Jawa Post, 25 Oktober 1997 NU Jabar Juga Minta HAM Jadi Tap MPR Agar Ada Kesatuan Konsep yang Utuh Bandung, JP. Wakil Ketua Tanfidziah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jawa Barat H Man Muhammad Iskandar berpendapat, konsep hak asasi manusia (HAM) paling tepat dituangkan dalam ketetapan MPR (tap MPR). ‘’Penuangan tersebut harus tersendiri dan terpisah dari GBHN,’’ katanya. Menurut Iskandar, penuangan konsep HAM ke dalam tap MPR perlu terpisah dengan GBHN, mengingat GBHN adalah kebijakan MPR yang menjadi landasan operasional pemerintah. Dalam pandangan Iskandar, masalah HAM bukan hanya menyangkut landasan operasional. HAM itu menyangkut juga masalah prinsip atau doktrin yang akan dijadikan pegangan bagi perangkat pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat. Ia menambahkan, berkaitan dengan berlakunya AFTA atau era pasar bebas ASEAN pada tahun 2003, masalah HAM akan mencuat dan menjadi ukuran. "Karenanya Indonesia harus punya pegangan yang jelas dan spesifik untuk menghadapi hal itu," tambahnya. "Dalam Islam, prinsip HAM dimulai dari prinsip pertama, yaitu manusia sebagai hamba Allah yang mempunyai kewajiban beribadah kepada Allah,’’ ujarnya seraya menambahkan, ‘’Dari sederet kewajiban-kewajiban kepada Allah itu, muncul hak dan tanggung jawab." Iskandar tak mengingkari bahwa HAM sudah tercantum dalam UUD 1945, namun katanya, teks yang tercantum dalam UUD 1945 itu belum cukup karena tidak bersifat operasional. "Karena, jika HAM masuk menjadi tap MPR tersendiri, landasan untuk mewujudkan HAM akan terjabar lebih spesifik," tandasnya. Iskandar memberikan contoh, Pancasila sudah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Namun karena merupakan pedoman bangsa, perlu penjabaran agar lebih jelas, yang pada kelanjutannya dituangkan dalam ketetapan MPR mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Untuk menegakkan HAM, dalam pelaksanaannya, menurut Iskandar, diperlukan lembaga-lembaga yang menangani masalah HAM. "Meskipun terpaut cukup lama dengan lahirnya deklarasi HAM, Indonesia kini sudah memiliki Komnas HAM sebagai lembaga yang menangani masalah HAM," kata Iskandar. Sehubungan dengan keberadaan Komnas itu, kata Iskandar, penjabaran HAM dalam perangkat undang-undang (UU) sangat perlu. Iskandar tidak menyangkal dengan keberadaan HAM dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia, tetapi dalam kaitan HAM sebagai suatu konsep, di Indonesia belum merupakan satu kesatuan yang utuh. "Karena itu kita memerlukan satu kesatuan konsep HAM yang utuh dan jelas yang tertuang dalam suatu produk hukum sebagai landasan pelaksanaan dan penegakan HAM di Indonesia," lanjutnya. Iskandar mengungkapkan bahwa masih banyak ketidakseragaman pemahaman atas HAM antara perangkat pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat, yang menurut penilaiannya, hal itu karena ketidakjelasan konsep HAM. Banyak kejadian yang oleh masyarakat dipandang sebagai pelanggaran HAM, namun dari kacamata pemerintah dan penegak hukum bukan sebagai pelanggaran. Sebaliknya, menurut dia, apa yang menurut pemerintah dan penegak hukum sebagai pelanggaran HAM, tidak dianggap sebagai pelanggaran oleh masyarakat. "Hal itu menunjukkan sangat mendesaknya suatu produk hukum sebagai satu kesatuan konsep HAM untuk menghilangkan kesenjangan dan perbedaan pemahaman antara pejabat pemerintah, penegak hukum dan masyarakat," ujarnya. (an)