Kompas Online, Sabtu, 5 April 1997 KH Abdurrahman Wahid: Tidak Ada Tawar-menawar Tertentu dengan Mbak Tutut Jakarta, Kompas Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid mengatakan, terlalu naif jika mereka yang menilai kedekatannya dengan Ny Siti Hardiyanti Rukmana akhir-akhir ini, berdasarkan tawar-menawar (bargaining) tertentu. Gus Dur juga menegaskan, ia tetap akan menyampaikan pandangan kritisnya terhadap kebijakan pemerintah seperti selama ini dilakukan. Gus Dur menyampaikan hal tersebut kepada wartawan yang menghubunginya di Kantor PBNU, Jumat (4/4). Pers meminta penjelasannya mengenai kegiatannya dengan Mbak Tutut akhir-akhir ini mulai dari pertemuannya di Departeman Agama (7/2) serta silaturahmi dan istighotsah di depan ribuan warga NU di Semarang (31/3) dan Sidoardjo (3/4). Mereka juga akan mengadakan acara serupa di Madiun (12/4) serta di Kebumen (20/4). Menurut Gus Dur, peranan Mbak Tutut makin besar dan Pak Harto telah menyiapkan putra-putrinya untuk meneruskan pengabdiannya. “Ya, kita respons. Warga NU supaya tahu, dan mereka juga supaya tahu warga NU," katanya. Berikut petikan wawancara Gus Dur dengan wartawan sekitar "kedekatannya” dengan Mbak Tutut: Selama ini Anda dikenal kritis terhadap pemerintah kok sekarang terkesan lain? Ya. Kalau policy pemerintah itu biasa kita kritis. Jika ada kekurangannya ya kita kritik dengan alternatif (pemecahannya). Saya tidak pernah kritis kepada keluarga Pak Harto. Saya bisa melihat dahsyatnya dampak dari sikap menjelek-jelekan Bung Karno. Saya hati-hati sekali, tidak pernah ngata- ngatain keluarga dan pribadi Pak Harto. Masyarakat menilai, Gus Dur “pendekar demokrasi” itu sekarang dekat dengan pemerintah? Apakah jika kita memperjuangkan demokrasi lantas berarti konfrontasi dengan pemerintah? Kan, tidak. Kita pun bisa kritis tanpa konfrontasi. Saya akan tetap kritis. Mengapa baru menjelang pemilu jalan dengan Mbak Tutut? Ya siapnya baru sekarang. Saya mengajukan tawaran sejak dua tahun lalu setelah saya ajak Mbak Mega. Cuma siapnya Mbak Tutut baru sekarang. Jadi jangan dicari-cari motifnya. Dampak politiknya bagaimana? Saya rasa kalau dimaksudkan untuk memberikan dampak politik atau mengubah peta politik, itu tidak pas. Kan bukan begitu maksudnya. Jika berdampak karena yang lain-lain bereaksi, ya itu urusan mereka. Katanya langkah Anda itu untuk mensosialisasikan Mbak Tutut yang ramai disebut-sebut akan menjadi wapres mendatang? Saya tidak melihat Mbak Tutut dalam konteks mau jadi apa. Itu terlalu naif. Karena akan timbul pertanyaan, ya kalau jadi (wapres). Kalau tidak? Ini kan hal biasa seperti saat Sarwono (Kusumaatmadja), Siswono (Yudohusodo) dan Akbar Tandjung baru mulai dalam dunia politik mereka di Golkar. Waktu itu kita undang mereka juga. Sekarang mereka telah menjadi menteri, jadi penggede. Yang memetik hasilnya siapa? Ya rakyat NU juga kan? Itulah maksud kita. Siapa tahu bintang-bintang baru itu akan beredar di cakrawala politik kita di kemudian hari. Dasar penilaian Mbak Tutut pemimpin masa depan itu apa? Saya tidak bilang pemimpin, tetapi tokoh masa depan. Apakah dia menjadi pemimpin organisasi, pengusaha, ilmuwan atau pejabat, itu terserah. Nanti berkembang lebih jauh. Apa hanya Mbak Tutut saja tokoh masa depan itu? Lha yang lain sudah diberi kesempatan. Mega, Sarwono, Siswono, Akbar Tandjung. Ya, tidak fair jika hanya persoalkan Mbak Tutut saja. Ada tawaran apa dari Mbak Tutut atau pemerintah? Kita tidak minta kompensasi apa-apa. Kalau sekarang kan aneh, DCT (Daftar Calon Tetap) sudah tutup. Kita tidak melakukan tawar-menawar apa pun dan atas dasar apa pun. Saya rasa naif jika dari sekarang bicara soal itu. Hasil pemilu saja belum tahu. Ambil misal sekarang Golkar mendapat suara 50 persen. Yang disalahkan Mbak Tutut. Mengapa? Ya karena dia yang ambil over peranan di Golkar. Peranan yang menonjol di Golkar kan peranan dia. Kalau gagal, dia disalahkan. Jika Anda melakukan bargain dengan orang yang posisi seperti itu, kan keliru. Katanya itu upaya akomodasi NU untuk masuk ke kabinet kepemimpinan yang akan datang? Lha, yang nyusun kabinet siapa? Belum tahu kan? Kita tidak ada niat apa- apa dan tidak ada kerugian apa-apa bagi NU. Sekali lagi, saya rasa itu naif. Persaingan merebut kepemimpinan itu kan belum jelas akan ke mana. Mengapa kita sudah pegang ambil satu pihak. Itu kan salah. Menurut saya, yang menarik adalah munculnya tokoh-tokoh baru. Kepada mereka kita beri kesempatan tampil kepada masyarakat. Masyarakat NU juga perlu lihat tokoh- tokoh yang bermunculan. Tetapi Anda sadar tidak, ada dampak politiknya? Kita jangan bicara Mbak Tutut sebagai pemimpin. Sekarang kita bicara bin- tang yang sedang menanjak, tetapi kita belum tahu sampai di mana menan- jaknya. Jadi tidak bisa disebut memberi dampak apa-apa... Tanggapan warga NU sendiri bagaimana? Buktinya mereka pada datang. Soal ada yang menolak, ya boleh saja. Tetapi nyatanya penuh kan. Artinya di NU itu ada perberbedaan pendapat soal langkah Anda? Nggak, nggak apa-apa ada perbedaan pendapat, di NU mah sudah biasa perbe- daan pendapat. Anda mau tahu yang menolak? Bukan hanya Generasi Muda NU (GMNU) Jombang, PCNU Bangkalan juga menolak. Bahkan PWNU Yogya juga menolak mengadakan acara dengan Mbak Tutut. Ya sudah, kita tawarin kepada yang mau. Nyatanya, masih banyak yang mau. Karena apa? Karena kiai-kiai itu ber- pikir sehat, balanced. Mereka yang menolak itu mengapa? Mereka takut sendiri. Takut NU disimpangkan. Itu wajar saja. Mungkin ada hubungannya dengan Khittah 1926? Khittah itu kan komitmen terhadap ahlul sunnah wal jamaah. Atas dasar itu kita melepaskan diri dan tidak terikat dari orsospol mana pun. Katanya kalangan prodemokrasi pada bingung dengan langkah Anda? Orang yang memperjuangkan demokrasi itu kan pendekatan, strategi, cara dan jalan pikirannya macam-macam. Jadi wajar jika ada yang tidak setuju. Saya rasa mereka semua dewasa, pada waktunya akan ada kejelasan.(ush)