Jawa Post, Rabu, 29 Okt 1997 Munas PBNU akan Bahas Kasus TKI Agas Bisa Mencontoh Sarah Balabagan Purwokerto, JP.- Banyaknya kasus pelanggaran hak-hak azasi manusia (HAM) yang menimpa tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi, baik mereka yang menjadi korban pemerkosaan hingga yang terancam hukum pancung seperti Nasiroh, akan menjadi salah satu agenda Munas PBNU di Mataram NTB 17-19 November mendatang. Bahkan kemungkinan besar akan diusulkan pembentukan Komite Hijaz ke-2 yang bertugas melobi raja Arab Saudi, khusus untuk memperjuangkan hak dan kepentingan TKI di sana. ‘’Akan kita usulkan perlunya dibentuk Komite Hijaz ke-2 yang bisa menghadap langsung ke raja. Komite Hijaz pertama sudah dibentuk saat NU minta kelonggaran madzhab dan misi tahun 1926 itu ternyata berhasil,’’ jelas ‘Awan Syuriah PBNU, Dr KH Noer Iskandar Al-Barsany di sela-sela diskusi teologi oleh PC PMII Purwokerto di Ponpes Al Hidayah Karangsuci, kemarin. Sementara itu, Katib Syuriah PBNU Dr KH Said Agil Siradj menjelaskan, pada tahun 1984 saja sudah ada 400 kasus pemerkosaan yang menimpa TKW Indonesia di Arab Saudi yang tercatat di KBRI di Arab Saudi. Belum lagi kasus penyiksaan dan pelecehan seksual yang menimpa mereka oleh majikan yang merasa membeli para naker itu, dinilai sudah sangat keterlaluan dan harus segera ada penyelesaian. Namun sejauh ini pemerintah Indonesia tak pernah memberikan bantuan penyelesaian sehingga TKW Solihah dipancung tanpa pemberitahuan, dan tak ada penyelesaian dengan para korban penyiksaan dan pemerkosaan. ‘’Coba kita lihat bagaimana nasib yang menimpa Sarah Balabagan asal Filipina, karena pemerintah sana berjuang habis-habisan, akhirnya bisa bebas. Tapi bangsa kita sendiri, bagaimana bantuannya, sejauh ini tak jelas,’’ ujar kiai Said Agil. Makanya, masalah pelanggaran HAM yang dialami para naker di luar negeri, khususnya di Arab Saudi, memang sangat urgen untuk dibahas dan ditindaklanjuti. ‘’Saya yakin, dalam kasus Nasiroh, dia itu sengaja dikalahkan. Saya sangat tidak yakin, wanita itu menembak tanpa ada sebab atau keterpaksaan. Dia itu jelas melakukan pembelaan,’’ tambahnya. Atas dasar pengalaman pahit yang dialami TKI-TKI kita di negeri itu, Gus Noer bertekad bulat hendak menggalang pengurus Syuriah PW NU se-Indonesia agar mau membicarakan masalah ini pada tingkat Munas. Karena pelanggaran HAM atas para TKW itu sendiri merupakan masalah krusial yang harus dipecahkan, apalagi pelanggaran dilakukan oleh sesama umat Islam, jelas harus dihentikan. Kasus Solihah dan Nasiron harus dijadikan momentum penghentian pelanggaran hak-hak azasi para naker Indonesia itu. Mengenai teknis usulan, bisa dilakukan pada bahtsul masail (pembahasan masalah) maupun pada tingkat diskusi yang digelar di forum Munas itu sendiri. Dia sendiri belum berani menjamin bahwa usulan itu akan diterima semua utusan, tapi akan diperjuangkan maksimal. ‘’Darah dan harta orang Islam itu terhormat dan wajib dihormati. Makanya, siapa yang tidak memperjuangkan HAM, ketokohan atau keulamaannya layak dipertanyakan,’’ ujar Gus Noer dan Said Agil. Diakui sendiri oleh Gus Noer, ormas-ormas yang ada masih sangat kecil responnya atas masalah-masalah pelanggaran HAM yang terjadi, terutama dalam action. Baik kasus itu ada dan terjadi di negeri sendiri maupun yang menimpa masyarakat Indonesia di luar negeri. Padahal, perjuangan HAM itu jelas merupakan kerja sosial yang berdimensi ilahiah, sehingga hukumnya harus. ‘’Sekali lagi, kalau kita sungguh-sungguh, perjuangan itu akan membuahkan hasil. Dan, saya kira tidak ada kata terlambat dalam pembentukan Komite Hijaz ke-2 yang untuk memperjuangkan HAM para TKI itu. Sebab, masalah ini akan terus muncul dan harus diantisipasi secara matang,’’ tegas Gus Noer sekali lagi. (liq)