ITIHAD
KONTEMPORER
Problem dan Solusinya
Oleh : Husnul Aqib Ameen
Pendahuluan
Ijtihad adalah merupakan bahasan yang tak henti-hentinya menjadi kajian
ketat para ulama sejak dulu sampai kini, seperti imam al Ghazali membahas
dalam bukunya al mustasfa, demikian juga imam assyaukani membahas dalam
bukunya irsyadul puhul dan masih banyak lagi ulama yung membahas dalam
masalah ijtihad ini, Begitu juga dari kalangan ulama kontemporer seperti,
Syekh ahmad Ibrahim, syekh Abd Wahab Khalaf, Dr Yusuf Qordlowi, DR. Toha
Jabir dan masih banyak lagi selain mereka.
Bersama itu, pintu ijtihad tak pernah tertutup, karena kehidupan masih
terus berlanjut, dan kejadian-kejadian masih terus berkembang, timbulnya
krisis ekonomi dan sosial, rangkaian masalah dan berbagai macam solusinya,
desakan kejadian yang tak pernah dipersiapkan oleh manusia yang menimbulkan
aneka ragam kesulitan, dan terus mengakar sampai menyelami kehidupan tekhnologi,
perdagangan, atau kehidupan individu dan umum.
Berawal dari sini maka merupakan cambuk bagi seorang muslim dengan kebebasan
berpikirnya untuk mengerahkan segala kemampuannya terhadap seluruh masalah,
sebab islam adalah agama kehidupan yang mencakup segala aspek, Islam bukan
hanya berurusan dengan masalah akhirat saja, tapi Islam lahir dalam bentuk
yang luas, mampu mengobati penyakit sosial, ekonomi, internasional, dll,
dan fiqih sendiri bukan hanya merupakan peraturan belaka, melainkan fiqih
mencakup segala masalah tergantung kejadian dan kebutuhan, fiqih masih
siap menerima perubahan selama masih tetap dalam rel qur’an dan sunnah,
dari sinilah perlu adanya ijtihad, Ijtihad merupakan hal yang terbuka bagi
seorang muslim agar merasakan kebebasan berfikir yang sempurna karena ijtihad
adalah merupakan sebuah bukti akan luas dan mudahnya syariat islam.
Definisi Ijtihad
Banyak ulama yang mendefinisikan ijtihad dengan pendapatnya masing-masing
mulai dari Syafi’i, Syaukani, Ibnu al Qayyim al Jauzi sampai kepada Qordlowi
dan Toha Jabir al 'Alwani, hemat penulis akan mengambil definisinya Sayyid
Tontowi yang amat ringkas tapi padat yaitu: Ijtihad adalah usaha seorang
muslim dengan sseluruh kemampuannya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan
cara mengambil dalil dari dalil-dalil syar’i.
Ijitihad dalam Pandangan Qur'an dan Sunnah
Sandaran ijtihad dari al Qur’an adalah: "Dan kalau mereka menyerahkan
kepada rasul dan ulil amri tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri)." (Q.S
Al-Nisa': 83) Dan firman Allah: “wa amruhum syurâ bainahum”. lafadz
"syura" dalam ayat tersebut mengandung arti membahas segala masalah
yang terjadi, yang cocok dengan dalil-dalil syari’ baik masalah tersebut
termaktub dalam nash ataupun tidak. Hal tersebut tidak terjadi kecuali
dalam ijtihad.
Adapun sandaran ijtihad dari hadist adalah ucapan nabi: “Apabila seseorang
berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, dan apabila dia salah
maka baginya satu pahala.” Pengakuan Nabi terhadap sahabat Amru ibn al
’Ash tatkala datang membawa salah satu tawanan dalam keadaan junub dan
udara pada waktu itu sangat dingin dia tidak mandi junub tetapi hanya bertanya,
kemudian dia berkata kepada nabi dengan maksud menyangkal kepada orang
yang mengadukannya, “Apakah kamu tidak tahu Allah berfirman janganlah kamu
membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.” Kemudian
Nabi tersenyum dan mengakui ijtihadnya Amru ibn al ’Ash. Begitu juga pengakuannya
nabi terhadap sahabat Muadz bin Jabal tatkala diutus ke yaman Muadz berani
berijtihad apabila hukum tidak didapatkannya di dalam al-Qur’an dan hadist.
Kewajiban Ijtihad di Zaman Modern
Kalau memang ijtihad dibutuhkan pada setiap zaman maka pada zaman modern
inilah ijtihad paling dibutuhkan sebab berubahnya keadaan kehidupan setelah
adanya revolusi teknologi maka merupakan keharusan untuk membuka kembali
pintu ijtihad yang memang sebenarnya tidak pernah ditutup. Ijtihad zaman
modern haruslah mengarah kepada masalah-masalah yang baru dan problematika
kekinian, untuk mencari solusi masalah tersebut menurut al-Qur’an dan sunnah.
Dengan ini maka layak kiranya untuk meninjau kembali ijtihad zaman dahulu,
agar ijtihad tersebut dapat layak kembali di zaman sekarang, atau setidak-tidaknya
ijtihad tersebut tidak menganggur sia-sia, menurut porsi problematika kekinian.
Layaknya ijtihad zaman sekarang ditelorkan dengan segenap kebebasan keberanian
dan kemudahan menghindari segala masalah yang menyulitkan , maka dari itu
haruslah ada ijtihad individual karena ijtihad itulah yang mencerahi segala
macam ijtihad, dan memang sebenarnya segala macam ijtihad sumbernya adalah
ijtihad individual. Ijtihad yang di dengung-dengingkan ada zaman sekarang
ini adalah merupakan kebutuhan bahkan merupakan kewajiban bagi kehidupan
umat islam untuk mengobati problematika kekinian sebab umat islam akan
hidup jumud kalau tidak di berantas dengan ijtihad. KEMUDAHAN IJTIHAD DI
ZAMAN MODERN Setelah diketahui bahwa ijtihad adalah merupakan kewajiban
bagi umat islam, apakah pantas bagi umat islam untuk meninggalkannya dengan
alasan terlalu banyaknya sarat yang mustahil disanggupi oleh seseorang,
sebenarnya syarat tersebut adalah bukan untuk menyulitkan umat islam seperti
yang diungkapkan oleh orang yang dengan sengaja menutup pintu ijtihad.
Rasyid Ridla dalam tafsir al Mannar berkata : Ijtihad adalah bukan merupakan
hal yang sulit dan tidak membutuhkan sesuatu yang merepotkan dan menyulitkan
seperti orang-orang yang ingin mendapatkan gelar ilmu yang tinggi dalam
ilmu kedokteran, falsafah atau yang lainnya. Begitu juga di ungkapkan oleh
ibnu Arafah yanng dinukil oleh Ubay dalam syarah muslim : ketahuilah ijtihad
zaman sekarang lebih mudah dibandingkan ijtihad zaman dahulu sebab banyaknya
usaha-usaha untuk menyetak buku dan menerbitkannya, dan banyaknya buku
yang menerangkan secara husus tentang ijtihad. Kalau dibandingkan ijtihad
ulama zaman dahulu yang banyak memakan waktu untuk memecahkan satu masalah,
tetapi setelah adanya percetakan ( sekitar 13 H ) menjadi mudahlah segala
sesuatu yang dahulunya sulit. Ibrahim bek juga mengatakan bahwa ijtihad
zaman sekarang lebih mudah dikarenakan sekarang telah banyak karangan-karangan
yang mempunyai bobot baik dalam ilmu tafsir atau yang lainnya, banyaknya
syarah-syarah hadist, juga berkat adanya kamus-kamus dan kitab husus tentang
ayat ahkam dll. Dalam hal ini pula syekh azhar Mustafa al Maraghi mengungkapkan
setelah mengcounter ulama azhar yang menolak tentang ijtihad dalam ahwal
al syahsiyah : sungguh merupakan hal yang tidak pantas kalau ilmu mantiq,
ilmu kalam, ilmu ushul tidak cukup untuk memahami khitab tuhan dan untuk
mengetahui dalil beserta syarat- syaratnya. Ijtihad bukan hanya mungkin
secara aqal tapi ijtihad itu mungkin saja secara kebiasaan , dan syarat-syarat
ijtihad itu mudah dibandingkan ijtihad zaman dahulu serta pokok -pokok
pembahasaan untuk ijtihad telah komplit dalam berbagai ilmu seperti hadist,
tafsir, lugah, nahwu, perbedaan antara hadist sahih dan tidak. dan masih
banyak lagi pokok-pokok yang mudah didapatkan. TINJAUAN KHUSUS TERHADAP
BEBERAPA SYARAT IJTIHAD Sebelum meninjau syarat ijtihad, layaknya dibeberkan
terlebih dahulu syarat-syaratijtihad dalam hal ini syarat ijtihad dibagi
menjadi dua bagian: 1- syarat-syarat umum yaitu yang mencakup islam, baligh
dan berakal 2- syarat keahlian, yang mencakup dua bagian di bawah ini a-
syarat pokok yaitu: mengetahui al qur’an, hadist, bahasa arab, dan ijma’
b- syarat sampingan yaitu: mengetahui maqashid syari’ah, qawa’id, perbedaan
para ulama, mengetahui kebiasaan yang terjadi disuatu tempat, mengetahui
ilmu mantiq, adilnya seorang mujtahid dan kelakuan baiknya, atau pengakuan
manusia terhadap keahlian sang mujtahid. Setelah mengetahui syarat-syarat
ijtihad, ada beberapa syarat pokok yang perlu mendapatkan sorotan khusus
yaitu: a- Mengetahui alqur’an, sudah menjadi hal yang skunder seorang yang
ingin berijtihad harus mengetahui alqur’an, tetapi yang layak mendapatkan
perhatian adalah apakah harus menghapal alqur’an ?, karena umat islam selama
ini tidak mau berijtihad dengan alasan dia tidak hapal alqur’an, atau dia
hapal hanya sedikit, dalam hal ini banyak ulama berbeda pendapat mulai
dari imam al Ghazali yang mengharuskan mengafal alqur’an terlebih ayat-ayat
yang berhubungan dengan hukum, sampai ke Thontowi yang mewajibkan menghapal
al Qur’an, tapi sebenarnya menghapal al qur’an itu tidak wajib,begitu juga
menghapal ayat-ayat ahkam terlebih dengan adanya mu’jam mufahras yang sudah
banyak beredar atau pasilitas yang lain. Selanjutnya mengenai syarat yang
menunjang hal diatas adalah mengetahui asbab al nuzul kalau imam Syatibi
mengungkapkan bahwasanya mengetahui hal tersebut adalah wajib atau ketidaktahuan
akan hal tersebut adalah akan menimbulkan kesulitan dan akan terjadi keserupaan,
tetapi sebenarnya asbab al nuzul tersebut belum tentu benar semuanya dan
sangat sedikit sekali yang tepat pada kebenaran, jadi mengetahui asbab
al nuzul adalah merupakan kelayakan tetapi tidak menjadi syarat. Masih
ada satu lagi yang membuat umat islam masih enggan untuk berijtihad, yaitu
umat islam masih terlalu takut untuk menyentuh nash-nash qath’i, yang padahal
selama nash tersebut tidak cocok dengan akal disitulah masih terbuka pintu
ijtihad. b- mengetahui al hadist, telah diketahui bersama bahwa hadist
adalah salah satu sumber hukum, dari situlah orang yang ingin berijtihad
bisa mengambil hukum tapi yang menjadi momok sekarang adalah, umat islam
tidak mau berijtihad dengan alsan yang serupa tentang alqur’an, kalau para
ulama mewajibkan menghapal hadist-hadist yang berhubungan dengan hukum,
yaitu sekitar lima ratus hadist, tapi sebenarnya mengapal hadist tersebut
tidak menjdi syarat, mijtahid hanya cukup melihat kitab-kitab hadist yang
telah ada, itulah yang diungkapkan oleh al Ghazali, Mengenai sesuatu yang
berhubungan dengan hadist adalah mengetahui asbab wurud al hadist, para
perowi yang ditolak ataupun yang diterima, mengetahui al jarhu wa al ta’dil,
akan tetapi bukan berarti orang yang berijtihad harus menghapal semua buku-buku
yang berhubungan dengan hal-hal diatas, seorang mujtahid hanya cukup melihat
kepada kitab-kitab yang telah tersedia c.Mengetahui ijma, kalau seseorang
sudah berijtihad kemudian mentok di tengah jalan lantaran ijtihadnya itu
berlawanan dengan ijma, itu bukanlah satu alasan untuk berhenti dan tidak
melanjutkan ijtihadnya, sebab disana ada kemudahan dalam ijtihad, seperti,
tidak harus takut berlawanan dengan ijma kalau memang si mujtahid tidak
berkeyakinan akan hujiyyah ijma’, dalam masalah ini juga si mujtahid harus
melirik ijma’- ijma terdahulu apakah masih cocok dengan waqi’ ataukah tidak,
sebab ada ijma’ yang masih siap menerima perubahan tergantung dengan waqi’,
wajar kalau jumhur ulama mencegah ijtihad yang berlawanan dengan ijma’
tetapi hal tersebut juga menimbulkan kontroversi dikalangan ulama itu sendiri
seperti yang diungkapkan oleh al Bazdawi, boleh saja ijma model ijtihad
di tentang dengan ijma’ model ijtihad pula, begitu juga yang diungkapkan
oleh Abdullah al basri dan Arrazi. Dalam hal ini ijma’naqli pun masih siap
di ijtihadi dengan catatan nash tersebut berhubungan dengan maslahah dan
urf, selagi nash tersebut tidak cocok dengan urf dan maslahah , maka pintu
ijtihad masih terbuka lebar-lebar. Kalau umat islam selama ini masih takut
berijtihad karena tidak menguasai bahasa arab, itu bukanlah suatu alasan,
sebab sejak dahulu imam syaukani telah mengatakan, tidak harus paham seluruh
litelatur tentang bahasa arab, kalau seseorang bisa menapsirkan atau mengartikan
alqur’an dan sunnah ini, atau sudah pahama apa yang di maksud oleh alquran
dan al sunnah, maka sudah layaklah dia untuk berijtihad. Demikianlah sekilas
sorotan terhadap syarat-syarat pokok ijtihad, yang mungkin dapat membuka
jalan bagi umat islam untuk mencoba berijtihad. selanjutnya mungkin cukup
dengan menyoroti syarat-syarat pokok saja, sebab syarat-syarat sampingan
bukanlah menjadi syarat yang mutlak harus dipenuhi, hanya saja ijtihad
akan lebih berbobot bila dilengkapi dengan syarat-syarat sampingan. MODEL
IJTIHAD KONTEMPORER Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman yang menuntut
fikih baru yang seiring dengan lajunya zaman, maka rasanya harus ada model
ijtihad yang seiring pula, dalam hal ini ada dua bagian model ijtihad kontemporer:
1- Ijtihad selektif ( inthiqaiy ) yaitu memilih salah satu pendapat yang
dinukil dari fikih klasik yang begitu luas untuk fatwa atau sebagai penguat
terhadap pendapat-pendapat yang lain,ini bukan berarti taklid buta, sebab
taklid buta bukan tergolong dalam kategori ijtihad. Namun yang dimaksud
bagaimana mempertimbangkan antara pendapat-pendapat yang ada, kemudian
merujuk kepada dalil, baik nash maupun hasil ijtihad, sehingga diambil
sebuah hukum yang paling kuat dalilnya sesuai dengan pentarjihan sebuah
hukum. Antara lain: pendapat harus sesuai dengan zaman dan manusia, lebih
akrab pada syariat, mengutamakan pemakain maksud-maksud disyariatkan sebuah
hukum, kepentingan umum serta menjauhi timbulnya kerusakan. Dalam hal ijtihad
seperti ini boleh saja seorang mujtahid keluar dari mazhab empat untuk
memilih pendapat-pendapat yang dilontarkan para sahabat para tabiin atau
para ulama salaf, sangat disayangkan sekali kalau ada ungkapan bahwa orang-orang
seperti Umar, Aisyah, Ibnu mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Zaid Bin Tsabit,
Ibnu al Musayyab Ibnu Jubair, Thowus, ‘Atho, Hasan, Ibnu Sirin atau ulama
thabiin yang lain bukan dikatakan sebagi pendapat ulama yang layak di ikuti,
bisa diambil contoh boleh saja dalam masalah rodlo memakai ungkapannya
Layst bin Sa’d dan ulama dzohiriah termasuk didalamnya Ibnu Hazm. Begitu
juga di ungkapkan oleh Syeh Abdullah bin Zaid al mahmud, boleh saja melempar
jumrah sebelum tergesernya matahari, ungkapan ini adalah pendapatnya Atho’
dan Thowus. 2- Ijtihad kreatif ( insyai ) mengambil hukum baru dalam permasalahan
yang tidak di gagas oleh ulama terdahulu, baik masalah itu lama ataupun
baru, Dalam ijtihad seperti ini biasanya yang menjadi kendala bagi para
mujtahid adalah terjadinya ikhtilaf dengan ulama-ulama yang lain, padahal
ijtihad adalah bukan sebuah kejahatan, ikhtilaf adalah simbol kelenturan
syariat islam dan suburnya sumber. Imam syafii pernah berkata: “Pendapat
saya benar namun bisa mengandung kesalahan, pendapat selain saya salah
namun bisa mengandung kebenaran”. Jadi tak ada alasan untuk berhenti berijtihad
hanya takut berbeda pendapat dengan para mujtahid yang lain, karena suatu
perkara yang dipertentangkan oleh para ulama terdahulu dalam dua ungkapan,
boleh saja seorang mujtahid menelorkan ungkapan yang ketiga ataupun yang
kempat. PERBEDAAN DALAM FIQIH BUKANLAH HALANGAN Adalah hal yang membahayakan
apabila seorang mujtahid mengatakan bahwa perbedaan dalam fiqih adalah
halangan untuk berijtihad, padahal perbedaan dalam fiqih adalah suatu dalil
akan luas dan mudahnya ajaran islam. Perbedaan ini tumbuh satu sama lain,
tergantung perbedaan pokok masalahnya, tanpa menghilangkan rasa hormat
dalam perbedaan dan perdebatan, adapun rasa rendah diri para mujtahid di
ungkapkan seperti ungkapan imam syafiie diatas. Bahkan di lain pihak ada
ulama yang berpendapat bahwa seluruh pendapat atau ijtihad ulama itu benar,
dan syariat islam adalah, sesuatu yang telah di ijtihadkan oleh mujtahid
sampai ke puncaknya, golongan ini di namakan al mushawwabah. Perbedaan
dalam satu madzha berkembang terus, berkurang dan bertambah, menyempit
dan meluas tergantung pada banyaknya riwayat dari para imam madzahib, ucapan
shabat, sehingga madzhab imam Hambal sendiri yang berpegangan pada astar
ada perbedaan hingga ada kitab yang jumlahnya sampai 12 jilid husus untuk
membahas hal tersebut kitab tersebut adalah : “al inshaf fi al rajih min
al khilaf ala madzhab al imam al mubjal ahmad bin hambal .” Adapun hal
yang perlu di perhatikan adalah membersihkan ungkapan yang bodoh bahwa
perbedaan ulama adalah sebuah halangan untuk berijtihad atau merupakan
hal yang jelek, bisa kita ambil contoh, imam abu Yusuf dan Muhamad yang
kedua duanya adalah penganut madzhab hanafi, mereka berpeda pendapat dengan
imam hanafi seiring dengan berubahnya zaman, pebedaan ini adalah perbedaan
situasi dan kondisi bukanlah perbedaan dalil serta hujjah. LUASNYA LINGKUPAN
TARJIH DAN KEBEBASAN MEMILIH Dalam hal ini kita di perbolehkan memilih
pendapat dari empat madzhab, baik pendapat tersebut adalah pendapat mufti
dalam madzhab itu atau bukan, karena mufti waktunya terbatas di dalam situasi
kondisi yang terbatas serta tempat yang tebatas pula kadang pendapat mufti
juga bisa di tentang apabila sudah kadaluwarsa di karenakan berubahnya
zaman, kejadian serta banyaknya probelematika yang baru, hal ini di namakan
“taghayyur al fatwa bi al taghayur al zaman wa al makan wa al halu wa al
‘urf” Hal ini lah yang membuat banyaknya perbedaan tarjih dan tashish dalam
satu madzhab dari satu masa ke masa, banyak pendapat yang di tolak dan
banyak pula pendapat yang diterima yang kemudian di pilih dan di kuatkan
oleh para ulama pada zaman tersebut, sehingga menjadi yang mu’tamad dan
layak di fatwakan, para ulama tersebut tergadang mengambil pendapatnya
imam malik dalam satu masalah, dan mengambil pendapatnya imam hanafi dalam
masalah yang kedua, dan setrusnya maslah ke tiga keempat dengan berbeda
imam dari masalah pertama sampai ke masalah keempat. Dapat kita ambil contoh,
kita bisa saja dalam masalah masharif zakat mengambil pendapatnya imam
malik dalam hal bagian zakat adalah untuk “al mu’allafah qulubuhum” dan
pendapatnya imam hanafi yang membolehkan memindah zakat kepada muhrim (
rahmun muharramun ) dan orang yang sangat membutuhkan, dan pendapatnya
imam syafii, zakat adalah untuk faqir miskin, serta pendapatnya imam ahmad
yang membolehkan zakat untuk membeli alat alat perang dalam sabilillah.
Terkadang para ulama juga mengambil pendapatnya satu imam dalam satu masalh
dan mengambil pendapatnya imam yang lain dalam masalh yang lain pula, hal
ini tidak di namakan talfiq seperti yang di gembor gemborkan oleh ulama
mutaakhirin, karena yang di namakan talfiq adalah memilih pendapat orang
lain tanpa ada dalil. Dalam keadaan selektif bisa saja kita keluar dari
pendapatnya madzhab empat untuk memilih pendapatnya para shabat atau tabi’in
atau para imam setelahnya. Merupakan kesalahan apabila seseorang menganggap
bahwa pendapat Umar, Ali, Aisyah, ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan
para ulama pada zaman sahabat, atau pendapat Ibn al Musayyab, al Fuqaha
al Sab’ah, Ibnu Jubair dan para ulama tabiin yang lain adalah bukan merupakan
penadapat imam imam yang layak di ikuti. Al Imam Syaikh Abdullah bin Mahmud
dalam kitabnya yusrul islam membolehkan melempar jumrah dalam haji sebelam
zawal, cocok dengan pendapatnya dua ulama tabi’in yaitu ‘Atha dan Thaus
karena berpegangan dengan aturan syariah yang sangat kuat yaitu: 1- Kebutuhan
yang sangat mendesak mengiingat banyaknya jamaah haji dan sangat sempitnya
tempat untuk melempar jumrah sehingga banyak orang yang meninggal terinjak
injak. 2- melempar zumrah dilakukan setelah tahalul akhir selepas ihram.
3- Abu hanifah membolehkan melempar zumrah sebelom zawal di yaum nafar.
4- Ulama hanabilah membolehkan melempar zumrah sampai hari terakhir, dan
juga mereka membolehkan melempar zumrah sampai malam ( ta’khir al zumrah
) 5- Tidak adanya nash yang mewajibkan melempar zumrah sebelom zawal, adapun
apa yang di lakukan nabi tidak seluruhnya menunjukan wajib atau sunnah,
kalaupun wajib maka harus adad alil yang lain bahwa hal tersebut wajib,
adapun hadist nabi “Khudzu anni manasikakum” tidaklah menunjukan bahwa
seluruh perbuatan nabi dalam haji adalah wajib, seprti halnya hadist nabi
tentang sholat. IJTIHAD SUMBER GERAKAN ISLAM Seperti telah kita ketahui
bersama definisi ijtihad di atas, dan sandaran ijtihad kepada alquran dan
sunnah, maka di bawah ini beberapa pembagian tingkatan para mujtahid 1-
Ijtihad yang berkisar di sekitar madzhab-mandzhab yang ada ( haqun kamilun
fi al tasyrie ) 2- Ijtihad yang hanya terpaku di dalam satu madzhab tertentu
saja 3- Ijtihad yang tidak tergantung pada madzhab-madzhab yang ada Adapun
yang akan di bahas di bawah ini adalah jenis ijtihad yang pertama, para
ahli sunnah sendiri menerima akan adanya jenis ijtihad seperti ini dari
segi memungkinkannya untuk di lihat dan di angan angankan, tetapi mereaka
menolak jenis ijtihad seperti ini dikarenakan terlalu banyaknya syarat
yang tidak mungkin di penuhi oleh seseorang. Sebelum menruskan pembahasan
tentang ijtihad pertama tadi layaknya kita meninjau beberapa sebab yang
menimbulkan islam sampai kepada tingkat kejumudan, para pemikir eropa mengatakan
bahwa sumber kejumudan islam itu disebabkan oleh sisa sisa zaman turki
, tetapi Muhammad Iqbal mengatakan sebab terjadinya kejumudan islam disebabkan
oleh : 1-Perbedaan yang larut menimbulkan perselisihan yang panjang pada
dekade dinasti abbasiyyah, dapat kita ambil contoh perbedaan penadapat
antara Mu’tazilah dan ahlussunnah dalam masalah qidamul qur’an, hal ini
terjadi di permulaan dulah abbasiyyah, dapat di ambil contoh pula perbeadaan
penadapat yang terjadi tatkala Abbul ishaq Ibrahim Bin Sayyar Bin Hani
Al bakhi, mengatakan bahwa Abu Hurairah adalah tidak Tsiqah dan tidak bisa
di percaya dalam hadist hadistnya, inilah sekilas prebedaan penadapat yang
menimbuulkan perselisihan. 2- Timbulnya golongan tasawwuf yang berorientasi
zuhud, tumbuh terpengaruh secara priodip dalam perkembangannya dengan watak
yang tidak islami, yang kemudian menjadi sisi toeri belaka, sisi ini mempunyai
tanggung jawab besar pada perkembangan berfikir bebas karena seringkali
tidak peduli dengan penomena-penomena sosial menerawang kealam lain sebagai
wataknya yang khas yaitu ruh sehingga mamalingkan pandangan umat dari kateristik
islam yang sipatnya sebagai undang undang sosial, maka secara global mereka
memandang bahwa sebaik-baik jalan yang harus di tempuh bagi mereka adalah
mengikuti berbagai madzhab dengan pandangan yang buta. Disamping dua hal
diatas diantara sebab kejumudan adalah terjadinya porak poranda kehidupan
islam di Baghdad pada pertengah abad ke tiga belas masehi, porak poranda
ini merupakan sejarah silam yang di nilai oleh banyak sejarawan dalam menatap
masa depan islam, pada masa ini kecurangan politik pun timbul yang menyebabkan
para intelektualpun takut timbulnya kecurangan lain maka usaha yang mereka
pusatkan hanya dalam satu hal yaitu menjaga kehidupan sosial untuk menjaga
kesatuan umat dan memungkiri setiap pembaharuan dalam hukum-hukum fiqih
sebvagai penjagaan pada tatanan sosial maka wajar apabila orientasi mereka
sangat menonjolkan penghambaan terhadap apa yang di tinggalkan oleh para
pendahulunya, hal ini bisa di amati pada cara pandang para fuqaha abad
ke tiga belas dan setelahnya, maka sebagai refleksinya munculah Ibnu Taymiyyah
yang di lahirkan tahun 1263 M setelah runtuhnya Bagdad yang membuka pintu
ijtihad dan membantah orang orang yang mengharamkan ijtihad dan berkata
atas tertutupnya pintu ijtihad, d ia merilis kembali ilmu ushul ( baca
aqidah ) dengan mengajak kembali umat islam mengikuti jejak salaf, metodolginya
pun lantas diikuti oleh ibnu hazm - perintis madzhab dzohiri- dalam segi
syariah yang menolak madzhab hanafi tentang qiyas dan ijma, karena ijma
menurutnya adalah sumber segala khurafat. Akhirnya pada qurun 16 M imam
suyuti mengumandangkan kembali ijtihad, terlebih lebih tatkala ada ungkapan
akan adanya seorang mujtahid yang akan timbul di setiap permulaan seratus
tahun, gerakan ini merupakan sumber insfiratip baik secara langsung maupun
tidak pada bentuk gerakan gerakan modern seperti gerakan sanusiah dan gerakan
pan islamisme PENUTUP Akhirnya takbisa lagi seseorang muslim untuk berkata
tidak, tidak ada alasan lagi untuk berkata tidak, sebab ijtihad adalah
merupakan keharusan bagi seorang muslim, dengan ijtihad seorang muslim
akan merasakan kebebasan berfikir yang luas tanpa terbelenggu oleh siapapun,
dengan ijtihad pula seorang muslim lebih merasakan akan luas dan mudahnya
agama islam, karena ijtihad bukan hanya milik ulama, ijtihad bukan hanya
milik mereka yang berilmu banyak, ijtihad adalah milik umat islam dimana
ada maslah disitu ada ijtihad tidak ada lagi alasan tidak hapal alqur’an
atau hadist terlebih masalah yang masih jadi pertentangan. Demikianlah
sekilas tentang ijtihad dan masih perlu banyak pengembangan lagi. Bacaan
- DR.Nadiyyah Syarif al Umri,al Ijtihad fi al Islam mu’asassah al risalah
- DR.Yusuf Qordlowi, al ijtihad fi al syari’ah al islamiyyah , Daar el
qalam - DR. Mohammad Sayyid Thantawi, al ijtihad fi al syari’ah, Daar el
Nahdloh - DR. Yusuf Qardlawi, al ijtihad al mu’ashir bayna al indlibat
wa al infiraat, Daar al tauzie’wa al nasyr -DR. Mohammad Imarah, Hal al
islamu huwa al hallu, Daar el Syuruk -Mohammad Iqbal, The recontruction
of thought in Islam, terjemah bahasa arab, Abbas mahmud al Aqad, lajnah
at ta’lif wa taramah,
|