[  A r t i k e l ]


ITIHAD KONTEMPORER
Problem dan Solusinya
Oleh : Husnul Aqib Ameen

Pendahuluan

Ijtihad adalah merupakan bahasan yang tak henti-hentinya menjadi kajian ketat para ulama sejak dulu sampai kini, seperti imam al Ghazali membahas dalam bukunya al mustasfa, demikian juga imam assyaukani membahas dalam bukunya irsyadul puhul dan masih banyak lagi ulama yung membahas dalam masalah ijtihad ini, Begitu juga dari kalangan ulama kontemporer seperti, Syekh ahmad Ibrahim, syekh Abd Wahab Khalaf, Dr Yusuf Qordlowi, DR. Toha Jabir dan masih banyak lagi selain mereka.

Bersama itu, pintu ijtihad tak pernah tertutup, karena kehidupan masih terus berlanjut, dan kejadian-kejadian masih terus berkembang, timbulnya krisis ekonomi dan sosial, rangkaian masalah dan berbagai macam solusinya, desakan kejadian yang tak pernah dipersiapkan oleh manusia yang menimbulkan aneka ragam kesulitan, dan terus mengakar sampai menyelami kehidupan tekhnologi, perdagangan, atau kehidupan individu dan umum.

Berawal dari sini maka merupakan cambuk bagi seorang muslim dengan kebebasan berpikirnya untuk mengerahkan segala kemampuannya terhadap seluruh masalah, sebab islam adalah agama kehidupan yang mencakup segala aspek, Islam bukan hanya berurusan dengan masalah akhirat saja, tapi Islam lahir dalam bentuk yang luas, mampu mengobati penyakit sosial, ekonomi, internasional, dll, dan fiqih sendiri bukan hanya merupakan peraturan belaka, melainkan fiqih mencakup segala masalah tergantung kejadian dan kebutuhan, fiqih masih siap menerima perubahan selama masih tetap dalam rel qur’an dan sunnah, dari sinilah perlu adanya ijtihad, Ijtihad merupakan hal yang terbuka bagi seorang muslim agar merasakan kebebasan berfikir yang sempurna karena ijtihad adalah merupakan sebuah bukti akan luas dan mudahnya syariat islam.

Definisi Ijtihad

Banyak ulama yang mendefinisikan ijtihad dengan pendapatnya masing-masing mulai dari Syafi’i, Syaukani, Ibnu al Qayyim al Jauzi sampai kepada Qordlowi dan Toha Jabir al 'Alwani, hemat penulis akan mengambil definisinya Sayyid Tontowi yang amat ringkas tapi padat yaitu: Ijtihad adalah usaha seorang muslim dengan sseluruh kemampuannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan cara mengambil dalil dari dalil-dalil syar’i.

Ijitihad dalam Pandangan Qur'an dan Sunnah

Sandaran ijtihad dari al Qur’an adalah: "Dan kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri)." (Q.S Al-Nisa': 83) Dan firman Allah: “wa amruhum syurâ bainahum”. lafadz "syura" dalam ayat tersebut mengandung arti membahas segala masalah yang terjadi, yang cocok dengan dalil-dalil syari’ baik masalah tersebut termaktub dalam nash ataupun tidak. Hal tersebut tidak terjadi kecuali dalam ijtihad.

Adapun sandaran ijtihad dari hadist adalah ucapan nabi: “Apabila seseorang berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, dan apabila dia salah maka baginya satu pahala.” Pengakuan Nabi terhadap sahabat Amru ibn al ’Ash tatkala datang membawa salah satu tawanan dalam keadaan junub dan udara pada waktu itu sangat dingin dia tidak mandi junub tetapi hanya bertanya, kemudian dia berkata kepada nabi dengan maksud menyangkal kepada orang yang mengadukannya, “Apakah kamu tidak tahu Allah berfirman janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.” Kemudian Nabi tersenyum dan mengakui ijtihadnya Amru ibn al ’Ash. Begitu juga pengakuannya nabi terhadap sahabat Muadz bin Jabal tatkala diutus ke yaman Muadz berani berijtihad apabila hukum tidak didapatkannya di dalam al-Qur’an dan hadist.

Kewajiban Ijtihad di Zaman Modern

Kalau memang ijtihad dibutuhkan pada setiap zaman maka pada zaman modern inilah ijtihad paling dibutuhkan sebab berubahnya keadaan kehidupan setelah adanya revolusi teknologi maka merupakan keharusan untuk membuka kembali pintu ijtihad yang memang sebenarnya tidak pernah ditutup. Ijtihad zaman modern haruslah mengarah kepada masalah-masalah yang baru dan problematika kekinian, untuk mencari solusi masalah tersebut menurut al-Qur’an dan sunnah. Dengan ini maka layak kiranya untuk meninjau kembali ijtihad zaman dahulu, agar ijtihad tersebut dapat layak kembali di zaman sekarang, atau setidak-tidaknya ijtihad tersebut tidak menganggur sia-sia, menurut porsi problematika kekinian. Layaknya ijtihad zaman sekarang ditelorkan dengan segenap kebebasan keberanian dan kemudahan menghindari segala masalah yang menyulitkan , maka dari itu haruslah ada ijtihad individual karena ijtihad itulah yang mencerahi segala macam ijtihad, dan memang sebenarnya segala macam ijtihad sumbernya adalah ijtihad individual. Ijtihad yang di dengung-dengingkan ada zaman sekarang ini adalah merupakan kebutuhan bahkan merupakan kewajiban bagi kehidupan umat islam untuk mengobati problematika kekinian sebab umat islam akan hidup jumud kalau tidak di berantas dengan ijtihad. KEMUDAHAN IJTIHAD DI ZAMAN MODERN Setelah diketahui bahwa ijtihad adalah merupakan kewajiban bagi umat islam, apakah pantas bagi umat islam untuk meninggalkannya dengan alasan terlalu banyaknya sarat yang mustahil disanggupi oleh seseorang, sebenarnya syarat tersebut adalah bukan untuk menyulitkan umat islam seperti yang diungkapkan oleh orang yang dengan sengaja menutup pintu ijtihad. Rasyid Ridla dalam tafsir al Mannar berkata : Ijtihad adalah bukan merupakan hal yang sulit dan tidak membutuhkan sesuatu yang merepotkan dan menyulitkan seperti orang-orang yang ingin mendapatkan gelar ilmu yang tinggi dalam ilmu kedokteran, falsafah atau yang lainnya. Begitu juga di ungkapkan oleh ibnu Arafah yanng dinukil oleh Ubay dalam syarah muslim : ketahuilah ijtihad zaman sekarang lebih mudah dibandingkan ijtihad zaman dahulu sebab banyaknya usaha-usaha untuk menyetak buku dan menerbitkannya, dan banyaknya buku yang menerangkan secara husus tentang ijtihad. Kalau dibandingkan ijtihad ulama zaman dahulu yang banyak memakan waktu untuk memecahkan satu masalah, tetapi setelah adanya percetakan ( sekitar 13 H ) menjadi mudahlah segala sesuatu yang dahulunya sulit. Ibrahim bek juga mengatakan bahwa ijtihad zaman sekarang lebih mudah dikarenakan sekarang telah banyak karangan-karangan yang mempunyai bobot baik dalam ilmu tafsir atau yang lainnya, banyaknya syarah-syarah hadist, juga berkat adanya kamus-kamus dan kitab husus tentang ayat ahkam dll. Dalam hal ini pula syekh azhar Mustafa al Maraghi mengungkapkan setelah mengcounter ulama azhar yang menolak tentang ijtihad dalam ahwal al syahsiyah : sungguh merupakan hal yang tidak pantas kalau ilmu mantiq, ilmu kalam, ilmu ushul tidak cukup untuk memahami khitab tuhan dan untuk mengetahui dalil beserta syarat- syaratnya. Ijtihad bukan hanya mungkin secara aqal tapi ijtihad itu mungkin saja secara kebiasaan , dan syarat-syarat ijtihad itu mudah dibandingkan ijtihad zaman dahulu serta pokok -pokok pembahasaan untuk ijtihad telah komplit dalam berbagai ilmu seperti hadist, tafsir, lugah, nahwu, perbedaan antara hadist sahih dan tidak. dan masih banyak lagi pokok-pokok yang mudah didapatkan. TINJAUAN KHUSUS TERHADAP BEBERAPA SYARAT IJTIHAD Sebelum meninjau syarat ijtihad, layaknya dibeberkan terlebih dahulu syarat-syaratijtihad dalam hal ini syarat ijtihad dibagi menjadi dua bagian: 1- syarat-syarat umum yaitu yang mencakup islam, baligh dan berakal 2- syarat keahlian, yang mencakup dua bagian di bawah ini a- syarat pokok yaitu: mengetahui al qur’an, hadist, bahasa arab, dan ijma’ b- syarat sampingan yaitu: mengetahui maqashid syari’ah, qawa’id, perbedaan para ulama, mengetahui kebiasaan yang terjadi disuatu tempat, mengetahui ilmu mantiq, adilnya seorang mujtahid dan kelakuan baiknya, atau pengakuan manusia terhadap keahlian sang mujtahid. Setelah mengetahui syarat-syarat ijtihad, ada beberapa syarat pokok yang perlu mendapatkan sorotan khusus yaitu: a- Mengetahui alqur’an, sudah menjadi hal yang skunder seorang yang ingin berijtihad harus mengetahui alqur’an, tetapi yang layak mendapatkan perhatian adalah apakah harus menghapal alqur’an ?, karena umat islam selama ini tidak mau berijtihad dengan alasan dia tidak hapal alqur’an, atau dia hapal hanya sedikit, dalam hal ini banyak ulama berbeda pendapat mulai dari imam al Ghazali yang mengharuskan mengafal alqur’an terlebih ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum, sampai ke Thontowi yang mewajibkan menghapal al Qur’an, tapi sebenarnya menghapal al qur’an itu tidak wajib,begitu juga menghapal ayat-ayat ahkam terlebih dengan adanya mu’jam mufahras yang sudah banyak beredar atau pasilitas yang lain. Selanjutnya mengenai syarat yang menunjang hal diatas adalah mengetahui asbab al nuzul kalau imam Syatibi mengungkapkan bahwasanya mengetahui hal tersebut adalah wajib atau ketidaktahuan akan hal tersebut adalah akan menimbulkan kesulitan dan akan terjadi keserupaan, tetapi sebenarnya asbab al nuzul tersebut belum tentu benar semuanya dan sangat sedikit sekali yang tepat pada kebenaran, jadi mengetahui asbab al nuzul adalah merupakan kelayakan tetapi tidak menjadi syarat. Masih ada satu lagi yang membuat umat islam masih enggan untuk berijtihad, yaitu umat islam masih terlalu takut untuk menyentuh nash-nash qath’i, yang padahal selama nash tersebut tidak cocok dengan akal disitulah masih terbuka pintu ijtihad. b- mengetahui al hadist, telah diketahui bersama bahwa hadist adalah salah satu sumber hukum, dari situlah orang yang ingin berijtihad bisa mengambil hukum tapi yang menjadi momok sekarang adalah, umat islam tidak mau berijtihad dengan alsan yang serupa tentang alqur’an, kalau para ulama mewajibkan menghapal hadist-hadist yang berhubungan dengan hukum, yaitu sekitar lima ratus hadist, tapi sebenarnya mengapal hadist tersebut tidak menjdi syarat, mijtahid hanya cukup melihat kitab-kitab hadist yang telah ada, itulah yang diungkapkan oleh al Ghazali, Mengenai sesuatu yang berhubungan dengan hadist adalah mengetahui asbab wurud al hadist, para perowi yang ditolak ataupun yang diterima, mengetahui al jarhu wa al ta’dil, akan tetapi bukan berarti orang yang berijtihad harus menghapal semua buku-buku yang berhubungan dengan hal-hal diatas, seorang mujtahid hanya cukup melihat kepada kitab-kitab yang telah tersedia c.Mengetahui ijma, kalau seseorang sudah berijtihad kemudian mentok di tengah jalan lantaran ijtihadnya itu berlawanan dengan ijma, itu bukanlah satu alasan untuk berhenti dan tidak melanjutkan ijtihadnya, sebab disana ada kemudahan dalam ijtihad, seperti, tidak harus takut berlawanan dengan ijma kalau memang si mujtahid tidak berkeyakinan akan hujiyyah ijma’, dalam masalah ini juga si mujtahid harus melirik ijma’- ijma terdahulu apakah masih cocok dengan waqi’ ataukah tidak, sebab ada ijma’ yang masih siap menerima perubahan tergantung dengan waqi’, wajar kalau jumhur ulama mencegah ijtihad yang berlawanan dengan ijma’ tetapi hal tersebut juga menimbulkan kontroversi dikalangan ulama itu sendiri seperti yang diungkapkan oleh al Bazdawi, boleh saja ijma model ijtihad di tentang dengan ijma’ model ijtihad pula, begitu juga yang diungkapkan oleh Abdullah al basri dan Arrazi. Dalam hal ini ijma’naqli pun masih siap di ijtihadi dengan catatan nash tersebut berhubungan dengan maslahah dan urf, selagi nash tersebut tidak cocok dengan urf dan maslahah , maka pintu ijtihad masih terbuka lebar-lebar. Kalau umat islam selama ini masih takut berijtihad karena tidak menguasai bahasa arab, itu bukanlah suatu alasan, sebab sejak dahulu imam syaukani telah mengatakan, tidak harus paham seluruh litelatur tentang bahasa arab, kalau seseorang bisa menapsirkan atau mengartikan alqur’an dan sunnah ini, atau sudah pahama apa yang di maksud oleh alquran dan al sunnah, maka sudah layaklah dia untuk berijtihad. Demikianlah sekilas sorotan terhadap syarat-syarat pokok ijtihad, yang mungkin dapat membuka jalan bagi umat islam untuk mencoba berijtihad. selanjutnya mungkin cukup dengan menyoroti syarat-syarat pokok saja, sebab syarat-syarat sampingan bukanlah menjadi syarat yang mutlak harus dipenuhi, hanya saja ijtihad akan lebih berbobot bila dilengkapi dengan syarat-syarat sampingan. MODEL IJTIHAD KONTEMPORER Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman yang menuntut fikih baru yang seiring dengan lajunya zaman, maka rasanya harus ada model ijtihad yang seiring pula, dalam hal ini ada dua bagian model ijtihad kontemporer: 1- Ijtihad selektif ( inthiqaiy ) yaitu memilih salah satu pendapat yang dinukil dari fikih klasik yang begitu luas untuk fatwa atau sebagai penguat terhadap pendapat-pendapat yang lain,ini bukan berarti taklid buta, sebab taklid buta bukan tergolong dalam kategori ijtihad. Namun yang dimaksud bagaimana mempertimbangkan antara pendapat-pendapat yang ada, kemudian merujuk kepada dalil, baik nash maupun hasil ijtihad, sehingga diambil sebuah hukum yang paling kuat dalilnya sesuai dengan pentarjihan sebuah hukum. Antara lain: pendapat harus sesuai dengan zaman dan manusia, lebih akrab pada syariat, mengutamakan pemakain maksud-maksud disyariatkan sebuah hukum, kepentingan umum serta menjauhi timbulnya kerusakan. Dalam hal ijtihad seperti ini boleh saja seorang mujtahid keluar dari mazhab empat untuk memilih pendapat-pendapat yang dilontarkan para sahabat para tabiin atau para ulama salaf, sangat disayangkan sekali kalau ada ungkapan bahwa orang-orang seperti Umar, Aisyah, Ibnu mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Zaid Bin Tsabit, Ibnu al Musayyab Ibnu Jubair, Thowus, ‘Atho, Hasan, Ibnu Sirin atau ulama thabiin yang lain bukan dikatakan sebagi pendapat ulama yang layak di ikuti, bisa diambil contoh boleh saja dalam masalah rodlo memakai ungkapannya Layst bin Sa’d dan ulama dzohiriah termasuk didalamnya Ibnu Hazm. Begitu juga di ungkapkan oleh Syeh Abdullah bin Zaid al mahmud, boleh saja melempar jumrah sebelum tergesernya matahari, ungkapan ini adalah pendapatnya Atho’ dan Thowus. 2- Ijtihad kreatif ( insyai ) mengambil hukum baru dalam permasalahan yang tidak di gagas oleh ulama terdahulu, baik masalah itu lama ataupun baru, Dalam ijtihad seperti ini biasanya yang menjadi kendala bagi para mujtahid adalah terjadinya ikhtilaf dengan ulama-ulama yang lain, padahal ijtihad adalah bukan sebuah kejahatan, ikhtilaf adalah simbol kelenturan syariat islam dan suburnya sumber. Imam syafii pernah berkata: “Pendapat saya benar namun bisa mengandung kesalahan, pendapat selain saya salah namun bisa mengandung kebenaran”. Jadi tak ada alasan untuk berhenti berijtihad hanya takut berbeda pendapat dengan para mujtahid yang lain, karena suatu perkara yang dipertentangkan oleh para ulama terdahulu dalam dua ungkapan, boleh saja seorang mujtahid menelorkan ungkapan yang ketiga ataupun yang kempat. PERBEDAAN DALAM FIQIH BUKANLAH HALANGAN Adalah hal yang membahayakan apabila seorang mujtahid mengatakan bahwa perbedaan dalam fiqih adalah halangan untuk berijtihad, padahal perbedaan dalam fiqih adalah suatu dalil akan luas dan mudahnya ajaran islam. Perbedaan ini tumbuh satu sama lain, tergantung perbedaan pokok masalahnya, tanpa menghilangkan rasa hormat dalam perbedaan dan perdebatan, adapun rasa rendah diri para mujtahid di ungkapkan seperti ungkapan imam syafiie diatas. Bahkan di lain pihak ada ulama yang berpendapat bahwa seluruh pendapat atau ijtihad ulama itu benar, dan syariat islam adalah, sesuatu yang telah di ijtihadkan oleh mujtahid sampai ke puncaknya, golongan ini di namakan al mushawwabah. Perbedaan dalam satu madzha berkembang terus, berkurang dan bertambah, menyempit dan meluas tergantung pada banyaknya riwayat dari para imam madzahib, ucapan shabat, sehingga madzhab imam Hambal sendiri yang berpegangan pada astar ada perbedaan hingga ada kitab yang jumlahnya sampai 12 jilid husus untuk membahas hal tersebut kitab tersebut adalah : “al inshaf fi al rajih min al khilaf ala madzhab al imam al mubjal ahmad bin hambal .” Adapun hal yang perlu di perhatikan adalah membersihkan ungkapan yang bodoh bahwa perbedaan ulama adalah sebuah halangan untuk berijtihad atau merupakan hal yang jelek, bisa kita ambil contoh, imam abu Yusuf dan Muhamad yang kedua duanya adalah penganut madzhab hanafi, mereka berpeda pendapat dengan imam hanafi seiring dengan berubahnya zaman, pebedaan ini adalah perbedaan situasi dan kondisi bukanlah perbedaan dalil serta hujjah. LUASNYA LINGKUPAN TARJIH DAN KEBEBASAN MEMILIH Dalam hal ini kita di perbolehkan memilih pendapat dari empat madzhab, baik pendapat tersebut adalah pendapat mufti dalam madzhab itu atau bukan, karena mufti waktunya terbatas di dalam situasi kondisi yang terbatas serta tempat yang tebatas pula kadang pendapat mufti juga bisa di tentang apabila sudah kadaluwarsa di karenakan berubahnya zaman, kejadian serta banyaknya probelematika yang baru, hal ini di namakan “taghayyur al fatwa bi al taghayur al zaman wa al makan wa al halu wa al ‘urf” Hal ini lah yang membuat banyaknya perbedaan tarjih dan tashish dalam satu madzhab dari satu masa ke masa, banyak pendapat yang di tolak dan banyak pula pendapat yang diterima yang kemudian di pilih dan di kuatkan oleh para ulama pada zaman tersebut, sehingga menjadi yang mu’tamad dan layak di fatwakan, para ulama tersebut tergadang mengambil pendapatnya imam malik dalam satu masalah, dan mengambil pendapatnya imam hanafi dalam masalah yang kedua, dan setrusnya maslah ke tiga keempat dengan berbeda imam dari masalah pertama sampai ke masalah keempat. Dapat kita ambil contoh, kita bisa saja dalam masalah masharif zakat mengambil pendapatnya imam malik dalam hal bagian zakat adalah untuk “al mu’allafah qulubuhum” dan pendapatnya imam hanafi yang membolehkan memindah zakat kepada muhrim ( rahmun muharramun ) dan orang yang sangat membutuhkan, dan pendapatnya imam syafii, zakat adalah untuk faqir miskin, serta pendapatnya imam ahmad yang membolehkan zakat untuk membeli alat alat perang dalam sabilillah. Terkadang para ulama juga mengambil pendapatnya satu imam dalam satu masalh dan mengambil pendapatnya imam yang lain dalam masalh yang lain pula, hal ini tidak di namakan talfiq seperti yang di gembor gemborkan oleh ulama mutaakhirin, karena yang di namakan talfiq adalah memilih pendapat orang lain tanpa ada dalil. Dalam keadaan selektif bisa saja kita keluar dari pendapatnya madzhab empat untuk memilih pendapatnya para shabat atau tabi’in atau para imam setelahnya. Merupakan kesalahan apabila seseorang menganggap bahwa pendapat Umar, Ali, Aisyah, ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan para ulama pada zaman sahabat, atau pendapat Ibn al Musayyab, al Fuqaha al Sab’ah, Ibnu Jubair dan para ulama tabiin yang lain adalah bukan merupakan penadapat imam imam yang layak di ikuti. Al Imam Syaikh Abdullah bin Mahmud dalam kitabnya yusrul islam membolehkan melempar jumrah dalam haji sebelam zawal, cocok dengan pendapatnya dua ulama tabi’in yaitu ‘Atha dan Thaus karena berpegangan dengan aturan syariah yang sangat kuat yaitu: 1- Kebutuhan yang sangat mendesak mengiingat banyaknya jamaah haji dan sangat sempitnya tempat untuk melempar jumrah sehingga banyak orang yang meninggal terinjak injak. 2- melempar zumrah dilakukan setelah tahalul akhir selepas ihram. 3- Abu hanifah membolehkan melempar zumrah sebelom zawal di yaum nafar. 4- Ulama hanabilah membolehkan melempar zumrah sampai hari terakhir, dan juga mereka membolehkan melempar zumrah sampai malam ( ta’khir al zumrah ) 5- Tidak adanya nash yang mewajibkan melempar zumrah sebelom zawal, adapun apa yang di lakukan nabi tidak seluruhnya menunjukan wajib atau sunnah, kalaupun wajib maka harus adad alil yang lain bahwa hal tersebut wajib, adapun hadist nabi “Khudzu anni manasikakum” tidaklah menunjukan bahwa seluruh perbuatan nabi dalam haji adalah wajib, seprti halnya hadist nabi tentang sholat. IJTIHAD SUMBER GERAKAN ISLAM Seperti telah kita ketahui bersama definisi ijtihad di atas, dan sandaran ijtihad kepada alquran dan sunnah, maka di bawah ini beberapa pembagian tingkatan para mujtahid 1- Ijtihad yang berkisar di sekitar madzhab-mandzhab yang ada ( haqun kamilun fi al tasyrie ) 2- Ijtihad yang hanya terpaku di dalam satu madzhab tertentu saja 3- Ijtihad yang tidak tergantung pada madzhab-madzhab yang ada Adapun yang akan di bahas di bawah ini adalah jenis ijtihad yang pertama, para ahli sunnah sendiri menerima akan adanya jenis ijtihad seperti ini dari segi memungkinkannya untuk di lihat dan di angan angankan, tetapi mereaka menolak jenis ijtihad seperti ini dikarenakan terlalu banyaknya syarat yang tidak mungkin di penuhi oleh seseorang. Sebelum menruskan pembahasan tentang ijtihad pertama tadi layaknya kita meninjau beberapa sebab yang menimbulkan islam sampai kepada tingkat kejumudan, para pemikir eropa mengatakan bahwa sumber kejumudan islam itu disebabkan oleh sisa sisa zaman turki , tetapi Muhammad Iqbal mengatakan sebab terjadinya kejumudan islam disebabkan oleh : 1-Perbedaan yang larut menimbulkan perselisihan yang panjang pada dekade dinasti abbasiyyah, dapat kita ambil contoh perbedaan penadapat antara Mu’tazilah dan ahlussunnah dalam masalah qidamul qur’an, hal ini terjadi di permulaan dulah abbasiyyah, dapat di ambil contoh pula perbeadaan penadapat yang terjadi tatkala Abbul ishaq Ibrahim Bin Sayyar Bin Hani Al bakhi, mengatakan bahwa Abu Hurairah adalah tidak Tsiqah dan tidak bisa di percaya dalam hadist hadistnya, inilah sekilas prebedaan penadapat yang menimbuulkan perselisihan. 2- Timbulnya golongan tasawwuf yang berorientasi zuhud, tumbuh terpengaruh secara priodip dalam perkembangannya dengan watak yang tidak islami, yang kemudian menjadi sisi toeri belaka, sisi ini mempunyai tanggung jawab besar pada perkembangan berfikir bebas karena seringkali tidak peduli dengan penomena-penomena sosial menerawang kealam lain sebagai wataknya yang khas yaitu ruh sehingga mamalingkan pandangan umat dari kateristik islam yang sipatnya sebagai undang undang sosial, maka secara global mereka memandang bahwa sebaik-baik jalan yang harus di tempuh bagi mereka adalah mengikuti berbagai madzhab dengan pandangan yang buta. Disamping dua hal diatas diantara sebab kejumudan adalah terjadinya porak poranda kehidupan islam di Baghdad pada pertengah abad ke tiga belas masehi, porak poranda ini merupakan sejarah silam yang di nilai oleh banyak sejarawan dalam menatap masa depan islam, pada masa ini kecurangan politik pun timbul yang menyebabkan para intelektualpun takut timbulnya kecurangan lain maka usaha yang mereka pusatkan hanya dalam satu hal yaitu menjaga kehidupan sosial untuk menjaga kesatuan umat dan memungkiri setiap pembaharuan dalam hukum-hukum fiqih sebvagai penjagaan pada tatanan sosial maka wajar apabila orientasi mereka sangat menonjolkan penghambaan terhadap apa yang di tinggalkan oleh para pendahulunya, hal ini bisa di amati pada cara pandang para fuqaha abad ke tiga belas dan setelahnya, maka sebagai refleksinya munculah Ibnu Taymiyyah yang di lahirkan tahun 1263 M setelah runtuhnya Bagdad yang membuka pintu ijtihad dan membantah orang orang yang mengharamkan ijtihad dan berkata atas tertutupnya pintu ijtihad, d ia merilis kembali ilmu ushul ( baca aqidah ) dengan mengajak kembali umat islam mengikuti jejak salaf, metodolginya pun lantas diikuti oleh ibnu hazm - perintis madzhab dzohiri- dalam segi syariah yang menolak madzhab hanafi tentang qiyas dan ijma, karena ijma menurutnya adalah sumber segala khurafat. Akhirnya pada qurun 16 M imam suyuti mengumandangkan kembali ijtihad, terlebih lebih tatkala ada ungkapan akan adanya seorang mujtahid yang akan timbul di setiap permulaan seratus tahun, gerakan ini merupakan sumber insfiratip baik secara langsung maupun tidak pada bentuk gerakan gerakan modern seperti gerakan sanusiah dan gerakan pan islamisme PENUTUP Akhirnya takbisa lagi seseorang muslim untuk berkata tidak, tidak ada alasan lagi untuk berkata tidak, sebab ijtihad adalah merupakan keharusan bagi seorang muslim, dengan ijtihad seorang muslim akan merasakan kebebasan berfikir yang luas tanpa terbelenggu oleh siapapun, dengan ijtihad pula seorang muslim lebih merasakan akan luas dan mudahnya agama islam, karena ijtihad bukan hanya milik ulama, ijtihad bukan hanya milik mereka yang berilmu banyak, ijtihad adalah milik umat islam dimana ada maslah disitu ada ijtihad tidak ada lagi alasan tidak hapal alqur’an atau hadist terlebih masalah yang masih jadi pertentangan. Demikianlah sekilas tentang ijtihad dan masih perlu banyak pengembangan lagi. Bacaan - DR.Nadiyyah Syarif al Umri,al Ijtihad fi al Islam mu’asassah al risalah - DR.Yusuf Qordlowi, al ijtihad fi al syari’ah al islamiyyah , Daar el qalam - DR. Mohammad Sayyid Thantawi, al ijtihad fi al syari’ah, Daar el Nahdloh - DR. Yusuf Qardlawi, al ijtihad al mu’ashir bayna al indlibat wa al infiraat, Daar al tauzie’wa al nasyr -DR. Mohammad Imarah, Hal al islamu huwa al hallu, Daar el Syuruk -Mohammad Iqbal, The recontruction of thought in Islam, terjemah bahasa arab, Abbas mahmud al Aqad, lajnah at ta’lif wa taramah,


www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt