[  Kliping NU 1998  ]


Minggu, 26 Juli 1998

Sekitar Larangan Peringatan Peristiwa 27 Juli

Jakarta, Kompas Peringatan Peristiwa 27 Juli 1996 akan diselenggarakan besar-besaran di Yogyakarta. Surabaya dan Ujungpandang juga akan memperingati peristiwa berdarah yang terjadi dua tahun lalu di Jakarta. Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Tyas Sudarto menyatakan tidak keberatan peristiwa itu diperingati asal ada jaminan keamanan. Di Jakarta peringatan secara besar-besaran itu dilarang, karena dikawatirkan kalau terjadi kerusuhan, rakyat sendiri yang rugi.

Menhamkam/Pangab Jenderal TNI Wiranto menjawab pers soal peringatan 27 Juli oleh DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta, Sabtu (25/7) di Gunungkidul (DIY) menyatakan, orientasi pelarangan itu semata-mata untuk kepentingan rakyat Indonesia yang lebih besar. "Anda tahu Jakarta ini mudah sekali muncul kerusuhan. Kalau Jakarta rusuh, yang rugi rakyat sendiri. Untuk apa kita menumpuk massa bila pada akhirnya akan menimbulkan kerusuhan."

Wiranto menyatakan, bertitik tolak dari Jakarta, Indonesia sedang membangun pemulihan kepercayaan. "Kalau Jakarta rusuh, kita akan semakin luntur dan jatuh. Bantuan luar negeri, investasi tidak akan masuk, perekonomian kita sulit pulih," kata Wiranto, yang berkeyakinan, kerusuhan biasanya berawal dari penumpukan massa.

Wiranto menyatakan, peringatan itu boleh dilaksanakan asal di bawah 50 orang. Dalam jumlah itu semua komponen boleh mengungkapkan kemerdekaannya apa pun pandangannya tentang peristiwa 27 Juli. "Tetapi kalau lebih dari 50, ya harus izin dari Kepolisian."

Persiapan di Yogyakarta

Rapat Akbar dan Doa Bersama Peringatan Dua Tahun Peristiwa Kelabu 27 Juli di Yogyakarta, disambut 20.000 bendera dan umbul-umbul baru. Selain itu, 300 personil Banser (Bantuan Serbaguna) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DI Yogyakarta (DIY), 1.000 Satuan Tugas (Satgas) PDI Yogyakarta, akan mengamankannya. Rapat akbar di Alun-Alun Utara Yogyakarta, Minggu (26/7), akan dihadiri sekitar 30.000 massa PDI Perjuangan di DIY dan kota sekitarnya.

Menurut Ketua Panitia Peringatan, Cinde Laras Yulianto, bendera yang dipasang itu merupakan bendera baru yang dibuat swadaya masyarakat PDI, setelah sekitar 50.000 bendera serta atribut PDI dilarung ke Laut Selatan pasca kerusuhan 27 Juli 1996.

"Memang, sejak ada penyerangan oleh massa PDI Soerjadi terhadap massa PDI pro-Mega di kantor DPP PDI dua tahun lalu, massa PDI Yogyakarta sepakat untuk tidak mendukung PDI yang dipimpin Soerjadi. Karena itu mereka melarung seluruh atribut PDI ke Laut Selatan."

Tidak menutup mata

Pangdam IV/Diponegoro Mayjen TNI Tyasno Sudarto ketika ke Yogyakarta, Kamis (23/7) lalu menyatakan tidak keberatan warga PDI di DIY dan Jateng memperingati Insiden 27 Juli, asal ada jaminan, keamanan dan ketertiban umum tidak terganggu.

"Meski secara asas legalitas pihak keamanan hanya mengakui PDI Soerjadi, kami juga harus membuka mata terhadap pendukung Megawati yang begitu banyak. Kami berharap terjadi negosiasi ke arah penyatuan di antara keduanya secepat mungkin," katanya.

Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan DIY Katin Subiantoro menyatakan, Megawati sudah dipastikan akan hadir bersama salah satu Ketua DPP PDI Soetardjo Soerjoguritno. "Ibu Megawati akan memberikan pidato politik," kata Katin yang telah datang ke Jakarta menemui Megawati.

Di Surabaya

Untuk memperingati peristiwa 27 Juli, seniman "Sanggar Surobojo" pimpinan M. Brewok bakal menggelar teater di Taman Budaya Jatim, Senin 27/7) malam. Secara terpisah, warga dan pengurus DPD PDI Pro Megawati, juga bertekad memperingati peristiwa itu.

Brewok menjelaskan, pihaknya sudah mengantungi izin dari pengurus Taman Budaya Jatim. Teaternya akan menggelar lakon Teater Kesaksian Dua Tujuh, berisi kesaksian Brewok saat mengalami siksaan di instansi militer di Wonocolo, Surabaya. "PRD dan penyiksaan atas diri saya merupakan bagian dari proses pengkambinghitaman, setelah peristiwa 27 Juli. Teater ini menggelar kesaksian itu."

Pangdam V/Brawijaya kepada pers, Jumat (24/7) menegaskan, pihaknya melarang peringatan 27 Juli jika dilakukan dengan cara menggerakkan massa ke jalan. Acara diizinkan bila dilakukan di kantor atau di rumah.

Di Sulsel

Dari Ujungpandang dilaporkan, DPD PDI Perjuangan Sulsel siap memperingati peristiwa 27 Juli. Prosesinya dilakukan di kantor resmi DPD PDI Sulsel Jl Karunrung, yang sejak akhir Juli 1996 diambil alih PDI Soerjadi lalu dinyatakan status quo.

"Peringatan 27 Juli kami rangkai dengan pengambilalihan kantor DPD PDI Sulsel," ungkap Charles, seorang panitia kepada pers, Sabtu (25/7) dan untuk acara itu pihaknya merasa tak perlu minta izin. "Cukup pemberitahuan saja," katanya.

Sejauh ini, belum ada hambatan dari aparat keamanan mengenai perizinan. DPD PDI Sulsel dipimpin duet Andi Potji dan Jacobus Camarlouw MP (ketua dan sekretaris), bersama para pendukungnya, tetap setia kepada PDI Megawati.

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Clementino dos Reis Amaral menegaskan, larangan peringatan 27 Juli karena alasan kekhawatiran keamanan merupakan bentuk pelanggaran HAM. Pelarangan itu tidak sesuai dengan reformasi di segala bidang dan demokratisasi yang tengah diwujudkan semua pihak.

Amaral mengatakan hal itu, Sabtu (25/7), di Jakarta, menanggapi masih belum diizinkannya peringatan 27 Juli yang diselenggarakan DPP PDI Perjuangan pimpinan Megawati.

"Beri saja izin, asal mereka (penyelenggara) bertanggung jawab. Dalam peringatan itu bisa saja mereka mengeluarkan pernyataan sikap, tapi kalau ini dilarang ya jelas merupakan pelanggaran kebebasan menyatakan pendapat," katanya.

Direktur Eksekutif Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Hendardi menganggap, pemerintahan Habibie masih ketakutan dengan politik massa, seperti dalam pemerintahan Orde Baru. Ini mendorong peringatan 27 Juli yang akan melibatkan massa, tidak diperbolehkan.

Bahkan, katanya, dikeluarkannya Perpu No 2 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Jumat lalu, satu tujuannya adalah menghambat peringatan itu. "Ini jelas terlihat, karena Perpu yang intinya membatasi hak rakyat menyampaikan pendapat itu disahkan saat DPR akan reses dan menjelang peringatan 27 Juli," tuturnya.

Belum mereformasi

Menurut Amaral, dengan adanya pelarangan peringatan itu, masyarakat akan menilai jajaran kepolisian belum mengupayakan reformasi. Ini bisa diartikan masih memihak Orde Baru dan mantan Presiden Soeharto yang tidak bisa dilepaskan dari insiden 27 Juli 1996, dan merusak proses demokratisasi yang kini tengah digulirkan. Pelarangan itu juga melanggar UU, karena di dalam UU pun tidak ada pelarangan seperti itu. Yang diperlukan hanya memberitahukan.

"Kepolisian seharusnya mempertimbangkan dampak pelarangan itu. Pelarangan itu berpengaruh cukup besar terhadap orang-orang yang mau menanamkan modalnya di sini. Mereka melihat unsur penguasa masih menginterpretasikan hukum dengan semaunya," tambahnya.

Amaral yang mengenal dekat Kapolri, tidak yakin kalau keputusan pelarangan itu datang dari Roesmanhadi sendiri. Tampaknya, larangan itu lebih merupakan tekanan pihak ketiga. Alasan pelarangan itu bisa jadi ada kaitannya dengan rekomendasi Komnas HAM yang sampai saat ini belum dilaksanakan, yaitu menghukum pihak yang menyerbu dan merusak kantor DPP PDI.

Hendardi menambahkan, sebenarnya pemerintah Habibie saat ini sedang membangun kekuatan. Karena itu, peringatan 27 Juli yang dapat menjadi ajang bagi Megawati Soekarnoputri menunjukkan kekuatan massa, dipandang sebagai ancaman. Dengan berbagai cara, acara itu dihambat. "Jika pemerintahan Habibie benar mendukung reformasi, sebenarnya tak perlu ada larangan peringatan 27 Juli dan mengeluarkan Perpu semacam itu." (oki/ody/yul/top/hrd/tra)


www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt