[  Kliping NU 1998  ]


Uskup Belo: Kebhinekaan Kita Terancam

Karena Penjarahan, Pemerkosaan, dan Kerusuhan Timtim

Jakarta, JP.-

Uskup Dioses Dili Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo berpendapat, penjarahan dan dugaan pemerkosaan terhadap warga keturunan Cina dalam kerusuhan 13–15 Mei lalu bisa mengancam eksistensi Indonesia sebagai negara yang menghormati kebhinekaan.

Berbicara dalam seminar Membangun Kebhinekaan dalam Kesatuan Bangsa yang diadakan PB NU dan Yayasan Persemaian Persahabatan di Jakarta kemarin, Belo mengatakan bahwa masalah ini memerlukan penanganan yang terbuka dan menguntungkan semua pihak. ‘’Kita dapat belajar dari negara tetangga, Malaysia,’’ ujarnya.

Belo tampil pada sesi pertama bersama Wakil Katib PB NU Dr Said Aqil Siradj, pengamat ekonomi Dr Hartojo Wignjowijoto, dan rohaniwan Dr Mudji Sutrisno. Turut hadir, antara lain William Soeryadjaya, Sarwono Kusumaatmadja, Hayono Isman, Subroto, Frans Seda, Hariyadi Darmawan, Rizal Ramli, Bambang W. Soeharto, dan Menpora Agung Laksono.

Belo menjelaskan, di Malaysia kasus-kasus yang melibatkan etnis seperti Cina dan bumiputra (pribumi) ditangani secara lebih terbuka, baik yang menyangkut hukum, ekonomi, maupun politik.

Menurut pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1996 ini, pembentukan karakter bangsa Indonesia akan berhasil jika mampu menerima kenyataan multietnis, agama, budaya, dan daerah sebagai kekuatan perekat suatu negara bangsa. ‘’Sebaliknya, akan gagal jika tidak lagi menerima realitas kebhinekaan itu dan menjadikannya sebagai duri dalam daging,’’ tambahnya.

Disebutkan Belo, kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia secara potensial merupakan ancaman yang serius. Namun, jika itu dikelola secara baik, potensinya malah bisa positif.

Terakhir, kebhinekaan Indonesia sebagai negara bangsa juga terancam saat muncul potensi disintegrasi bangsa di Irian Jaya dan Timtim. Khusus dalam kasus Timtim, Belo kepada wartawan menyebut, dukungan masyarakat Timtim untuk menuntut referendum tampak makin besar.

Mengenai penyelesaiannya, Belo menyerahkan kepada PBB dan pemerintah Indonesia. ‘’Hanya, hendaknya tidak menggunakan pendekatan keamanan,’’ pintanya.

Sebagai pemimpin masyarakat, Belo tidak bisa memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan dalam kondisi seperti sekarang. Hanya, ia berharap pemerintah Indonesia sebaiknya bertindak secara hati-hati dan bijaksana. Pendekatan keamanan, lanjutnya, hendaknya ditinggalkan karena tidak akan menyelesaikan masalah. Tetapi, hal itu justru akan memperkeruh suasana.

Secara hukum, tambahnya, negara harus bersikap adil dalam menyikapi kebhinekaan. ‘’Prinsip-prinsip egalitarianisme dalam memperlakukan kebhinekaan harus selalu dijunjung tinggi.’’

Sementara itu, Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan, NU mencemaskan berbagai gejolak sosial yang terjadi akhir-akhir ini. Misalnya kasus pemerkosaan masal terhadap etnis tertentu, penjarahan, pembakaran, dan kasus penembakan mahasiswa.

Hal itu tertuang dalam makalah Gus Dur yang disampaikan Ketua PB NU H M. Rozy Munir SE. Menurut Gus Dur, peristiwa 13–15 Mei 1998 –kerusuhan masal pembakaran, penjarahan, dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa– lalu menunjukkan dua hal yang saling bertentangan.

‘’Masyarakat yang tadinya santun mendadak menjadi buas. Hal itu dapat dilihat dari tindakan biadab, antara lain terjadinya pemerkosaan bahkan di depan mata keluarga sendiri, membiarkan orang mati terbakar hangus tanpa peduli,’’ tegasnya.

Dus Dur menegaskan bahwa NU melihat perkembangan dan kejadian itu dengan hati cemas. Dalam keadaan seperti ini bangsa Indonesia dihadapkan pada keadaan yang saling bertentangan. Pengorbanan yang selama ini diberikan untuk mendirikan negara kesatuan seolah-olah menjadi sia-sia saja.

‘’Sangat mengherankan bila orang-orang pada zaman dulu yang terkungkung dalam lingkungan mereka yang sempit justru dapat mewujudkan persatuan, sedangkan kita yang sudah makin terekspos dengan globalisasi justru tidak mampu melakukannya,’’ ujarnya.

Ia mengatakan, negara kita dibangun berdasarkan kebersamaan dari sejumlah kebhinekaan –agama, ras, suku, asal-usul, budaya, bahasa ibu, dan sebagainya. ‘’Kita sadar bahwa semua potensi ketidakseragaman atau kebhinekaan itu hadir dan hidup di tengah-tengah kita. Ketidaksesuaian dengan banyak hal seharusnya tidak perlu selalu dimanifestasikan dalam bentuk antipati kepada semua,’’ tegasnya.

Bersatunya kita dalam wadah negara kesatuan ini merupakan wujud fisik kearifan para pendiri bangsa untuk menghilangkan antipati di antara sesamanya.

Gus Dur mencontohkan adanya beberapa sikap yang akhir-akhir ini muncul yang bertentangan dengan kehendak mayoritas bangsa Indonesia. Sikap itu, antara lain adanya keinginan sekelompok orang yang mengarahkan agar agama satu saja di negara ini.

Selain itu, adanya pihak-pihak yang menginginkan Indonesia terseret menjadi negara-negara kecil yang sparatis, yang ingin keluar dari kesatuan Republik Indonesia karena ingin mendirikan negara sendiri-sendiri.

Karena itu, NU menyerukan agar kita tetap memelihara kesatuan negara sebagai bagian dari kemanusiaan. ‘’Di antara kita tidak boleh dicerai-beraikan oleh perbedaan yang ada, baik asal-usul, agama, ras, etnis, budaya, maupun bahasa ibu. Dengan segenap perbedaan itu, kita menjadikan satu kesatuan yang kuat, khususnya menghadapi abad ke-21,’’ demikian Gus Dur.(adb)


www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt