberapa aturan yang saling berbenturan satu sama lain. Kontradiksi itu terjadi dalam pandangan kita saja, karena sarana untuk mengetahui itu di hadapan kita berbeda.

    Contoh kontradiksi umpamanya adalah antara dua hadis/ atsar yang tidak diketahui mana yang autentik dan yang tidak, umpamanya. Jumhur mengatakan bahwa orang yang sedang ihram tidak syah nikahnya atas dasar hadis yang menjelaskan bahwa orang yang sedang ihram tidak boleh mengawinkan orang dan tidak dikawini (Hadis riwayat Muslim), tetapi Hanafi berpendapat boleh dengan alasan bahwa nabi mengawini Maimunah dalam keadaan ihram

    7. Tidak terdapat nash.

    Dalam bidang ini, sangat logis sekali terjadi perbedaan persepsi. Contoh soal adalah masalah hajariah dalam faraidl, dimana saudara kandung diberi hak mendapat warisan seperti saudara seibu yang memang mendapat quota sepertiga.

Sebenarnya masih banyak lagi sebab-sebab terjadinya perbedaan persepsi dalam pengambilan hukum fikih, tapi tidak tempatnya semua itu disebut dalam makalah yang sangat sederhana ini. Yang penting diketahui adalah, perbedaan intu semua adalah masalah furu` dan teknis aplikasi, sama sekali tidak menyentuh prinsip dasar agama.

III. Menyikapi Perbedaan Persepsi

Banyak orang berpraduga, bahwa keterbelakangan ummat Islam dalam perpacuan dunia adalah akibat timbulnya mazhab-mazhab fikih dan menuduh imam-imam mazhab sebagai agen keterbelakangan itu. Bagaimanakah seharusnya kita menyikapi perbedaan itu.?

    A. Perbedaan Dalam Fikih Bukan Cacat

    Perbedaan persepsi dalam fikih ternyata bukanlah kelahiran abad kedua hijrah, tapi jauh lebih dini perbedaan persepsi itu sudah terjadi. Di zaman Nabi Muhammad saw. sendiri perbedaan persepsi itu sudah terjadi, untunglah Nabi masih berada di tengah-tengah mereka sehingga semua jenis perbedaan itu dapat diselesaikan. Sepeninggal baginda Rasulullah saw, jenazahnya belum lagi dikebumikan, perbedaan persepsipun terjadi, saat itu sudah tidak seperti saat-saat sebelumnya, tempat pengaduan sudah tidak ada, maka fikih-pun mulai melangkah maju menginjak masa remaja.

    Perbedaan persepsi di kalangan ummat di zaman Khulafaur Rasyidun, terutama dua khalifah pertama, dapat dikatakan masih sempit dan terbatas, karena ummat Muslim di kala itu masih sedikit dan terkonsentrasi pada jazirah Arabia, yang kalau terjadi permasalahan, mereka akan segera dapat mendatangai khalifah untuk minta penyelesaian masalah yang dipertentangkan. Perbedaan persepsi baru meluas seiring dengan perluasan daerah kekuasaan Islam dan masuknya banyak orang asing ke dalam agama Islam. Di saat itu terasalah kebutuhan ummat akan metode pengambilan hukum serta kodifikasi hukum yang dapat dirujuk sembarang waktu. Di saat itu fikih-pun maju selangkah lagi untuk menginjak usia kedewasaannya, di bawah komando ulama-ulama mazhab, Malik, Hanafi, Syafii, Hambali dll.

    Masing-masing ulama mazhab, adalah pakar-pakar yang mengharungi kehidupan ilmiah yang tidak ada taranya, mereka mengembara kesemua pelosok untuk mencari ilmu pengetahuan, kehidupan mereka telah dikorbankan untuk agama, mereka tekenal mempunyai etiket yang super baik dengan kata lain mereka itu telah memenuhi apa yang disebut syarat-syarat mujtahid. Oleh sebab itu, maka wajar kalau masing-masing mereka mempunyai teknis tersendiri dalam menanggapi suatu penomena hukum.

    Hasil analisa mereka itu diinventarisasikan dalam satu kodifikasi hukum yang pada pase berikutnya dianggap sebagai buku mazhab, yang dapat dirujuk sembarang waktu oleh orang yang membutuhkan. Perbedaan persepsi di kalangan mereka, sebenarnya tidak menyentuh masalah-masalah fundamentil agama, tetapi hanya sebatas masalah-masalah furu’ dan teknis aplikasinya, yang tidak mungkin terjadi persamaan pendapat beberapa orang yang berbeda kondisi dan tempat di dalamnya. Tidak seorangpun mereka yang mengatakan bahwa pendapatnya adalah yang paling benar dan wajib diikuti, tapi sebaliknya mereka memberikan kebebasan kepada orang lain untuk mencari pendapat yang lebih baik dan sesuai dari pendapat mereka. Oleh sebab itu sangat tidak proporsional kalau mereka dituduh sebagai agen perpecahan ummat.

    Barang kali, kalau kita ingin mencari-cari kesalahan, yang salah adalah peraktek sebagian pengikut mazhab tertentu yang menganggap bahwa mazhab mereka adalah satu-satunya mazhab yang valid, sedangkan mazhab yang lain adalah tidak legal oleh sebab itu harus dibabat. Pendapat yang salah seperti ini disebut dengan istilah panatik buta, yang dicela dalam agama Islam sendiri melalui ayat 13 surat As Syura dan ayat 159 surat Al An`am.

    Dengan demikian, selama interpretasi terhadap Al Qur`an dan hadis seperti yang dilakukan oleh imam-imam mazhab berjalan sesuai dengan aturan main yang telah disepakati, maka perbedaan persepsi yang terjadi berikutnya tidak dapat dikatakan cacat, tetapi sebaliknya bila interpretasi itu dilakukan tidak melalui tata cara yang disepakati (imam mazhab terhidar dari hal seperti ini), maka itulah yang dikatakan cacat.

    B. Koleksi Fikih Harus Diabadikan

    Tidak ada seorang santri ilmu-ilmu keislamanpun yang mencurigai niat baik dari imam-imam mazhab dalam mengeluarkan ide-ide fikihnya dan tidak seorang santeri ilmu-ilmu keisalamanpun yang mencurigai kapabilitas imam-imam mazhab mengambil hukum. Oleh sebab itu ide-ide yang mereka keluarkan itu, tidak perlu dipertanyakan tendensinya begitu juga tidak proporsional dipertanyakan keabsyahannya.

    Barang kali yang perlu dipertanyakan adalah cocok tidaknya ide-ide itu dengan tuntutan zaman di mana kita hidup. Bila pertanyaannya demikian, maka ide-ide itu harus diabadikan agar dapat dirujuk setiap waktu diperlukan. Bila ternyata ide-idenya masih cocok dengan zaman dimana kita berada, maka kita dapat mengambilnya tanpa harus melaksanakan kegiatan penelitian yang memakan waktu dan biaya ( al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih) tapi bila ternyata tidak cocok dengan zaman dimana kita berada, maka kita dapat meninggalkannya dan menggantinya dengan ide-ide baru yang lebih cocok ( al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). Adapun membuang ide-ide yang mereka hasilkan dengan jerih payah yang berkelanjutan bertahun-tahun lamanya, adalah merupakan tindakan bunuh diri yang merugikan perbendaharaan besar ummat Islam.

IV. Penutup

Munculnya buku dengan judul “Islam tanpa mazhab” oleh Musthafa Syak`ah semula mendapat tanggapan serius dari beberapa ilmuan Islam. Namun setelah berselang beberapa waktu, tidak ada juga implementasi dari ide itu. Di negara-negara yang menentukan mazhab tertentu, seperti Indonesia, Malaysia (Syafii), Mesir, Sudan, Marokko (Maliki), Saudi (Hanbali-Wahabi), Yaman (Zaidi), Iran (Imamiah) dll tidak mengadakan perobahan apa-apa, artinya ide itu mengalami kekandasan.

Kekandasan ide itu mengundang orang untuk mempertanyakan tentang kafabilitasnya, apakah tepat dan akan membawa hasil yang lebih baik buat ummat Muslim dunia, atau hanya sekedar ide ilmiah yang tidak membuat suatu bangsa lapar dan tidak pula membuat bangsa itu kenyang.

Bila yang dimaksud dengan, Islam tanpa mazhab adalah membuang semua ide-ide pakar fikih yang terdahulu dan kita menmbangun kembali fikih dari nol, maka penulis melihat tindakan itu adalah merupakan tindakan maju selangkah untuk mundur seribu langkah. Tetapi bila yang dimaksud dengan Islam tanpa mazhab adalah menghilangkan panatik bermazhab, penulis melihat judul buku itu terlalu dibesar-besarkan, melebihi dari kafasitas dan targetnya sehingga tampak sangat kontraversial.


www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt