http://www.waspada.com/nas5.htm Waspada, Selasa, 22 April 1997 Warga NU Tidak Keberatan Pak Harto Terpilih Lagi SEMARANG (Waspada): Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdurrachman Wahid menyatakan, warga NU tidak keberatan jika Pak Harto terpilih lagi sebagai Presiden periode 1998 - 2003 mendatang. "Sampai saat ini tidak ada satu pun warga NU yang keberataî dengan Pak Harto, perkara nantinya akan diaktifkan lagi atau tidak, sampai kini belum dipikirkan," katanya pada wartawan usai acara haul pertama Alm. Ibu Hj Tien Soeharto di Kabupaten Kebumen, Jateng Minggu. Dia mengakui, sebenarnya NU tidak ada kaitannya dengan proses pencalonan Presiden maupun Wapres, sebab proses semacam itu bukan hak dan wewenang NU, melainkan hak dan wewenang MPR. Ketika didesak siapa calon Presiden dan Wapres periode mendatang, Gus Dur (panggilan akrab KH Abdurrachman Wahid-red) lebih lunak memberikan jawaban, namun tidak menyebut nama seseorang. "Kalau masalah itu, rahasia perusahaan NU dong, namun yang jelas warga NU tidak keberatan dengan Pak Harto untuk jabatan Presiden periode mendatang," ujar Gus Dur. Termasuk nama Cawapres, Gus Dur yang sempat melontarkan nama Moerdiono (Menteri Sekertaris Negara-red) pada jajaran tokoh yang layak dicalonkan, ia juga tak mau menyebut namanya. "Masalah Wapres tetap tergantung pada Presidennya," katanya. "Pada waktu itu saya tidak mencalonkan Moerdiono jadi Wapres namun Mensesneg tersebut juga pantas menjadi orang kedua di negara ini," paparnya. Ketika disinggung tentang santernya suara Mbak Tutut sebagai calon Wapres, Gus Dur mengatakan, itu semua juga bergantung pada fraksi-fraksi yang ada di DPR, tetapi yang jelas Mbak Tutuô merupakan tokoh masa depan. Ketika disinggung tentang doa politik yang disampaikan oleh Mbah Liem (KH Muslim Imampuro) pada saat memimpin doa "Istiqhotsah di atas panggung, Gus Dur justru minta agar Mbah Liem jangaî dijadikan patokan atau ukuran masalah di NU. Saat memimpin doa Istiqhotsah pada acara haul pertama Alm. Ibu Hj. Tien Soeharto, Mbah Liem membawakan doa politik, ia memanjatkan doa bagi kesehatan Pak Harto dan juga agar Pak Harto terpilih lagi sebagai Presiden. Bukan keputusan politik Sementara itu seusai menghadiri peringatan HUT ke-63 Ansor di Surabaya, Senin, Gus Dur menegaskan "Istighotsah" (doa massal) dan pengajian yang mengajak putri sulung Presiden Soeharto, Ny Hj Siti Hardijanti Indra Rukmana (Mbak Tutut) bukan keputusan politik yang melanggar Khittah 1926 NU. Hal itu disampaikannya menanggapi komentar paman Gus Dur, KH Yusuf Hasyim (Pak Ud-pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang) bahwa "Istighotsah" Mbak Tutut-Gus Dur merupakan keputusan politik daî melanggar Khittah NU. Pak Ud yang dikenal sebagai politisi PPP menilai "Istighotsah" NU yang mengajak Mbak Tutut akhir-akhir merupakan keputusan politik karena Mbak Tutut diundang sebagai salah satu Ketua Golkar meski anjuran yang disampaikan dalam setiap acara adalah netral untuk semua OPP. "Harus dipersoalkan, sebab forum itu (istighotsah) menggunakan lembaga NU. Ini sangat berbeda dengan Mbak Tutut diberi kesempatan untuk mengunjungi beberapa pondok yang tak ubahnya seperti silaturrahmi biasa," katanya. Gus Dur tidak menjawab secara langsung, namun mencontohkan Pak Ud juga pernah mengajak puluhan kiai ke Istana Negara untuk sowan (menghadap, red) Pak Harto dalam kapasitasnya sebadai Pembina Golkar, bukan sebagai Presiden. "Hal itu justru politis," kata Gus Dur tak bisa melanjutkan penilaiannya karena dikawal ketat oleh Banser (Barisan Serbaguna) Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Surabaya. Secara terpisah, Rois Syuriyah PBNU KH Muchit Muzadi berpendapat jika Gus Dur "bergandengan" dengan OPP, seperti Mbak Tutut (Golkar) atau Megawati (PDI), maka hal itu dinilainya tidak menyalahé Khittah 1926 NU (kembali kepada garis perjuangan NU sebagaé organisasi kemasyarakatan dan keagamaan). Menurut Kiai Muchit yang termasuk perumus Khittah NU, makna Khittah 1926 NU yang benar, harus dikembalikan pada konsep dasar Khittah 1926 NU itu sendiri yakni tidak terikat dengan orsospol dan ormas mana pun. "Jadi, makna Khittah 1926 yang paling mendasar adalah tidak terikat dengan pihak mana pun, soal penafsiran dari 'tidak terikat' adalah bebas dan sesuai dengan prinsip dinamika kehidupan," katanya. Kiai Muchit mengatakan 'tidak terikat' dalam Khittah 1926 NU itu bisa bermakna membiarkan tidak berhubungan sama sekali dengan pihak mana pun, tapi bisa juga bermakna berhubungan baik dengan semua pihak. Soal makna yang mana yang dipakai itu soal dinamika di lapangan. "Aplikasi Khittah NU 1926 tidak harus satu bentuk, sebab yanç terpenting adalah 'tidak terikat'. Kalau diartikan bergandengan dengan OPP juga bisa, baik bergandengan secara sendiri-sendiri maupun dengan ketiga-tiganya sekaligus. Bahkan, diartikan dengan 'membiarkan' ketiga OPP juga tak salah," katanya. Perintah agama Sementara itu, ketika menghadiri HUT ke-63 Ansor, Gus Dur mengatakan negara pada hakekatnya harus melaksanakan perintah agama. "Negara bertujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, yang merupakan salah satu perintah agama," ujarnya. Karena itu, anak-anak Ansor harus mendalami ajaran agama secara konkret, baik dari aspek sosial, moral maupun budaya, seperti apresiasi seni Islami yang digelar dalam HUT ke-63 Ansor kali ini, katanya. Di hadapan ribuan orang yang menghadiri peringatan HUT ke-63 Ansor yang diselenggarakan Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Surabaya dan dihadiri Walikotamadya Surabaya, H Sunarto Sumoprawiro, Gus Dur menjelaskan, seni yang Islami, dapaô menumbuhkan rasa kemanusiaan yang akhirnya melahirkan sikað persaudaraan sesama manusia, sehingga hal itu akan mendorong sikap dan langkah-langkah dalam mewujudkan kesejahteraan. Menurut cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari ini, agama tak cukup dikonkretkan dengan aturan-aturan yang formal, tentang haram, halal, makruh, dan seterusnya, namun perlu dihadirkan secara konkret dalam kehidupan manusia, sehingga bukan impian buta tapi impian yang "berbunyi" dalam hubungan antar manusia. Gus Dur menambahkan, agama merupakan forum yang baik bagi seni, baik seni mozaik pada kaca-kaca di gereja-gereja tua, kaligrafi Arab, seni baca Al-Qur'an, hingga musik peperangan maupun kelompok besar. Peringatan HUT ke-63 Ansor menampilkan Musik Dzikir dari Prenduan, Sumenep (Madura) dan Orkes Gambus Elbadr dari Jakarta dengan penyayi Soraya. (antara).