[  Kliping NU 1998  ]


Minggu, 26 Juli 1998

Mencari Konfigurasi Baru yang Kukuh dan Stabil

PENGANTAR REDAKSI

KELAHIRAN sejumlah besar partai politik akhir-akhir ini dengan latar belakang dan orientasi berbeda-beda yang mencakup suatu spektrum sangat luas, merupakan fenomena paling menonjol dari Orde Reformasi pada fase awal.

Kelahiran partai-partai politik itu tentu saja akan ikut mempengaruhi karakteristik politik Orde Reformasi. Menanggapi hal itu, di sini dimuat sebuah laporan yang mencoba membahas pengaruh kelahiran partai-partai baru tersebut. Laporan itu disusun wartawan Kompas, Manuel Kaisiepo.

ORDE Reformasi dan Kabinet Reformasi adalah dua hal yang bisa sama tetapi belum tentu identik. Kabinet Reformasi di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie yang tampil sejak Mei 1998 masih harus diuji legitimasinya, misalnya lewat pemilihan umum tahun 1999. Namun apabila Kabinet Reformasi mampu mengatasi krisis ekonomi saat ini dan mampu memperoleh legitimasi dalam pemilu mendatang, maka ia akan sangat mewarnai karakteristik Orde Reformasi, paling tidak pada fase-fase awalnya.

Orde Reformasi yang dibidani kelahirannya oleh para mahasiswa, bukan merupakan kelanjutan Orde Baru, dan karena itu segala ciri dasar atau karakteristiknya juga harus berbeda. Apa yang menjadi ciri dasar atau karakteristik Orde Reformasi? Jawabannya hanya satu: demokratisasi.

Semangat demokratisasi sebagai inti itulah yang kemudian dijabarkan dalam berbagai isu populer maupun serius seperti pemberantasan "KKN" (korupsi, kolusi, dan nepotisme), penegakan hukum dan keadilan, perwujudan hak-hak asasi manusia, pembebasan tahanan politik, terjaminnya kebebasan pers, hingga ke kebebasan berkumpul dan berserikat.

Sementara isu pemberantasan "KKN" masih terus bergulir, eforia reformasi itu juga telah menjalar ke mana-mana dalam berbagai bentuk aktivitas. Salah satu yang paling menonjol adalah fenomena kelahiran partai-partai politik baru dengan latar belakang serta orientasi beraneka ragam dalam suatu spektrum yang amat luas.

Hingga kini tercatat sudah sekitar 40 partai terbentuk. Kemudian muncul lagi dua partai baru yaitu Partai Amanah Bangsa (PAB) yang dipimpin Dr Amien Rais dan teman-temannya dari Muhammadiyah, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dipimpin Matori Abdul Djalil dan teman-temannya dari Nahdlatul Ulama (NU). Dalam waktu dekat mungkin Megawati Sukarnoputri akan membentuk suatu partai baru, atau meneruskan PDI Perjuangan.

Masing-masing partai telah mengumumkan pembentukannya melalui deklarasi yang berisi nama partai, personalia pengurus, serta yang terpenting visi serta program yang akan ditawarkannya kepada calon massa pemilihnya dalam pemilu mendatang.

Fenomena kelahiran partai-partai politik ini kembali mengingatkan orang pada situasi politik periode 1945-1965. Selama 20 tahun itu kebanyakan orang yang mengamati dan menggeluti masalah politik secara jelas memihak atau menjadi anggota sebuah partai politik. Di sana ada sikap keberpihakan dan keterlibatan yang aktif dari setiap warga negara dalam kehidupan politik melalui partai-partai.

Politik aliran

Kegairahan kehidupan politik melalui partai-partai itu bukan saja dirasakan di daerah perkotaan, melainkan juga meluas secara merata hingga ke pelosok-pelosok desa. Atas dasar keberpihakan dan ketersebaran aktivitas politik itu, Geertz merumuskan pola afiliasi politik masa itu sebagai pola "aliran."

Berbagai aliran politik pada periode 1945 - 1965 itu bukan saja bisa diidentifikasikan menurut kerangka ideologi atau orientasi tujuannya, melainkan juga pada pola afiliasi massa pengikut masing-masing aliran tersebut, yang terungkap secara nyata dalam diri partai-partai politik dan berbagai organisasi pendukungnya.

Dengan memperluas dimensi kebudayaan dalam analisis Geertz mengenai aliran, Feith dan Castles telah membuat suatu pemetaan menarik mengenai lima aliran politik utama yang hidup sepanjang 20 tahun pertama sesudah kemerdekaan, yaitu nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme-demokratik, dan komunisme.

Sekalipun dibedakan menurut orientasi ideologis yang dianutnya, kelima aliran utama politik itu saling tumpang tindih, saling mempengaruhi satu sama lainnya, kecuali Islam dan komunisme yang sama sekali tidak memiliki garis singgung.

Dalam perkembangannya, menurut Feith dan Castles, kelima aliran pemikiran politik itu kemudian mewujudkan diri secara lebih kongkret dalam bentuk lima partai politik. Nasionalisme radikal mewujudkan diri dalam bentuk Partai Nasional Indonesia (PNI), sekalipun ia dipengaruhi juga oleh tradisionalisme Jawa, komunisme, dan sosialisme-demokratik.

Islam mewujudkan diri dalam Masyumi (yang juga dipengaruhi sosialisme-demokratik) dan Nahdlatul Ulama (NU). Sosialisme-demokratik mewujudkan diri dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI), sedangkan komunisme mewujudkan diri dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Tradisionalisme-Jawa adalah satu-satunya aliran yang tidak mewujudkan diri secara kongkret dalam bentuk partai sekalipun ia ikut mempengaruhi sebagian pengikut PNI.

Tetapi dengan berlakunya format politik baru di Indonesia sejak tahun 1967 yang tidak lagi membuka ruang bagi perdebatan-perdebatan politik dan ideologis, suatu format politik yang telah meredusir makna politik menjadi sekadar persoalan teknis, maka situasi berubah total. Bersamaan dengan digaungkannya isu deideologisasi dan depolitisasi massa, maka riwayat partai-partai politik yang sudah berusia panjang itu seakan berakhir.

Dari lima aliran itu, ada yang lenyap sama sekali (PKI), ada yang tetap hidup tapi dalam posisi marjinal, ada pula yang tetap berperan tetapi dengan berbagai modifikasi. Satu-satunya aliran yang dinilai menunjukkan kesinambungan paling nyata adalah Islam, sehingga arti penting Islam dalam perdebatan politik tetap konstan secara mengesankan sejak tahun-tahun awal kemerdekaan hingga kini.

Dalam pandangan sedikit berbeda, William Liddle menyatakan, di bawah Orde Baru yang terkesan kaku sebenarnya berbagai aliran politik lama itu terus mengalir. Yang masih belum terungkap, adalah aliran mana yang makin deras dan mana yang tetap, mana yang sudah lebur dalam aliran lain dan mana yang telah dilunakkan oleh bendungan atau batu, serta aliran mana yang sudah menjelma dengan wujud baru.

Walaupun tidak melakukan pemilahan menurut orientasi ideologi politik, namun Liddle telah memberikan sumbangan bagi pemahaman terhadap corak politik yang hidup pada era Orde Baru, ketika ia mengidentifikasikan munculnya tiga "aliran" baru saat itu.

Pertama, kaum santri (Islam) berpendidikan modern yang tidak lagi menginginkan negara Islam, namun memiliki komitmen untuk menuntut hak mereka sebagai partisipan penuh dalam negara Pancasila. Kedua, penduduk perkotaan dari berbagai lapisan yang berkeinginan memilih gaya hidup lebih individualis tanpa melepaskan semua nilai kolektif. Ketiga, anggota kelas menengah dan atas yang yakin kepentingan ekonomi mereka sering dilayani lebih baik oleh pasar daripada oleh negara.

Sekalipun identifikasi ini hanya berdasarkan dimensi budaya, namun Liddle dengan baik telah menjelaskan kesinambungan Islam sebagai suatu aliran (budaya) yang akan tetap mewarnai percaturan politik di Indonesia, dan kemunculan suatu (atau beberapa) lapisan baru dalam masyarakat Indonesia, yang secara mudahnya saja sering disebut sebagai kelas menengah.

Tentang Islam, pandangan Liddle ini bersesuaian dengan kebanyakan pengamat lainnya, yang melihat pada era Orde Baru telah muncul generasi baru Islam yang karena latar belakang pendidikan modernnya semakin bersifat liberal, sebagian menjadi intelektual lepas, aktif di berbagai LSM, sebagian di antara mereka masuk ke dalam birokrasi (dan mengalami apa yang oleh Aswab Mahasin disebut sebagai "priyayisasi santri").

Pluralis-kritis

Walaupun masih bersifat penjajagan, namun Feith dan Castles sendiri telah mencoba membuat suatu pemetaan baru mengenai corak politik Indonesia era Orde Baru, yang dibedakan dalam dua aliran, yaitu aliran developmentalis-integralis, dan aliran pluralis-kritis.

Paham developmentalis-integralis terungkap dalam diri para pemegang kekuasaan negara saat itu (Presiden Soeharto), ABRI dan para kaum teknokrat pendukungnya, yang memprioritaskan pembangunan ekonomi dan mengaitkannya dengan stabilitas politik, keamanan, dan keserasian sosial.

Unsur integralis dinilai sesuai dengan ajaran tradisionalisme Jawa yang kemudian mendapat pembelaan "filosofis" dari Soepomo dalam penjelasannya yang terkenal itu mengenai konsepsi negara-integralistik. Sedangkan unsur developmentalis banyak berasal dari tradisi sosialis-demokratis, terutama asosiasinya dengan pengertian profesional dan teknis tentang pembangunan ekonomi, dan ketidaksenangannya terhadap populisme, komunisme, dan fanatisme agama.

Paham kritis-pluralis terungkap pada kelompok-kelompok cendekiawan lepas, budayawan, mahasiswa, pers, dan berbagai LSM. Paham ini mencakup suatu spektrum dari gagasan liberal dan reformis yang menuntut misalnya tegaknya rule of law, dan pembatasan kesewenang-wenangan aparat pemerintah, hingga ke bentuk-bentuk radikal dan populis yang menuntut keadilan lebih luas, emansipasi kelas bawah, serta dibongkarnya berbagai instrumen negara yang mengawasi kehidupan politik dan masyarakat umumnya.

Satu hal yang sama-sama disepakati kelompok ini adalah pandangan pluralistik mengenai bagaimana seharusnya negara berfungsi, yakni yang menekankan hak-hak organisasi, daerah dan komunitas etnis untuk memperoleh otonomi. Yang juga disepakati adalah keyakinan pembangunan seharusnya jangan dipahami terutama sebagai pertumbuhan ekonomi atau pembangunan fisik, melainkan seharusnya mewujudkan keadilan sosial dan keseimbangan ekologis.

Bila diperhatikan, sesungguhnya yang dominan dalam era Orde Baru adalah corak developmentalis-integralis dengan Soeharto sebagai tokoh sentralnya. Sementara corak kritis-pluralis sebenarnya adalah kekuatan "oposisi" yang berseberangan secara prinsip dan karena itu tidak bisa dikelompokkan bersama-sama dengan developmentalis-integralis sebagai karakteristik Orde Baru.

Tema-tema kritis yang disuarakan para mahasiswa selama musim demonstrasi sejak awal 1998 yang akhirnya menjatuhkan rezim Soeharto, sesungguhnya sama atau berada dalam satu visi dengan apa yang sebelumnya diperjuangkan kelompok kritis-pluralis, yaitu mereka yang tidak berhasil dikooptasi kekuasaan Orde Baru dan karena itu mampu mempertahankan otonomi dan sikap kritis mereka.

Karena kesamaan itu pulalah maka perjuangan mahasiswa itu mendapat dukungan sepenuhnya dari kelompok kritis pluralis yang saat ini merupakan tokoh-tokoh terkemuka dalam Orde Reformasi seperti Dr Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Megawati, Adi Sasono, Adnan Buyung Nasution, dan lain-lain.

Karena itu, setidak-tidaknya sampai tahap awal, Orde Reformasi adalah orde yang juga memiliki karakteristik pluralis-kritis, bila yang dimaksudkan dengan karakteristik ini adalah tuntutan terhadap prinsip penegakan hukum dan keadilan, pembatasan kekuasaan negara, emansipasi, otonomi dan kebebasan masyarakat. Semua itu adalah penjelmaan cita-cita demokratisasi.

Konfigurasi baru

Namun karakteristik kritis-pluralis itu mungkin akan mengalami perubahan atau modifikasi, bila dikaitkan dengan fenomena kelahiran partai-partai politik baru akhir-akhir ini yang memiliki latar belakang serta orientasi berbeda-beda.

Apakah lahirnya partai-partai politik baru dalam jumlah yang banyak dengan latar belakang serta orientasi berbeda-beda itu akan menghidupkan kembali corak politik aliran seperti yang terjadi pada tahun 1945-1965, berikut segala dampaknya seperti menajamnya polarisasi politik dan konflik-konflik ideologis?

Mengingat semangat yang melahirkan Orde Reformasi adalah semangat demokratisasi dan sebagian besar tokoh pendukung orde ini termasuk dalam kelompok yang memiliki karakteristik kritis-pluralis, maka kekhawatiran terhadap kebangkitan kembali corak politik-aliran itu tidak beralasan.

Corak politik aliran pada era demokrasi liberal tahun 1950-an memang telah ikut memperparah pertikaian politik-ideologi, karena pada era itu belum tercapai kesepakatan mengenai beberapa paham dasar seperti ideologi dan dasar negara. Sedangkan partai-partai politik baru yang lahir saat ini berada dalam suatu pijakan ideologi yang telah disepakati bersama. Persoalannya, bagaimana peran partai-partai tersebut dalam kehidupan politik di masa depan?

Pemilihan umum yang direncanakan berlangsung tahun depan akan menjadi ajang penentu partai-partai mana yang tetap eksis dan berperan, dan partai-partai mana yang harus membubarkan diri atau terpaksa melakukan koalisi. Namun sebenarnya dari sekarang sudah dapat diterka partai-partai mana yang akan tampil sebagai pemenang dalam pemilu mendatang, bila dilihat dari basis massa pendukung kesiapan organisasional.

Dari sekitar 40 partai yang baru lahir itu ditambah tiga partai yang sudah ada sebelumnya (PPP, PDI, dan Golkar), bisa diduga akan muncul paling sedikit "empat besar," yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanah Bangsa (PAB), PDI Perjuangan, dan Golkar.

Partai Amanah Bangsa dan Partai Kebangkitan Bangsa adalah partai yang berbasis Islam namun menyatakan diri terbuka dan nasionalis. Sementara PDI Perjuangan sudah jelas juga nasionalis dan bersifat terbuka. Ketiga partai ini perlu mendapat perhatian karena basis massa pendukungnya yang cukup besar, dan khususnya PAB dan PKB karena keduanya adalah penjelmaan dari kekuatan sosial yang secara nyata otonom, mandiri, dan berakar dalam masyarakat serta memiliki sejarah cukup panjang.

Golkar, sekalipun merupakan produk Orde Baru yang sudah berakhir, masih harus tetap diperhitungkan karena selain memiliki kesiapan organisasional, dana, dan infrastruktur yang merata di seluruh distrik pemilihan, juga merupakan partai yang paling terbuka sifatnya dan dipimpin oleh tokoh-tokoh teknokratis-nasionalis. Demikian pula, seperti disinyalir Dr Amien Rais, tanpa adanya sistem pemilihan presiden secara langsung, maka penerapan pemilu dengan sistem distrik akan menguntungkan Golkar (Kompas, 24/5/98).

Apabila dugaan di atas benar terbukti dalam pemilu mendatang, maka sudah bisa diduga pula peta kekuatan politik di masa depan. Persoalannya seberapa jauh kekuatan-kekuatan baru itu bisa bekerja sama menciptakan suatu konfigurasi baru yang kokoh dan stabil guna mendukung suatu kepemimpinan politik yang kuat agar dapat membawa bangsa dan negara ini ke arah yang sesuai dengan cita-cita reformasi?

Pengalaman sejarah menunjukkan, eksperimen demokrasi pada tahun 1950-an gagal karena tidak ditopang suatu kepemimpinan politik yang bersatu, dan karena tidak ditopang konfigurasi kekuatan yang dapat dijadikan landasan bagi suatu kepemimpinan nasional.

Kepemimpinan nasional yang kuat dan bersatu itu diperlukan untuk segera menyusun suatu perangkat baru tujuan nasional dalam Orde Reformasi saat ini. Tanpa adanya tujuan nasional yang baru akan segera menyebabkan merosotnya politik menjadi pertengkaran antara partai-partai politik dalam memperebutkan bagian lebih besar dari keuntungan kekuasaan.

Kembali sejarah mengingatkan, kegagalan eksperimen demokrasi tahun 1950-an juga disebabkan kegagalan partai-partai politik masa itu menjalankan fungsinya sebagai partai politik sebenarnya. Partai-partai politik masa itu bukannya menjadi penghubung antara massa pemilih dengan pemerintah, melainkan menjadi alat belaka dalam pergulatan kekuasaan di antara pemimpin-pemimpin mereka.

Kehadiran partai-partai politik baru yang berjumlah lebih dari 40 itu jelas akan menyemarakkan panggung demokrasi di masa depan. Karena itu mereka diharapkan tidak akan mengulangi kembali "dosa" partai-partai politik di masa lalu yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan massa pemilihnya.

Pemilihan umum tinggal satu tahun lagi, sehingga tersisa sedikit waktu bagi berbagai partai politik itu untuk mempersiapkan diri, khususnya dalam merumuskan visi dan program yang akan ditawarkan kepada massa pemilih, khususnya bagi kaum muda penggerak reformasi.

Apakah mereka dapat menerima visi dan program yang ditawarkan dan karena itu ikut memberikan suara, ataukah sebaliknya tidak merasa kepentingan mereka tidak terwakili di dalamnya dan karena itu menolak memberikan suara atau malah menjadi golput? Pemilu tahun depanlah yang akan menjawabnya. ***


www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt