SUARA MERDEKA Rabu, 2 April 1997 KARANGAN KHAS Silaturahmi dan Istighotsah Kubro NU Oleh Zamhuri DI lapangan Pancasila Simpang Lima, Semarang, belum lama ini NU menggelar kegiatan yang diberi nama Silaturahmi dan Istighotsah Akbar. Kegiatan itu tentu tidak lepas dari situasi menjelang pemilu mendatang. Karena NU hampir melakukan kegiatan pengerahan massa pendukungnya setiap menjelang pemilu. Pada Februari 1992 NU menggelar rapat akbar di parkir Senayan Timur Jakarta dan dihadiri ratusan ribu orang. Sebagaimana janji Gus Dur pada Mbak Tutut sebelumnya, kesempatan untuk menarik simpati dan merayu warga NU untuk mengikuti jejak Mbak Tutut. Semula Gus Dur akan merencanakan rapat akbar bersama Mbak Tutut, namun perhelatan tersebut diubah menjadi silaturahmi dan istighotsah akbar. Tentu dengan berbagai pertimbangan dengan perkembangan politik belakangan ini. Terutama pengalaman situasi kerusuhan di Pekalongan yang dikhawatirkan akan melebar di daerah lain. Maka, walaupun acaranya khusus untuk menjamu Mbak Tutut sebagai Ketua DPP Golkar, atribut dan simbol OPP terbesar tersebut tidak diperkenankan dipakai pada perhelatan ini. Hal ini untuk menjaga perasaan warga NU yang bukan anggota Golkar. Kegiatan ini karena Jam'iyyah Nahdliyyah sebagai organisasi yang mempunyai massa puluhan juta tersebut, merasa perlu untuk menentukan sikapnya menjelang Pemilu Mei mendatang. Sikap ini penting, agar warga NU tidak terjebak pada pola dan situasi politik yang akan merugikan dirinya. Kegiatan silaturahmi dan istighotsah (doa bersama) akbar, selain untuk berkenalan kepada Mbak Tutut, juga sebagai kegiatan mendekatkan diri pada Tuhan agar terhindar dari bahaya. Istighotsah artinya mohon pertolongan Allah. Permohonan ini biasanya dilakukan sebagai pencerminan keprihatinan yang mendalam atas berbagai penyimpangan dan kemerosotan akhlak yang telah melanda masyarakat. Dalam istighotsah, para warga NU membaca doa-doa yang berisi permohonan keselamatan negara dan bangsa Indonesia agar tidak diliputi kejahatan dan kemaksiatan. Jika diamati kegiatan ini mempunyai makna ganda sekaligus. Pertama, sebagai kegiatan untuk mengadakan koreksi dan instrospeksi perjalanan hidup yang dijalani oleh bangsa Indonesia. Kegiatan yang dilakukan secara khas oleh warga NU ini merupakan sikap yang teguh atas kepedulian warga NU terhadap bangsa Indonesia. Itu karena telah menjadi garis pengkhidmatan warga nahdliyyin sebagai penjaga otoritas masalah keagamaan. Kedua, merupakan tindakan untuk memohon perlindungan dan petunjuk kepada Allah SWT, agar bangsa Indonesia khususnya warga NU mendapatkan keselamatan. Apalagi bangsa Indonesia pada tahun 1997 akan menghadapi pekerjaan yang besar yaitu pemilihan umum (pemilu). Permohonan doa yang dilakukan oleh warga NU ini amat tepat, supaya hajat bangsa tersebut dapat sukses dengan mengharapkan risiko sekecil mungkin. Karakter Organisasi Sikap dan tindakan warga NU ini merupakan kegiatan yang telah melembaga, yang merupakan pencerminan dari tradisi yang hidup di kalangan warga NU. Tindakan ini merupakan pencerminan dari watak dan karakter masyarakat NU yang sangat concern terhadap problem-problem sosial-kemasyarakatan. Di samping telah digariskan secara organisatoris oleh NU. Setidak-tidaknya secara organisatoris ada beberapa karakter yang dimiliki oleh warga NU yang dijabarkan dalam sikap kemasyarakatannya. Pertama, tawasuth yaitu sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Sikap demikian membawa masyarakat NU tidak mudah untuk terbujuk oleh godaan-godaan yang sifatnya sesaat. Sehingga warga NU relatif bisa independen dan mandiri. Kedua, tasamuh yaitu sikap tole ran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan maupun dalam masalah sosial kemasyarakatan. Sikap teloran yang dimiliki oleh warga NU ditunjukkan dengan sikap elastisitas dan fleksibelitas berpikir tanpa mengurangi prinsip-prinsip dasar Islam. Perbedaan dalam menyikapi setiap persoalan terilustrasi dalam forum-forum halaqoh (diskusi) yang dilakukan di kalangan pesantren, batsul masail serta forum-forum lain yang diadakan oleh NU. KH Ahmad Sidiq menggambarkan sikap sosial warga NU ini didasarkan atas watak kehati-hatian, tidak mudah menempatkan suatu pihak sebagai lawan hanya karena berbeda pendapat secara keras. Ketiga, tawazun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmat. Menyerasikan khidmat kepada Allah SWT, kepada sesama manusia, serta kepada lingkungan hidupnya. Juga menyeimbangkan persoalan-persoalan dan kepentingan yang memiliki dimensi masa lalu, sekarang, dan masa depan. Sikap dan pandangan warga NU tidak hanya mementingkan segi eskatologis, sebagaimana kritikan yang dilakukan oleh beberapa pihak bahwa NU hanya bisa mengurusi persoalan akhirat, tetapi juga mementingkan dari segi keprofanan. Keempat, amar ma'ruf nahi munkar yaitu selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta semua hal yang dapat selalu menjadi pegangan bagi warga NU, khususnya oleh elite pimpinan NU, dalam menghadapi persoalan-persoalan keumatan. Seperti yang belum lama ini dilakukan oleh ratusan ribu warga NU di Jawa Tengah dengan melakukan istighotsah akbar di Semarang. Tujuan Silaturahmi Tujuan NU dengan menggelar acara silaturahmi dengan Mbak Tutut, jika dilihat dari situasi politik NU saat ini mengandung beberapa tujuan. Pertama, dalam sikap Khittah semenjak 1984- dengan konsekuensi mengambil jarak yang sama dengan kekuatan OPP - NU melakukan keseimbangan politik. Sikap ini dapat dipahami dari selama ini Gus Dur dengan segala atributnya berdekatan dengan Mbak Mega sebagai Ketua PDI (hasil Munas). Kedekatannya dianggap beberapa kalangan sebagai tindakan Gus Dur untuk menggiring massa NU ke PDI. Walaupun bagi Gus Dur kedekatannya dengan Mbak Mega merupakan tindakan wajar sebagai seorang teman. Untuk menghilangkan kesan kecondongan dengan PDI, Gus Dur memberikan kesempatan kepada Golkar melalui Mbak Tutut untuk melakukan "kampanye'' dengan warga NU. Tentu saja kesempatan untuk melakukan "penguningan'' ini disambut oleh Golkar. Sampai menjelang Pemilu 29 Mei mendatang, menurut rencana minimal 6 kali pertemuan yang akan digelar Gus Dur bersama dengan Mbak Tutut. Sementara dengan PPP, Gus Dur menganggap telah banyak disuplai oleh NU. Karena NU merupakan salah satu anggota fusi PPP. Walaupun NU tidak mempunyai ikatan organisasi dengan PPP lagi (semenjak Khittah '26), tetapi NU masih tercatat dalam "buku PPP''. Andil NU tidak sedikit dalam membesarkan partai yang kini berlambang bintang itu. Dukungan yang telah lama diberikan oleh NU sejak 1977, dianggap tidak adil jika NU masih mengandalkan PPP. Padahal PPP, Golkar, dan PDI berasaskan sama dan hanya berbeda dalam program, penampilan, lambang, dan warna. Kedua, upaya untuk mengonsolidasi organisasi, menyatukan persepsi, dan kesamaan pandangan. Konsolidasi ini terutama dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini yang secara tidak langsung melibatkan NU. Maraknya aksi kerusuhan yang terjadi di kantong-kantong NU diduga untuk menyudutkan NU. Maka NU perlu mengambil tindakan agar usaha ini tidak terulang kembali. Ketiga, untuk menunjukkan harga politik NU. Sebagai organisasi jam'iyyah diniyah yang memiliki jumlah massa puluhan juta, NU memiliki potensi dan dapat melakukan proses tawar-menawar. Perlakuan PPP dalam menggusur politikus NU dalam penyusunan daftar caleg beberapa waktu lalu dinilai meremehkan NU. Potensi politik yang tidak dihargai oleh PPP ini akan ditunjukkan oleh Gus Dur, NU masih mempunyai kekuatan untuk memengaruhi PPP. Setidak-tidaknya ancaman Gus Dur bahwa PPP akan merosot perolehan suaranya Pemilu 1997 merupakan keseriusan sikap Gus Dur. Pada saat OPP melakukan manuver untuk meraih simpati massa, NU yang mempunyai "gudang suara'' melihat peluang untuk membuktikan pada PPP. Bahwa NU (yang memiliki jutaan massa dan ribuan pesantren) merupakan organisasi yang menjadi rebutan OPP. Sehingga harga tawarnya masih tinggi. Kesempatan untuk membuktikan harga politik NU besar dan diperhitungkan, digunakan oleh Gus Dur untuk membuka kesempatan pada Mbak Tutut melakukan "penguningan'' di NU. Kesempatan yang diberikan Gus Dur kepada Golkar ini juga dimaksudkan untuk menghilangkan kesan sebenarnya Gus Dur dan NU selama ini tidak melakukan gerakan politik yang ekstrem. Kekritisannya pada penguasa merupakan sikap untuk menjaga jarak, agar NU tidak terkooptasi oleh negara dan hanyut dalam arus pemikiran negara kuat (strong state). Unjuk Gigi Kegiatan tersebut merupakan manifestasi NU memperlihatkan kemampuan dirinya dalam menggalang massa. Massa NU yang mudah digiring setiap saat ini menunjukkan NU merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang solid dan mempunyai ikatan emosi yang kuat. Potensi yang besar ini dapat digunakan NU untuk melakukan kerja sama politik pada pihak mana pun yang menguntungkan. Namun dalam dataran politik praktis posisi NU terasa dipinggirkan. Hal ini bisa dilihat dari keminiman kader terakomodasi dalam struktur politik dan kekuasaan. NU yang dimotori oleh Gus Dur mengembangkan gerakan pembaruan yang diarahkan pada dua sasaran sekaligus. Yakni pada lingkup internal dan eksternal NU, khususnya yang berkaitan dengan kondisi-kondisi pola hubungan rakyat dengan penguasa. Pada sasaran yang pertama NU mengembangkan pola pemikiran kritis di kalangan kiai dan santri ke arah hubungan yang lebih demokratis. Sikap kritis yang dikembangkan diharapkan menjadikan NU makin kritis dengan kondisi realitas yang ada. Termasuk kekritisan pada kekuasaan negara yang cenderung tampil sebagai kekuatan superior. Pada sasaran eksternal NU mengembangkan pola hubungan rakyat negara yang lebih egaliter. Konsep gerakan ini menonjolkan pada sikap independensi masyarakat. Gerakan ini secara konseptual sering disebut sebagai gerakan civil society (M AS Hikam, 1994, Doeglas E Remage, 1994). Maka tampilan NU, khususnya sepak terjang Gus Dur, selalu kritis terhadap kekuasaan. Kekritisan Gus Dur sebetulnya masih dalam batas toleransi kooperatif, sehingga bisa dikatakan sikap Gus Dur sebagai sikap kritis kooperatif. NU lebih menekankan dukungan terhadap kekuatan politik yang mampu memberikan ruang gerak masyarakat yang mandiri. Dari strategi NU inilah, dapat dipahami mengapa NU dapat bekerja sama dengan siapa saja termasuk dengan Golkar. Selain sebagai strategi untuk menaikkan posisi tawar NU, tindakan ini diasumsikan NU sedang melakukan patronase menjelang Pemilu 1997 dan Sidang Umum (SU) MPR 1998. Kita tunggu apa yang akan menjadi target NU selanjutnya.(18t) *Zamhuri, staf pada Lembaga Studi Agama dan Pembangunan (LSAP) Semarang