[  Kliping NU 1998  ]


Jumat, 17 Juli 1998

Kebhinnekaan di Tepi Jurang Kehancuran

Jakarta, Kompas

Kejadian tragis pada kerusuhan 13-15 Mei 1998 berupa penjarahan dan pemerkosaan terhadap warga etnis Tionghoa, baik di Jakarta, Solo, Surabaya maupun beberapa kota lainnya menunjukkan bahwa kebhinnekaan Indonesia sebagai suatu negara bangsa sedang berada di tepi jurang kehancuran. Tantangan masa depan adalah apakah bangsa ini mampu menjaga, mempertahankan dan melestarikan kebhinnekaan dalam keekaan itu.

Demikian pendapat Uskup Dili dan peraih penghargaan perdamaian Nobel, Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo, yang disampaikan pada dialog membangun kebhinnekaan dalam kesatuan bangsa di Jakarta, Kamis (16/7). Dialog sehari itu diselenggarakan Tim 5 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Yayasan Persemaian Persahabatan, dengan pidato utama dari Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Berbicara dalam diskusi yang dipandu Debra Yatim itu, adalah Said Aqiel Siradj, Hartojo Wignjowijoto, Mudji Sutrisno dan Budi Santoso. Dalam sesi kedua yang dipandu Pratiwi Sudarmono, berbicara antara lain Agum Gumelar, Isaac Saujay dan Harry Tjan Silalahi. Peserta yang datang dari berbagai kalangan itu, melebihi kapasitas ruang pertemuan di Hotel Atlet Century Park itu.

Pembentukan karakter bangsa yang berorientasi kebhinnekaan, kata Belo, dapat berhasil kalau bangsa ini mampu menangani masalah etnis, kemiskinan, hukum dan politik, serta kerusuhan sosial. Ia juga menyebut pemimpin masyarakat dapat menentukan karakter bangsa.

Dalam penanganan masalah etnis, menurut dia, Indonesia dapat belajar dari Malaysia.

Kemiskinan, tutur Belo, tidak hanya berdimensi ekonomi, tapi juga berdimensi sosial lain, seperti politik dan budaya, sehingga penanggulangannya harus merupakan upaya multidimensional.

Ia menambahkan, kemiskinan politik terjadi kalau sekelompok orang tidak dapat memanfaatkan SDM yang tersedia dalam masyarakat, tidak dapat ambil bagian dalam pengambilan keputusan, dan tidak mampu turut serta dalam membentuk kekuasaan dalam masyarakat yang akan dilaksanakan dan ditaati pemerintah.

Dalam penyelesaian masalah hukum dan politik, Belo menyatakan, pemerintah dan negara harus bersikap demokratis, berupaya selalu membina konvergensi di antara divergensi, bahkan berusaha mencapai konsensus-konsensus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ditempuh secara fair, bukan dengan berkolusi atau karena nepotisme.

Mengenai kerusuhan sosial, Belo menyatakan, "Kekuatan yang ampuh melawan dan mengalahkan semuanya itu adalah persatuan dan kesatuan yang kukuh, nasionalisme sejati, kesetiakawanan nasional sejati, kerukunan umat beragama yang sejati, demokrasi yang jujur dan adil serta tanggung jawab sejati".

Menyangkut faktor pemimpin masyarakat, Belo mengemukakan, tiap pemimpin harus secara konsekuen dan konsisten memiliki sifat panutan sejati, demokratis sejati, tegaknya hukum dan keadilan sejati, kekuatan keamanan yang tangguh dan berdiri tegar dari ancaman, godaan kekuatan dan kekuasaan politis golongan, serta berdiri di atas semua golongan secara jujur, adil dan bertanggung jawab.

"Pada akhirnya, untuk mencapai keberhasilan dalam proses pembentukan karakter bangsa Indonesia yang berorientasi kebhinnekaan, berbagai kelompok etnis, agama, suku, ras, golongan dan daerah sebagai subsistem perlu meningkatkan fleksibilitas struktur internalnya. Fleksibilitas yang tinggi akan mampu mengakomodasi masuknya unsur-unsur budaya lain yang menguntungkan bagi perkembangan moral dan peradaban," demikian Belo.

Jangan cerai berai

Harus berani diakui, kata Gus Dur dalam pidato tertulisnya, bahwa selama ini bangsa ini tidak dibiasakan berbeda pendapat. Dengan sewenang-wenang, perbedaan pendapat direduksi menjadi perlawanan terhadap kekuasaan untuk kemudian ditindas.

Padahal di sisi lain, menurut Gus Dur, kita sadar bahwa semua potensi ketidakseragaman atau kebhinnekaan itu hadir dan hidup di tengah-tengah kita. Ketidaksesuaian dengan banyak hal, ujarnya, seharusnya tidak perlu selalu dimanifestasikan dalam bentuk antipati pada semua yang telah ada.

Bersatunya kita dalam wadah negara kesatuan, katanya, merupakan wujud fisik kearifan pendiri bangsa untuk menghilangkan antipati di antara sesama. Karena itu sangat mengherankan, kata Gus Dur, bila orang-orang di zaman dulu yang terkungkung dalam lingkungan mereka yang sempit justru dapat mewujudkan persatuan, sementara kita yang makin terekspos dengan globalisasi justru tidak mampu melakukannya.

Bangsa kita, kata Gus Dur, dihadapkan pada keadaan yang saling bertentangan. Di satu pihak diarahkan agar agama itu satu saja, yaitu Islam. Orang yang menganjurkan ini ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara, sementara kita mengetahui mayoritas bangsa tidak menyukai hal ini.

Di pihak lain, kata Gus Dur, ada yang menginginkan Indonesia terseret menjadi negara-negara kecil yang separatis. Semua keluar dari kesatuan RI karena ingin mendirikan Republik Timor, Irian/Papua, Aceh, Kalimantan dan sebagainya.

"Pengorbanan yang selama ini diberikan untuk mendirikan negara kesatuan seolah-olah menjadi sia-sia. Bahkan di kalangan petinggi pemerintah pun ada yang tidak berkeberatan jika Timtim lepas dari Indonesia, asalkan mendapatkan ganti rugi berupa imbalan materi. Bukankah ini sama halnya dengan menjual negara kita?" kata Gus Dur.

NU, kata Gus Dur, melihat perkembangan semua itu dengan hati cemas. "Di antara kita tak boleh dicerai-beraikan oleh perbedaan yang ada. Dengan segenap perbedaan, kita menjadikan satu kesatuan yang kuat, khususnya dalam menghadapi abad ke-21," tutur Gus Dur.

Negara Islam

Said Aqiel Siradj menyatakan tidak perlu khawatir Indonesia menjadi negara Islam. NU, katanya, sejak Muktamar di Banjarmasin tahun 1935 sudah memiliki visi bahwa Indonesia bukan negara Islam. Jangankan NU, katanya, Nabi Muhammad saja tidak bermimpi mendirikan negara Islam. Nabi, katanya, justru sangat toleran.

Bambang Soeharto, dari floor, menanggapi bahwa persoalan kebhinekaan muncul karena adanya pemutarbalikan nilai-nilai Pancasila. Selain itu, pemerintah tidak pernah mendengar etnik yang kecil. "Maka jangan sampai rezim baru ini lebih jahat dari rezim lama. Kita harus lebih berani untuk membahas soal-soal etnis ini secara terbuka dan rinci," katanya.

Mudji Sutrisno mengeritik rezim Soeharto yang menerjemahkan kesatuan secara fasistis sehingga terjadi komplikasi di masyarakat karena ciri-ciri etnik direduksi untuk kepentingan politik kekuasaan yang tertutup.

Hartojo, yang terkenal dengan usulnya untuk menjadikan satu dollar AS menjadi Rp 1000 itu, lebih menyoroti persoalan masih adanya tabrakan antara pro status quo dengan reformis. Ia menyarankan dibentuk presidium yang beranggotakan kedua belah pihak untuk membahas segala persoalan bangsa.

Budi Santoso setuju saja terhadap usul mengubah UUD 45. Namun yang paling penting baginya adalah interpretasi yang benar. Ini memerlukan kontrol sosial yang kuat. Sebab itu, ia juga mendukung kehadiran oposisi yang kuat. Selain untuk mengontrol, oposisi juga dapat menjadi kekuatan alternatif jika rezim penguasa tumbang.

Agum Gumelar lebih melihat perlunya berbagai pihak menahan diri dari usaha menonjolkan kepentingan golongan dalam era pasca-Soeharto ini. Ia melihat gejala saling menonjolkan diri sehingga yang satu merasa lebih reformis dari yang lain. (vik/myr/ush)


www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt