[  Kliping NU 1998  ]


Rabu, 22 Juli 1998

Matori-Muhaimin-Imam Churmen

Pimpin Partai Kebangkitan Bangsa

Jakarta, Kompas

Trio politikus andal Nahdlatul Ulama (NU) akan memimpin Partai Kebangkitan Bangsa yang rencananya dideklarasikan pada Kamis (23/7) ini di kediaman Ketua Umum Pengurus Besar NU (PBNU) Abdurrahman Wahid di Ciganjur, Jakarta Selatan. Sekitar 1.000 orang, termasuk beberapa jenderal purnawirawan dan mantan pejabat tinggi, diharapkan hadir pada acara deklarasi partai yang didirikan warga NU. Ketiga politikus itu adalah Matori Abdul Djalil, yang akan menjadi ketua umum, Muhaimin Iskandar menjadi sekretaris jenderal dan Imam Churmen menjadi bendahara. Menurut sumber Kompas hari Selasa, pengurus pusat berjumlah sekitar 15 orang.

Matori adalah mantan Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan kini aktif sebagai Sekjen YKPK (Yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan). Muhaimin Iskandar adalah kader muda NU yang pernah memimpin PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Imam Churmen merupakan tokoh yang aktif di kepengurusan pusat Golkar.

Sebelum deklarasi, kata Ketua Tim Asistensi Pembentukan Partai Arifin Junaidi (yang juga Wakil Sekjen PBNU) dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa, akan diselenggarakan rapat pleno gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU guna mensahkan seluruh rancangan deklarasi Partai Kebangkitan - demikian nama singkatan partai itu - pada Rabu siang ini.

"Diharapkan rapat dapat menerima rancangan yang disiapkan Tim Lima dan Tim Asistensi untuk nantinya diserahkan kepada pengurus partai sebagai dokumen historis dan aturan main partai," kata Junaidi. Dalam jumpa pers itu, Junaidi didampingi Ketua Tim Lima KH Ma'ruf Amin (Rais Syuriyah/Koordinator Harian PBNU).

Tim Lima dibentuk guna membantu warga NU membentuk partai. Anggota tim ini adalah KH M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr KH Said Agil Siradj MA (Wakil Katib PBNU), HM Rozy Munir SE MSc (Ketua PBNU) dan H Ahmad Bagdja (Sekjen PBNU).

Untuk memperkuat posisi dan kemampuan kerjanya, Tim Lima dibantu Tim Asistensi yang dipimpin Junaidi dengan anggota Muhyidin Arubusman, Fachri Thaha Ma'ruf, Abdul Aziz, Andi Muarly Sunrawa, Nashihin Hasan, Lukman Saifuddin, Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar.

Dengan deklarasi Partai Kebangkitan, kata Junaidi, maka dua partai yang telah didirikan warga NU, yakni Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Umat di Cirebon akan meleburkan diri dengan Partai Kebangkitan.

Perjalanan NU

NU didirikan 31 Januari 1926. Meskipun bukan partai politik, NU berusaha menggalang organisasi-organisasi Islam untuk menanggapi berbagai ordonans yang merugikan umat Islam pada tahun 1930-an.

Kemudian terbentuklah Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI), Majelis Tertinggi Islam Indonesia pada 1937 yang merupakan wujud sebenarnya dari peran politik NU. Pemrakarsanya KH A Wahab Hasbullah yang kemudian kepemimpinannya diserahkan kepada KH A Wahid Hasyim.

Terbentuknya MIAI merupakan fenomena baru bagi para ulama.

Kecenderungan mereka memasuki gelanggang politik membesar, sambil tetap menjalankan misi utamanya sebagai Jam'iyah Dinayah.

Peran politik para tokoh NU dalam BPPKI (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia), khususnya KH A Wahid Hasyim, cukup besar dalam ikut merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Peran politik NU makin jelas ketika NU menggabungkan diri dalam partai politik Masyumi yang saat itu dipimpin KH A Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy'ari. Tapi Konflik yang meruncing di antara tokoh ulama NU dengan sayap "modernis" di jajaran kepemimpinan Masyumi, mendorong Kongres NU di Palembang 1952 untuk menyatakan diri NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik.

Bersama PSII dan Perti, NU membentuk Liga Muslimin Indonesia sebagai wadah kerja sama organisasi politik dan organisasi Islam.

Pada Pemilu 1955, NU meraih 18,3 persen dan muncul sebagai partai politik ketiga terbesar setelah PNI dan Masyumi. Dalam Pemilu 1971, pemilu pertama yang dilakukan Orde Baru, NU tetap meraih suara yang besar, yakni 18,8 persen, di tengah kuatnya intimidasi dari penguasa terhadap warga NU untuk memilih Golkar.

NU mengalami kemunduran peran politiknya sejak masa Orba. Tumbuhnya aliansi ABRI-teknokrat menghasilkan kemenangan mutlak Golkar dalam pemilu 1971. Partai-partai Islam digiring dalam satu wadah, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973.

KH Ma'ruf Amin menyatakan, warga NU terus dipinggirkan dan aspirasinya merasa belum tersalurkan dengan baik dalam orsospol yang ada atau belum ada orsospol yang mampu menampung aspirasi warga NU.

"Sekarang, kami sepakat untuk bersatu. Kami tidak mau lagi ada bajaj-bajaj kecil. Mereka sekarang disatukan dalam Partai Kebangkitan Bangsa," kata Ma'ruf. Ia menambahkan, Partai Kebangkitan adalah partai terbuka namun tidak akan menghilangkan identitas keislaman pada landasan perjuangannya. (vik/pep/ush)


www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt