Jawa Post, Senin, 20 Oktober 1997 Kekhawatiran Gus Dur terhadap PPP Oleh Mundzar Fahman * Pernyataan Ketua Umum PB NU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di depan pengurus NU se-Jatim di sekretariat Jalan Raya Darmo (Jawa Pos, 15 Oktober 1997) menarik dicermati. Dalam kesempatan itu, Gus Dur membeberkan rahasia mengapa NU banyak menggelar istighatsah kubra menjelang masa kampanye Pemilu 1997 lalu. Dia juga mengungkapkan sikapnya terhadap PPP, Mbak Tutut (Ny Hj Siti Hardiyanti Rukmana, ketua DPP Golkar), dan Megawati Soekarnoputri (ketua umum DPP PDI hasil Munas 1993 Jakarta) dalam kaitan dengan perimbangan dukungan pada Pemilu 1997 lalu. Menurut Gus Dur, istighatsah kubra itu sengaja diadakan NU menjelang masa kampanye Pemilu 1997 dengan tujuan mengimbangi Megawati. Kata dia, Megawati dan para pendukungnya waktu itu menyatakan akan meninggalkan PDI dalam Pemilu 1997. Menurut Gus Dur, Megawati punya puluhan juta pendukung setia. Jika sampai mereka ini memilih golput, atau beralih memilih PPP semuanya, maka suara PPP pada pemilu yang lalu bakal meningkat tajam. Gus Dur khawatir, jika suara PPP sampai lebih dari seratus kursi di DPR RI (parlemen), akan bisa menimbulkan trauma. Misalnya, mungkin akan banyak menerapkan hukum Islam di negeri ini. Berangkat dari pandangan seperti itu, Gus Dur lalu mengajak para tokoh Golkar, terutama Mbak Tutut, untuk mengikuti istighatsah kubra NU menjelang masa kampanye pemilu yang lalu. Dia memilih Mbak Tutut karena Mbak Tutut dianggap tokoh populer dan responsif, dan bisa dicalonkan untuk pemimpin masa depan. Tujuannya agar warga PDI, terutama yang dari NU, tidak semuanya beralih memilih PPP, melainkan bisa seimbang antara yang lari ke Golkar dengan yang ke PPP, maupun yang memilih golput (jika ada). Istighatsah tersebut --waktu itu-- menimbulkan sikap pro dan kontra. Tidak hanya di luar NU, misalnya PPP. Namun, juga di interen NU sendiri. Banyak tokoh NU yang tidak setuju terhadap acara itu. Mereka terang-terangan menuduh ada udang di balik batu, ada tujuan politis dari acara istighatsah itu. PPP yang merasa dirugikan, digembosi oleh NU melalui istighatsah itu, berteriak keras. Ketua Umum DPP PPP H Ismail Hasan Metareum SH (Buya) secara tegas meminta pemerintah melarang kegiatan itu. Buya menganggap Gus Dur secara sengaja menggembosi kantong-kantong PPP. Namun, waktu itu dijawab Gus Dur dengen enteng, istighatsah itu murni ibadah. Bahkan, Gus Dur balik mengingatkan Buya, jika PPP tetap bersikap seperti itu terhadap NU, khususnya terhadap Gus Dur, maka perolehan suara PPP dalam Pemilu 1997 malah akan merosot tajam. Pernyataan Gus Dur itu ternyata tidak terbukti sebab suara PPP meningkat tajam, dari 62 kursi pada Pemilu 1992, meningkat menjadi 89 pada Pemilu 1997 lalu. Sedikitnya ada dua hal dari pernyataan Gus Dur di depan pengurus NU se-Jatim tersebut yang perlu dicermati. Pertama, soal pernyataannya bahwa istighastah kubra NU menjelang masa kampanye Pemilu 1997 lalu punya tujuan mengantisipasi gerakan Megawati dan para pendukungnya, dan sebagai upaya menjaga keseimbangan antara dukungan untuk Golkar dan PPP sehingga tidak terjadi konfrontasi terbuka antara keduanya. Kedua, pernyataan Gus Dur yang mengkhawatirkan akan terjadi trauma jika suara PPP sampai mencapai seratus kursi lebih di DPR RI. Kata Gus Dur, jika suara PPP lebih dari seratus kursi di parlemen, dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya, adanya kemungkinan akan banyak menerapkan hukum Islam di negara kita. Pernyataan Gus Dur bahwa istighatsah kubra NU menjelang masa kampanye Pemilu 1997 lalu untuk mengantisipasi gerakan Megawati dan untuk menjaga keseimbangan Golkar-PPP, sebenarnya, cukup melegakan. Dengan adanya pernyataan itu, orang-orang yang selama ini bertanya-tanya tentang hakikat tujuan istighatsah kubra menjelang kampanye pemilu lalu, kini memperoleh penjelasan yang gamblang. Bagi banyak orang, termasuk tokoh NU yang waktu itu tidak setuju istighatsah dan menuduh ada tujuan politis dari acara itu, kini menjadi lega. Orang yang dulunya menuduh istighatsah kubra itu tidak murni ibadah, kini menjadi kenyataan. Bahwa ternyata tuduhan mereka waktu itu tidak sekadar tuduhan. Tuduhan mereka tidak ngawur. Mengapa waktu itu NU tidak mau berterus terang kepada umatnya, kepada masyarakat, tentang tujuan istighatsah yang mereka lakukan bersama tokoh-tokoh Golkar itu? Pengurus NU yang lebih tahu soal itu. Pengurus NU, termasuk Gus Dur, sebenarnya lebih baik jika waktu itu berterus terang kepada umatnya tentang hakikat tujuan istighatsah kubranya waktu itu. Sebab, jika dulu dikatakan bahwa istighatsah itu murni ibadah, dan kemudian kini dikatakan punya tujuan politis, maka akan terjadi penilaian yang kurang bagus terhadap pengurus NU. Dikhawatirkan ada orang NU yang kini justru menilai bahwa ada pemimpin formal NU yang kurang jujur kepada umatnya, kepada warganya sendiri. Jika kepada umatnya sendiri saja tidak mau jujur dan terbuka, apalagi kepada yang bukan umatnya. Mungkin kini juga ada yang bertanya bagaimana hukum istighatsah yang bertujuan politis itu? Menyesalkah kira-kira warga NU yang waktu itu ikut istighatsah? Mudah-mudahan tidak menyesal. Kekhawatiran Gus Dur yang sedemikian besar terhadap PPP juga sulit dimengerti orang awam. Mengapa dia khawatir jika suara PPP lebih dari seratus kursi di parlemen, akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan? Kita tahu bahwa anggota DPR RI itu 500 orang. Sebanyak 75 dari FABRI, dan sisanya yang 425 orang dari tiga OPP (PPP, Golkar, dan PDI). Dalam Pemilu 1997, PDI hanya kebagian 11 kursi, dan PPP 89 kursi. Dihitung dari sisi mana pun, suara PPP belum ada apa-apanya dibandingkan dengan suara Golkar dan FABRI. Semua orang tahu pandangan politik Golkar dan FABRI itu hampir selalu sama. Karena itu, jangankan hanya seratus kursi, dengan 150 kursi pun PPP belum ada apa-apanya untuk ''melawan'' dominasi Golkar dan FABRI. Apalagi jika di MPR, karena Golkar dan FABRI punya tambahan bolo (kekuatan) yaitu dari FUD (Fraksi Utusan Daerah). Adanya pertemuan-pertemuan segi tiga antara FKP dengan FABRI dan FUD, atau yang sering disebut dengan pertemuan setengah kamar, membuktikan adanya kesamaan pandangan dari ketiga fraksi ini. Lalu, apa artinya suara PPP di mata mereka? Bahkan, jika PPP bisa dan mau berkoalisi dengan PDI sekalipun --meskipun ini rasanya mustahil-- suara ketiga fraksi itu tidak akan tergoyahkan oleh dua fraksi yang berkoalisi itu (PPP dan PDI). Lalu, apanya yang layak dikhawatirkan? Apa pun keinginan PPP, apalagi jika keinginan itu nyeleneh-nyeleneh, maka akan dengan gampang dipatahkan oleh fraksi mayoritas. Apalagi jika kebetulan keinginan nyeleneh PPP itu berupa penerapan hukum Islam, maka PDI yang nasionalis akan sangat mungkin ikut menentangnya. PDI tidak akan mau berkoalisi lagi dengan PPP. Dengan demikian, PPP akan tampil sendirian, tanpa kekuatan yang berarti. Bahkan, suara PPP akan pecah jika sampai ada orang PPP kini berbicara tentang penerapan hukum Islam. Kasus seperti dalam Sidang Umum MPR 1978, saat ada sejumlah anggota FPP DPR RI walk out, mungkin akan terulang lagi. "Kekuatan" antar fraksi di parlemen kita maupun yang di MPR sangat jauh dari seimbang. Akibatnya, tidak ada dinamika. Tidak ada "perlawanan" yang berarti. Ibarat dalam dunia tinju, ada yang jagoan di kelas berat dan profesional. Sementara ada fraksi lain yang masih kelas terbang. Jika petinju dari dua kelas yang jauh berbeda itu dipersandingkan ("dipertarungkan") akan dengan mudahnya yang kelas berat mengalahkan (meng-KO) yang kelas terbang. Dalam kondisi seperti itu, perlukah yang jagoan di kelas berat mengkhawatirkan yang kelas terbang? Rasanya, kok tidak perlu. Jadi, rasanya sulit dipahami awam jika Gus Dur sedemikian khawatir terhadap PPP. Gus Dur pernah akrab dengan Megawati. Itu terutama setelah Megawati dipilih menjadi ketua umum DPP PDI lewat Munas di Jakarta, 1993. Waktu itu banyak yang berspekulasi bahwa langkah Gus Dur itu antara lain untuk menuju keseimbangan kekuatan demokrasi di negeri ini. Orang mengaitkan kedudukan Gus Dur yang sebagai ketua Pokja Forum Demokrasi. Spekulasinya, Gus Dur ingin PDI menjadi lebih besar sehingga partai ini menjadi partai alternatif, dan ada keseimbangan "kekuatan" demokrasi di parlemen. Tetapi, gandheng renteng Gus Dur dengan Megawati itu tidak berlangsung lama. Terutama menjelang masa kampanye pemilu yang lalu, Gus Dur justru sering runtang-runtung dengan Mbak Tutut datang ke pesantren, datang ke forum-forum istighatsah kubra NU yang digelar secara besar-besaran. Dalam pertemuan dengan pengurus NU se-Jatim Selasa lalu Gus Dur bersyukur bahwa hasil Pemilu 1997 bisa seperti yang diharapkan. Alasan dia, ada keseimbangan dukungan kepada PPP dan Golkar tanpa ada konfrontasi terbuka. Inikah yang diinginkan Gus Dur tentang perimbangan kekuatan suara demokrasi di parlemen kita? *. Mundzar Fahman, wartawan Jawa Pos alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya.