Idham Chalid, Tokoh yang Penyabar ------------------------------------------------------------------------ Idham Chalid adalah salah satu politisi yang juga bisa bertahan melampaui dua orde, Orde Lama dan Orde Baru. Bahkan, pada awal Orde Baru, Idham, yang dekat dengan Bung Karno, terpilih menjadi Ketua MPR/DPR RI hasil pemilu 1971. Padahal, Idham bukan berasal dari Golkar, yang ketika itu menjadi pemenang Pemilu 1971. Melihat perjalanan politiknya, Idham memang layak diacungi jempol. Maklum, ia mulai berangkat dari kota kecil Amuntai, Kalimantan Selatan. Ketika itu, lulusan Pondok Pesantren Modern Gontor ini mulai aktif dalam Masyumi, tahun 1940-an. Ia juga aktif dalam perjuangan fisik dengan menjadi anggota Front Rakyat Indonesia Kalimantan, lantas menjadi Sekretaris Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah Hulu Sungai Utara. Pada akhir 1949, Idham hijrah ke Jakarta karena menjadi anggota DPR RIS mewakili Kalimantan. Setelah itu ia terus berkiprah di parlemen. Pada saat itu pula ia mulai aktif di Nahdlatul Ulama dan berkampanye untuk organisasi ini pada Pemilu 1955. Tahun 1956, ia menjadi Ketua PB Nahdlatul Ulama. Bersama-sama dengan Rais Am K.H. Abdulwahab Chasbullah, Idham memberi warna pada perilaku politik NU ketika itu. Mereka berdualah yang memutuskan agar NU ikut dalam DPRGR, meski ketika itu sebagian umat Islam--dimotori Masyumi--menentang konsep DPR bikinan Bung Karno yang berlandaskan pada sendi Nasakom. Tunduknya ketua Syuriah dan Tanfidziyah NU ini tak lepas dari kedekatan K.H. Wahab dan Idham Chalid dengan Bung Karno. Bagi Idham, turut sertanya dia dalam jaringan kekuasaan pada masa Demokrasi Terpimpin itu adalah atas dasar pertimbangan dan untuk kepentingan agama. Kiai Idham menekankan bahwa bagi NU dalam melaksanakan Demokrasi Terpimpin, demokrasinya harus mendapatkan penekanan. Sebab, menurut Islam, demokrasi tanpa kepemimpinan akan menjurus pada anarki, sedangkan kepemimpinan tanpa demokrasi akan menjurus pada diktaktor. Bagi Idham, pemerintahan Bung Karno yang sentralistik dan tidak memberikan peluang kepada perbedaan pendapat masih dalam kategori demokrasi. Sebab, NU di bawah pimpinannya masih tetap berada dalam sistem itu sampai sistem itu bubar. Idham pula yang ikut menandatangani peleburan (fusi) empat partai Islam (NU, Parmusi, Perti, dan PSII) menjadi PPP pada 5 Januari 1973. Kendati dikenal sebagai orang yang berada di lingkaran Bung Karno, Idham Chalid tidak terdepak ketika orde berganti. Buktinya, ia masih dipercaya menjadi Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat (Kesra) pada 1967-1970, dan Menteri Sosial ad interim pada 1970-1971. Lantas, ia pun terpilih menjadi Ketua MPR/DPR RI hasil Pemilu 1971. Untuk posisi ini, Idham mengaku bersyukur. Sebab, inilah DPR/MPR pertama yang dibentuk pada masa Orde Baru berdasarkan pemilihan umum. Pada masa kepemimpinannya, DPR RI dihadapkan pada beberapa masalah besar, misalnya kontroversi pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Kemudian, Idham pula yang memuluskan lahirnya UU Perkawinan, kendati ditentang PPP. Peristiwa besar lainnya yang dihadapi DPR masa Idham Chalid adalah Peristiwa Malari, juga soal ide penyatuan Timor Timur ke bumi Indonesia. Setelah tidak lagi menjabat Ketua DPR/MPR RI, ayah 16 anak itu bertugas sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Politisi yang dikenal penyabar itu kemudian lebih aktif membina pesantrennya yang tak terlalu besar di bilangan Cipete, Jakarta Selatan. Belakangan, namanya sempat muncul lagi ke permukaan ketika ia mengumumkan hengkangnya Jamiyyah Ahlith Thariqah Al- Muktabarah An Nahdliyah (JATMN) dari induknya, Nahdlatul Ulama. Ia menginginkan organsiasi tarekat ini terbuka untuk semua umat Islam--bukan hanya untuk anggota NU. Idham Chalid Lahir: Setui, Kalimantan Selatan, 5 Januari 1921. Agama: Islam. Pendidikan: Madrasah Mualimin Tinggi, Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo (1942); Universitas Al Azhar, Kairo (Dr. HC tahun 1959). Organisasi: Ketua Partai Masyumi Amuntai; Ketua Pendidikan Ma'arif Nahdatul Ulama (1952-1956); Ketua PB Nahdlatul Ulama (1956-1984); Ketua PPP. Karir: Guru Madrasah Pondok Pesantren Gontor (1940); Direktur Normal School Islam Amuntai (1945); Anggota Dewan Daerah Banjar (1947); Anggora DPR RIS (1949-1950); Wakil Perdana Menteri II (1956-1957); Menteri Negara Kesra (1967-1970); Menteri Sosial ad interim (1970-1971); Ketua DPR/MPR RI (1971-1977); Ketua PPP; Ketua Dewan Pertimbangan Agung (1977-1983); Tim P-7 (Penasihat Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). [Kembali ke Halaman Index]