Harian Umum Pikiran Rakyat Kamis, 10 April 1997 Gus Dur: “Penting Dilakukan Reinterpretasi Nilai Agama” Kesenjangan Sikap Keberagamaan YOGYAKARTA, (PR).- KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, sikap keberagamaan masyarakat kita, mengalami kesenjangan. Pemeluk agama me- rasakan kerisauan yang cukup mendalam tentang ancaman perusakan nilai- nilai agama, sementara apa yang dikhawatirkan tidak seniscaya dalam kenyataannya. Ketua Umum PB NU itu mencontohkan kasus di Amerika tentang seorang anak menolak orangtua kandung. Si anak mengajukan penolakannya ke pengadilan, didukung oleh pengacara-pengacara senior yang menganut paham tentang kebebasan hak-hak sipil (human civil of liberation). Kemudian masyarakat kita mengkawatirkan pula, hubungan seksual di luar nikah dan lahirnya anak tak diinginkan. Di mata Gus Dur kerusakan nilai-nilai agama di Indonesia belum separah yang dibayangkan pemeluknya. “Tetapi kenyataannya, kekhawatiran masuknya unsur-unsur perusak nilai-nilai agama, kita rasakan demikian besar,” ujarnya dalam presentasi di tengah Seminar Perempuan, Agama dan Kesehatan Reproduksi di Yogyakarta, Rabu (9/4). Implikasi kesenjangan tersebut, adalah maraknya sikap formalisme beragama. Gus Dur menyebut simbol-simbol keberagamaan menjadi sangat menonjol, dan menjadi legitimasi peran. “Wanita dipandang representasi mewakili Islam apabila yang bersangkutan berjilbab. Demikian halnya dengan wanita-wanita yang duduk di legislatif misalnya,” ujarnya mencontohkan. Di balik kenyataan sikap tersebut, tumbuh sekat-sekat yang diinstitusional- kan yang akhirnya menjadi penghalang tumbuhnya perkembangan pemikiran keagamaan. Gus Dur kembali memberikan kasus masalah perbudakan dan pembantu rumah tangga. Dalam berbagai kesempatan, pemeluk Islam secara apologis menentang konsepsi perbudakan dalam Islam. “Islam tidak mengenal perbu- dakan,” kata Gus Dur mengutip pernyataan pendakwah. Tetapi secara tekstual, jelasnya, masalah tersebut sebenarnya menjadi kenyataan. Demikian halnya dengan wanita pembantu rumah tangga. Kalangan wanita sendiri tidak pernah secara detail dan objektif mengkaji masalah ini dalam perspek- tif agama karena memiliki kepentingan. Reinterpretasi Dalam kondisi sikap keberagamaan yang formalistik, Gus Dur menekankan kem- bali pentingnya peran reinterpretasi nilai-nilai agama tertentu. Bagaimana masalah perbudakan dan wanita pembantu rumah tangga, justru menjadi sarana mengangkat harkat dan martabat wanita, memerlukan pemikiran interpretatif nilai-nilai menyangkut masalah wanita. Kesadaran reinterpretasi ini seba- gai kenyataan sesuai dinamika tuntutan kultur dan keadilan. Tetapi Gus Dur menyadari, reinterpretasi dalam kasus negeri kita, mengalami hambatan institusionalisasi tadi. “Institusionalisasi praktek keberagamaan, cukup menghalangi dinamika pemikiran Islam karena penguasa yang berkepentingan cenderung memilih status quo dan terjadi pemikiran sektoral dalam menyele- saikan persoalan,” ungkapnya. Gus Dur mengambil contoh tradisi penganut Madzab Syafiiyah di Pakistan misalnya. Sesuai ketentuan madzab ini, di Pakistan berlaku semacam kesepa- katan tidak tertulis, Presiden dari kalangan wanita boleh saja, tetapi jabatan qadli (hakim) harus di tangan laki-laki. Apa yang terjadi di balik kasus ini, karena hakim memiliki kekuasaan besar melebihi jabatan Presiden. Gus Dur memandang model-model pemikiran keagamaan demikian, tidak sesuai lagi dengan tuntutan keadilan sehingga memerlukan reinterpretasi agar tidak terjadi kekhawatiran yang berlebihan tentang kemungkinan nilai-nilai keberagamaan rusak oleh desakan zaman dan situasi.