[  Kliping NU 1998  ]


Amien: Namanya Partai Amanah Bangsa

Hari Ini Di-Launching di Jakarta

Ponorogo, JP.-

Meski lampu dari Muhammadiyah belum hijau, Dr H M. Amien Rais tetap melaju dengan gagasannya untuk mendirikan partai politik. Mau bukti? Ia sudah menyiapkan nama partai itu. Dan, katanya, insya Allah pada Senin (hari ini) partai baru itu akan di-launching di Jakarta. ‘’Nama yang sudah kami persiapkan adalah Partai Amanah Bangsa,’’ ujar Amien di depan ribuan jamaah tablig akbar di Stadion Batara Katong, Ponorogo, kemarin sore.

Kesempatan itu dimanfaatkan betul oleh Amien untuk memperkenalkan partai baru itu kepada jamaah Muhammadiyah. ‘’Ini bukan kampanye. Tetapi kalau besok dalam pemilu partai itu dicoblos, tentu saya gembira sekali. Tunggu saja tanggal mainnya atau TTM,’’ sambung staf pengajar UGM itu.

Sebelum memberikan pidato pada tablig itu, Amien kepada Jawa Pos mengatakan, nama Partai Amanah Bangsa (PAB) itu masih ada kemungkinan berubah lagi karena masih menunggu hasil musyawarah dengan beberapa temannya. ‘’Yang penting kita bentuk dulu wadahnya. Soal nama, bisa dipastikan kemudian.’’

Ditanya komentarnya mengenai pendapat Dr Afan Gaffar bahwa dengan sistem distrik, (partai) Muhammadiyah sulit menang karena massanya menyebar, Amien mengatakan, ‘’Pak Afan kan punya analisis sendiri. Tetapi, saya belum bertemu dengan beliau.’’

Kepada Jawa Pos Afan mengatakan, secara demografis, Muhammadiyah tidak diuntungkan dalam pemilu sistem distrik nanti. Karena meski banyak, massa Muhammadiyah relatif menyebar. Sementara itu, NU lebih diuntungkan karena pendukungnya lebih menyatu (Jawa Pos kemarin). Karena itu, Afan justru mengusulkan Amien mendukung Golkar saja. Toh partai itu sudah lebih akomodatif terhadap Islam.

Komentar Amien? ‘’Boleh saja, itu kan usul. Masing-masing kan punya argumen. Mungkin saja beliau (Afan, Red) berpikir kalau membuat lebih sulit, kenapa tidak pakai yang sudah ada saja,’’ ujarnya.

Ia juga enggan berkomentar ketika dikatakan sejumlah tokoh sudah memberinya dukungan untuk mendirikan partai politik. Salah satunya adalah H Mudrick Setiawan M. Sangidoe, ketua DPC PPP Solo. ‘’Kalau mau mendukung, ya alhamdulillah,’’ kata Amien yang belakangan makin sering tampil bersama Mudrick di depan publik.

Mengenai posisinya sebagai ketua Dewan Pakar ICMI, Amien memberikan jaminan tidak akan membawa organisasi itu menjadi onderbouw partainya. Tetapi, ia juga menegaskan bahwa parpolnya itu tidak tertutup bagi anggota ICMI. ‘’Yang pasti, ICMI kan organisasi kecendekiawanan yang tidak berkosentrasi pada kegiatan politik. Kalau ada anggota ICMI yang mendukung, ya alhamdullillah,’’ ungkapnya.

Sementara itu, ketika berbicara di depan sekitar dua ribu santri dan santriwati Pondok Pesantren Al Risalah pada kesempatan sebelumnya, Amien mengakui bahwa ia juga harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan Soeharto. ‘’Pak Harto memang salah, kita juga salah karena mendorong-dorongnya hingga terjungkal,’’ katanya.

TIDAK MENGUNTUNGKAN

Sementara itu, pengamat politik LIPI Dr Muhammad A.S. Hikam menilai, keinginan NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah mendirikan partai sendiri justru tidak menguntungkan bagi kedua ormas Islam tersebut.

Dia berpendapat, dengan peran yang dimainkan NU dan Muhammadiyah saat ini, yakni pemberdayaan civil society, kedua ormas itu justru lebih efektif memainkan peran dalam panggung politik nasional.

Alumnus University of Hawaii ini meragukan NU dan Muhammadiyah akan memegang peran kunci dalam percaturan politik nasional atau meraih keuntungan politik yang lebih besar daripada yang mereka dapatkan saat ini bila nekat terjun dalam politik praktis. Sebab, sejarah panggung politik Indonesia tidak pernah memberikan kemenangan kepada partai Islam.

Bahkan, seperti NU, walaupun ormas pimpinan Gus Dur itu saat ini mengklaim mempunyai massa lebih dari 30 juta, Hikam memperkirakan bila terjun dengan bendera sendiri, NU tidak akan mencapai hasil seperti itu.

Bahkan, dia meramalkan, NU tidak akan lebih baik daripada hasil pemilu 1971. ’’Ini karena tidak semua warga NU akan memilih partainya. Seperti anak-anak muda NU, mereka ini sekarang cenderung bersikap pragmatis. Tidak seperti warga NU sebelumnya, yang begitu merasa menjadi bagian dari kelompoknya,’’ ujarnya di Jakarta tadi malam.

Muhammadiyah pun, katanya, tidak akan bisa mengambil alih panggung politik bila tampil sebagai parpol. ’’Bukan saya meragukan kepemimpinan Pak Amien. Tapi, sulit rasanya partai Islam bisa menang dalam pemilu. Karena selama ini, masyarakat Islam Indonesia terlalu banyak kelompoknya,’’ kata ilmuwan kelahiran Tuban ini.

Karena itu, papar Hikam, sebaiknya Muhammadiyah dan NU tetap memosisikan diri seperti saat ini. Tetap sebagai organisasi sosial yang tidak bersinggungan langsung dengan politik praktis. NU tetap berada di rel khitah, sedangkan Muhammadiyah tetap memosisikan diri sebagai organisasi sosial dan dakwah.

Toh, dengan posisi seperti itu, kedua organisasi Islam tersebut mampu menjadi kelompok yang sangat diperhitungkan kelompok lain. Bahkan, Hikam melihat, dengan posisi sebagai organisasi sosial, Muhammadiyah dan NU lebih efektif dalam menentukan arah politik nasional.

‘’Kan sudah terbukti. Dengan peran yang dilakukan Pak Amien sebagai tokoh Muhammadiyah, dia telah mampu menggulirkan reformasi. Demikian juga Gus Dur, saat ini mampu menjadi tempat mencari perlindungan bagi kelompok lain. Keduanya telah memainkan peran politik yang sangat penting. Jadi, mengapa harus terjun langsung dalam politik praktis,’’ kata pria yang meraih gelar sarjananya di Sastra Arab UGM ini.

Intelektual ini benar-benar menyayangkan bila Amien tetap nekat terjun dalam politik praktis. Sebab, itu justru akan mengurangi bobot ketokohannya. Saat ini, tokoh Muhammadiyah itu telah menjadi tokoh dari seluruh kelompok seiring dengan suksesnya bola reformasi. Tapi, bila menjadi pimpinan partai, dia hanya akan menjadi tokoh partainya sendiri.

Gus Dur pun begitu, jelas Hikam. Saat ini, Gus Dur ibaratnya telah menjadi tempat berbagai kelompok mencari perlindungan. ‘’Jadi, tidak perlu Gus Dur membentuk partai sendiri,’’jelasnya.

Seharusnya yang dilakukan kedua kelompok ini ialah melakukan aliansi dengan kelompok lain untuk tetap melakukan gerakan sosial. Menggandeng kelompok lain untuk melakukan gerakan sosial dan keagamaan bersama. Sehingga, semakin menghilangkan sikap sektariannya. ‘’Saya kira tidak perlu membentuk partai politik karena hanya akan membuat NU dan Muhammadiyah semakin kental dengan kesan sektariannya,’’ ujarnya.

Sementara itu, pengamat politik dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Azyumardi Azra, menilai bahwa koalisi-koalisi yang dibangun baik kelompok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) maupun Amien Rais sifatnya masih temporer. Kecenderungan politik kedua koalisi tersebut akan terus berubah seiring dengan konsolidasi yang dilakukan pemerintahan Presiden B.J. Habibie dan ABRI.

Menurut Bang Edi –-panggilan Azyumardi Azra--, pasca Soeharto mundur, kekuatan politik di masyarakat terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, koalisi yang dibangun Gus Dur, dan kedua, koalisi yang terus digalang Amien Rais.

Menariknya, kecenderungan politik kedua koalisi tersebut, menurut Edi, tak lepas dari garis historis rivalitas antara Islam tradisionalis dan modernis yang berkembang pada tahun 1920-an. ‘’Boleh dipandang, ini kelanjutan politik aliran,’’ katanya.

Seperti diberitakan, Gus Dur tidak lama lagi akan mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai bagi warga NU. Sementara, sikap politik Gus Dur sendiri lebih mendukung Megawati. Koalisi yang dibangun Gus Dur dan Mega tersebut belakangan mendapat sokongan juga dari tokoh-tokoh nasionalis dan warga etnis Tionghoa.

Sementara Amien Rais, bersama tokoh-tokoh kampus dan eksponen kampus terus menggalang koalisi untuk mendirikan partai. Posisinya sebagai ketua PP Muhammadiyah dan ketua Dewan Pakar ICMI makin mengukuhkan dirinya sebagai tokoh reformasi yang didukung kalangan Islam modernis.

‘’Saya melihat, baik koalisi Gus Dur maupun Amien sifatnya masih canggung,’’ ucap staf pengajar pasca sarjana IAIN Jakarta ini. Menurut dia, koalisi Gus Dur dan Amien masih menghadapi ‘’lawan’’ yang sama.

Hanya ada dua sifat yang membedakan antara kedua koalisi tersebut. Koalisi Amien punya kecenderungan bisa mendekati kekuasaan. Sebab, Amien lebih bisa ketemu dengan garis politik Akbar Tanjung (Golkar) dan Presiden Habibie. ‘’Sementara Gus Dur merasa lebih nyaman bersatu dengan Megawati. Kenyataan ini tak lepas dari garis historis rivalitas kaum tradisionalis dan modernis,’’ ungkapnya.

Rivalitas itu, lanjutnya, selama 32 tahun memang tampak hilang dari permukaan. Itu terjadi karena pemerintahan Presiden Soeharto begitu kuat sehingga ekspresi politik kedua kelompok tersebut agak tersumbat. ‘’Begitu rezim Soeharto runtuh, terjadilan eksplosi politik dari kedua kekuatan tersebut,’’ tambahnya.

Sikap menjauh koalisi Gus Dur dari kekuasaan, sebut Edi, bukan mustahil suatu saat berubah. Misalnya, koalisi Gus Dur lebih akomodatif dan mendekati kelompok kekuasaan. ‘’Ini terjadi jika arah konsolidasi di tubuh Golkar dan ABRI membuat mereka bisa bekerja sama. Itulah kenapa tadi saya katakan koalisi tersebut sifatnya sementara,’’ imbuhnya.

Apa tidak sebaiknya dua koalisi tersebut dipersatukan? ‘’Menurut saya biarkan saja. Untuk apa disatukan, tidak ada gunanya. Biarkan keduanya bertarung secara fair dan beri kesempatan yang sama. Nanti hasilnya kita lihat,’’ jawab Edi.

Bagi orang awam, lanjutnya, mungkin disayangkan kenapa kedua tokoh Islam itu harus berseberangan. Namun, bagi iklim demokratisasi dan pendidikan politik rakyat, sikap berseberangan itu justru baik. ‘’Saya kira, risiko itu telah dipikirkan matang baik oleh Gus Dur maupun Amien,’’ ucapnya. (adb/tof/ts)


www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt