Kompas Online Kamis, 10 April 1997 Gus Dur Kembali Menegaskan Mbak Tutut Figur Masa Depan Yogyakarta, Kompas Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) KH Abdurrahman Wahid kembali membuat pernyataan menarik tentang Mbak Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana -Red). Gus Dur - panggilan akrab Abdurrahman Wahid - mengatakan, bagi warga NU, termasuk massa NU di tingkat bawah, sangat jelas bahwa Mbak Tutut adalah tokoh masa depan. "Orang NU itu punya trust, kepercayaan, kepada pemimpin mereka, maka selesai masalahnya. Ini sudah kita pilih, dan kita ketahui sikap, konsistensinya, dan lain-lain. Buktinya saat kami membuat (pertemuan) di Sidoarjo, 300.000 orang yang datang. Itu kan berarti mereka menerima setelah mengetahui melalui televisi, media massa, tentang apa yang terjadi di Semarang (istighotsah NU -Red) ya toh," kata Gus Dur, menjawab pertanyaan wartawan, di sela-sela acara Seminar "Perempuan", Agama dan Kesehatan Reproduksi, hari Rabu (9/4) di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta. Seminar diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LKPSM) Nahdlatul Ulama (NU), bekerja sama dengan Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) Yogyakarta, serta Dian/Interfidei Yogyakarta. Ditanya apakah maksud Gus Dur itu dapat dipahami dengan jelas oleh warga NU dan masyarakat luas, Gus Dur menuturkan, "Ah, jelas. Bahwa Mbak Tutut kita ajak ke kalangan kita supaya dikenal itu jelas bagi mereka. Jelasnya, dalam arti kita disuruh melihat apakah Mbak Tutut akan menjadi tokoh masa depan dengan berbagai kemungkinan. Kan bagus kalau kita ketahui dari sekarang. Itu dimengerti oleh mereka, dan mereka tidak goyang. Buktinya tetap saja kalau saya katakan mereka bebas memberikan suara menurut suara hati masing-masing, maka orang bertepuk tangan selapangan. Berarti kan mereka paham." Gus Dur menolak kalau dikatakan bahwa langkahnya menggandeng Mbak Tutut itu, karena khawatir NU akan terjepit dalam konstelasi sosial politik saat ini. "NU kok takut kejepit. Tidak ada apa-apa, karena sikap kita tetap. Dari tahun 1984 sampai sekarang NU tidak berubah sikap, caranya ya begitu hanya variasi pada forum-forum yang digunakan," katanya. Ditegaskan, kalau dulu ia akrab dengan Megawati dan kini dengan Tutut, itu tidak berarti NU berubah, karena ia akan tetap dekat dengan keduanya. Ada pamrih Menjawab pertanyaan, Gus Dur mengakui peristiwa istighotsah NU dan Mbak Tutut di Semarang beberapa waktu lalu sangat wajar jika didorong oleh pamrih tertentu. Itu lumrah, dan biasa karena tidak ada manusia yang tanpa pamrih. Demikian halnya Mbak Tutut dan Gus Dur. "Pamrih saya memang ada, supaya warga NU mengenal tokoh-tokoh kita yang utama, jadi bisa menyampaikan suara hati, uneg-uneg mereka. Termasuk terhadap tokoh-tokoh masa depan. Tokoh itu lain dengan pemimpin, yaitu orang yang potensial akan menjadi bermacam-macam kemungkinan. Jadi pengusaha (Mbak Tutut -Red) bisa - karena dia kan punya perusahaan banyak. Jadi tokoh kemanusiaan bisa - karena dia sudah jadi Ketua Umum PMI. Mau jadi (pembina) ekonomi kerakyatan juga bisa karena dia juga Ketua Dewan Kerajinan Nasional. Atau mau jadi politisi pun bisa karena dia Ketua DPP Golkar. Mau masuk birokrasi lewat departemen dan jadi menteri juga bisa. Berbagai kemungkinan itu bisa dia ambil, dan itu urusan dia, bukan urusan NU gitu lho. Di masing-masing bidang yang dia pilih itu, namanya menjadi tokoh," katanya. Penyebutan Mbak Tutut sebagai tokoh masa depan oleh Gus Dur, menurut Gus Dur karena Mbak Tutut saat ini memang seorang tokoh. "Nah (dia) mau jadi apa, itu urusan dia nanti. Bukan kita yang memroses," kata Gus Dur. Tak gembosi PPP Pertemuannya dengan Mbak Tutut, demikian Gus Dur, sebenarnya merupakan tawaran undangan sejak dua tahun lalu, dan telah disosialisasikannya ke mana-mana, serta diketahui massa NU, menyusul "keakraban" Gus Dur dengan Megawati Soekarnoputri. Namun bahwa jawaban itu baru diberikan pada tahun ini - dan kebetulan menjelang Pemilu - menurut Gus Dur itu merupakan bukti bagaimana Mbak Tutut pandai mengambil momentum, namun di sisi lain langkah itu tidak ada hubungannya dengan masalah mendukung atau mengembosi PPP. Meski demikian, tidak berarti sekarang Gus Dur berseberangan dengan PPP, demikian pula terhadap Golkar dan PDI. Gus Dur menegaskan kedekatannya pada semua pihak, pada dasarnya merupakan keinginan NU untuk menopang perkembangan lembaga-lembaga politik di Indonesia agar diberi akses kepada masyarakat, karena akan menyehatkan masyarakat dan lembaga politik bersangkutan. (hrd)