MUTIARA 16 April 1997 TAMU KITA Abu Hasan, MPA Silaturahmi dengan Gus Dur Tidak Sekaligus Langsung Berarti Satu Barisan dalam NU "Perseteruan" Abdurrahman Wahid dengan Abu Hasan berakhir setelah Gus Dur - panggilan akrab Abdurrahman Wahid - bersilaturahmi ke rumah Abu, Kamis (20/2) lalu. Banyak pihak menilai silaturahmi itu berkaitan dengan upaya konsolidasi NU setelah melewati masa-masa penuh goncangan. "Perseteruan" itu dimulai seusai Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama di Cipasung, Jawa Barat, Desember 1994 lalu. Abu Hasan, yang kalah 30 suara dari Gus Dur, membentuk PB NU tandingan. Gus Dur menolak semua usul rekonsiliasi dengan tokoh kelahiran Sungai Penuh, Kerinci, Sumatra Barat, 19 Juli 1934 itu. Mutiara mewawancarai Abu Hasan berkaitan dengan silaturahmi yang disambut baik banyak pihak itu, Kamis (27/2) lalu di kediamannya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Menurut anak pasangan H. Abdul Aziz dan Hj. Djamaliah itu, peristiwa silaturahmi dengan Gus Dur merupakan suatu event sangat penting bagi perjalanan NU di masa mendatang. Silaturahmi itu dipercayainya dapat menyelesaikan perpecahan yang sudah terjadi, baik yang bersifat pribadi maupun organisatoris. Mantan guru SMA Negeri Sungai Penuh itu memastikan, seluruh warga NU sangat mengharapkan peristiwa itu. "Pak Kiai Gus Dur dengan saya sudah bisa bermaaf-maafan," kata Master of Public Administration lulusan University of Pittsburg, Pennsylvania, AS, itu. Sebagai bukti keseriusan melupakan masa lalu, Abu menyatakan akan mencabut semua pengaduan perkara atas pernyataan Gus Dur yang dianggap mendiskreditkannya. Berkas perkara yang pernah disidik aparat kepolisian dan kini masih berada di kejaksaan, tanpa setahu Gus Dur, akan dicabutnya. Ganjalan itu kini sudah hilang, kata Abu. Peristiwa saling memaafkan itu penuh keikhlasan dan disaksikan Allah SWT, Tuhan kita Yang Maha Esa, kata suami W. Kemala Dewi itu. Abu menyepakati penilaian Gus Dur, silaturahmi itu memang harus dicapai. Bersatu itu lebih benar dari pada berselisih, kata ayah Monong Gahela, Rachmat Utama, Pintanova, dan Miko Budi Satria itu. Persatuan dan kesatuan dalam organisasi sebesar NU, merupakan akar persatuan nasional. Perpecahan di tubuh NU pasti berdampak pada persatuan nasional. Silaturahmi itu yang bermakna konsolidasi itu, menurut Abu, didukung tidak hanya oleh warga NU. Tanggapan positif dari pemimpin umat Islam dan non-Islam serta pakar politik terlihat di berbagai media massa. Tetapi... Tetapi, kata penyuka olahraga golf itu, silaturahmi tersebut tidak dapat langsung diartikan, ia sudah berdiri satu barisan dengan NU yang kini dipimpin Gus Dur. Silaturahmi itu memang menuntaskan masalah pribadi mereka. Tetapi masalah keorganisasian belum dibicarakan pada kesempatan itu. Tetapi Abu tidak menolak bergandengan tangan Gus Dur. Ia bahkan mengaku sedang menunggu. Ia kini menunggu ajakan Gus Dur ke Jawa Timur -- berkaitan pada 2 dan 15 Maret nanti, NU akan memperingati 1.000 hari meninggalnya ibunda Gus Dur, sekaligus menggelar konferensi besar (konbes). Abu mengaku siap diajak Gus Dur berziarah ke makam KH Hasyim Ashari dan makam Sunan Ampel untuk melakukan tahlilan. Ia siap terlibat dalam tradisi NU itu. Menurut Abu, konsentrasi acara NU nanti banyak terpusat di kampung Gus Dur, Jombang, selain di Malang. Pada acara itu, Abu menginformasikan secara hati-hati, mungkin akan ada menteri yang datang. NU itu demokratis, kata Abu. Maka dalam muktamar berikut tidak tertutup kemungkinan, ia mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum PBNU. NU membutuhkan orang terbaik, kata anak pedagang kopi, gambir dan tembakau itu. Secara organisatoris, pemilihan orang terbaik NU ditentukan jamaah NU. Tetapi dalam waktu dekat ini, NU tidak mungkin menggelar muktamar untuk menyatukan persepsi yang beberapa waktu lalu terpecah-belah. Tetapi persatuan itu dapat dilakukan lewat musyawarah atau konbes untuk menyatukan kehendak setiap warga NU, kata kontraktor dan konsultan berbagai perusahaan itu. Silaturahmi itu, dalam persepsi Abu, tidak berkaitan dengan kondisi aktual NU belakangan ini. Silaturahmi itu tidak dibuat untuk mengantisipasi isu adanya Operasi Naga Hijau yang mencoba menggembosi NU. Abu bahkan mengaku sama sekali tidak mengetahui kebenaran isu tersebut. Yang jelas, katanya, silaturahmi itu dilakukan karena hubungan pertemanan. "Gus Dur itu teman saya, yang punya niat bekerja sama dengan saya sebaik-baiknya. Kami bersepakat. Itu pikiran kami berdua," kata Abu. NU organisasi besar yang memiliki pengurus. Penguruslah yang secara bersama-sama dapat menjelaskan kondisi NU saat ini, kata Abu. Posisi NU di tengah masyarakat Indonesia, umat Islam secara khusus, tidak dapat tidak ikut ditentukan oleh jumlah umat NU yang mencapai 54 juta orang, kata Abu. Terlalu naif jika ada pihak mengatakan jumlah itu tidak berarti apa-apa. Jumlah itu sangat strategis dalam Pemilu dan proses pembangunan. Secara individual atau organisatoris, menurut Abu, NU merupakan potensi kekuatan ekonomi yang dapat menyumbangkan partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Tetapi, Abu segera mengingatkan, NU tidak ikut dalam politik praktis. Sudah cukup ada tiga OPP (organisasi peserta Pemilu). NU tidak ikut campur dalam urusan itu, katanya. Tetapi setiap warga NU memiliki hak menentukan sikap dan pilihan politik. Organisasi NU tidak memanfaaatkan jumlah warga NU sebagai alat politik. Tetapi adalah juga hak warga NU, jika mereka sepaham dengan para pemimpinnya saat menunaikan hak dan kewajiban politis sebagai warga negara, kata Abu. "Sikap demokratis NU bisa dilihat dengan keterlibatan beberapa pemimpin NU di ketiga OPP. NU mandiri dalam percaturan sosial-politis bangsa Indonesia. Juga berani. Maka biasa jika organisasi besar yang mandiri dan berani sering terkena gebukan, karena juga diperebutkan sana-sini," Abu berargumentasi. Aneh Abu mengaku kurang jelas memahami definisi aktual tentang Islam kultural dan Islam struktural. Yang pasti, menurut Abu, NU menyadari posisinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman. Warga NU memahami kerukunan beragama seperti yang diamanatkan Pancasila. NU menerima Pancasila lebih dulu dari ormas lain. Islam yang dipahami NU, menurut Abu, menghargai kerukunan beragama dan menghormati pemerintahan yang sah. Islam sendiri, menurut Abu, tidak mengajarkan perseteruan dengan umat lain. Hanya jika umat Islam dihambat atau tidak diizinkan beribadah, mereka dapat menentang pemerintah. Itu sebabnya, Abu menyatakan sangat tidak setuju dengan berbagai kerusuhan yang terjadi belakangan ini. Ia menyebutkannya sebagai makar. Ia sangat prihatin melihat banyak gereja dan sarana umum lain dirusak dan dibakar. Ia menganggap aneh jika umat Islam Indonesia menganiaya dan mengintimidasi umat lain. Umat Islam, katanya, memiliki keleluasan beribadah di Indonesia, sama sekali tidak perlu merasa terancam. Bagi Abu, setiap agama memiliki tujuan positif menurut rukun agama masing-ma-sing. Maka setiap umat harus saling menghormati dan tidak saling memaksa. Islam melarang umatnya mencaci-maki ketuhanan kepercayaan lain karena akan mendapat perlakuan serupa. Itu sabda Allah SWT dalam Al'quran, kata Abu. Bagi umat Islam Indonesia, toleransi beragama itu dikuatkan dengan kesepakatan bersama memilih Pancasila sebagai asas tunggal, Abu mengingatkan. Abu menduga ada pihak yang memanfaatkan posisi Islam di Indonesia untuk kepentingan tertentu. Itu tidak boleh, tidak Pancasilais, katanya. Setiap umat harus memelihara kondisi rukun beragama. Bangsa kita majemuk, itu harus dihargai. Nabi Muhammad tidak pernah melakukan perang agama. Beliau sendiri, menurut Abu, berutang pada orang Nasrani. NU dan Muhammadiyah tidak memiliki perbedaan, kata Abu mengenai hubungan kedua ormas Islam itu. Keduanya Islam. NU berhubungan baik dengan KH Hasan Basri, ketua MUI, warga Muhammadiyah. Atau dengan beberapa menteri yang dari Muhammadiyah, kata Abu mengajukan bukti. Rukun beragama, menurut Abu, mencakup kerukunan intern. Keislaman seseorang pun dinilai belum lengkap tanpa disertai keimanan terhadap nabi-nabi sebelum Muhammad SAW. Itu juga menjadi dasar kerukunan beragama. Membangun PPP NU adalah bagian terbesar yang membangun Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kata Abu mengenai hubungan NU dan organisasi politik bergambar bintang itu. Abu merujuk sosok Idham Chalid, yang dinilainya telah membesarkan PPP. Hingga sekarang banyak warga NU mendukung PPP. Kini, menurut Abu, pendukung PPP terbanyak berasal dari Muslimin Indonesia, organisasi yang sebelumnya dipimpin ketua umum DPP PPP, Is- mail Hassan Metareum, SH. Menurut mantan kepala Sekretariat Daerah Jambi tahun 1957-1960 itu, Indonesia tidak bisa dijadikan negara berasaskan Islam. Akan sangat berbahaya, katanya yakin. Itu sebabnya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengubah rumusan 'Ketuhanan Yang Maha Esa Berdasarkan Syariat-syariatnya' dalam Piagam Jakarta. Rakyat Indonesia tidak hanya beragama Islam. Maka Pancasila merumuskan ulang sikap religius rakyat Indonesia dengan sila 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Indonesia dimerdekakan dan dibangun umat semua agama. Keberhasilan pembangunan itu hanya dimungkinkan jika masing-masing umat beragama bekerja sama, kata Abu. Adanya kelompok mayoritas dan minoritas merupakan fakta. Setiap kelompok, entah kelompok politis atau agama, tentu berusaha mempertahankan posisi sebagai mayoritas. Tetapi pihak mayoritas jangan mengabaikan pihak minoritas. Jika kita mempertajam posisi antara yang mayoritas dan minoritas, apalagi melakukan pemisahan, perpecahan sebagai bangsa tidak terhindarkan lagi, Abu kembali mengingatkan. -YI -M/Don Hasman