Media Indonesia Selasa, 1 April 1997 Khittah 1926 Diuji MINGGU lalu, di bawah terik matahari kota Semarang, sekitar 75.000 warga Nahdlatul Ulama larut dalam Istighotsah Kubro. Di akhir doa, Ketua Umum PBNNU KH. Abdurrahman Wahid dan Siti Hardiyanti Rukmana memberikan sambutan. Acara serupa juga bakal digelar besok di Sidoarjo, Jawa Timur. Kehadiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di tengah-tengah warganya merupakan hal biasa. Tetapi tampilnya Siti Hardiyanti Rukmana yang akrab dipanggil Mbak Tutut tentu banyak yang mempertanyakannya. Sejak awal panitia Istighotsah menyatakan kehadiran putri pertama Presiden Soeharto itu sebagai warga negara, bukan dalam kapasitas sebagai Ketua DPP Golkar. Namun karena event-nya menjelang Pemilu 1997, wajar kalau ada yang mengaitkan kehadiran Mbak tutut sebagai upaya mendekatkan warga NU dengan partai berlambang pohon beringin itu. Sejak awal Gus Dur telah mengumumkan ajakannya kepada Mbak Tutut untuk diperkenalkan kepada warga NU. Alasannya, demi melaksanakan isi Khittah 1926, yang menyatakan bahwa NU mengambil jarak yang sama dengan semua kekuatan politik yang ada. Jika dalam beberapa kali kesempatan sebelumnya Gus Dur sering "menggandeng" tokoh PDI Megawati Soekarnoputri ke sejumlah pesantren, maka menurut Gus Dur sudah sewajarnya dia juga memberikan kesempatan yang sama kepada tokoh Golkar, dalam hal ini Mbak Tutut. Lebih artikulatif, dalam kesempatan memberikan sambutan pada acara Istighotsah di Semarang dua hari lalu, Gus Dur menyatakan dirinya sengaja membawa Mbak Tutut untuk diperkenalkan kepada warga NU karena Mbak Tutut dinilainya sebagai pemimpin masa depan. Apa pun alasannya, langkah Gus Dur "menggandeng" Mbak Tutut akan menjadi perbincangan. Baik di kalangan NU maupun pengamat politik. Seperti biasa, tidak sulit bagi Ketua Umum PBNU itu untuk mencarikan argumen pembenaran langkahnya itu. Tetapi argumen apa pun yang dikemukakan Gus Dur dalam kaitan menggandeng Mbak Tutut, sangat mudah dimentahkan dengan sebuah pertanyaan sederhana: mengapa yang digandeng kini tokoh Golkar, mengapa bukan tokoh PPP? Di sini sulit disembunyikan langkah Gus Dur menggandeng Mbak Tutut adalah bagian dari strategi NU - mungkin juga Gus Dur pribadi - untuk menata massa organisasi dengan 35 juta warga itu. Kita akan memahami langkah terbaru Gus Dur ini jika menengok perjalanan NU sejak kelahirannya. Jamiyah yang pernah menjadi partai politik ini dikenal sebagai ormas yang sangat lentur dan akomodatif. Bisa jadi langkah terbaru Gus Dur ini akan dinilai orang sebagai tindakan korektif terhadap keberadaan NU - setidaknya Gus Dur pribadi - yang terkesan kurang akrab dengan kekuasaan, bahkan ada yang menilai konfrontatif. Ihwal warga NU sendiri, betapapun tradisi berdemokrasi cukup berkembang dalam organisasi ini, langkah-langkah ketua umumnya sejauh tidak menyimpang dari ketentuan fikih biasanya tidak menjadi masalah. Artinya, dibiarkan berjalan sesuai dengan obsesi-obsesi sang pemimpin. Kecemburuan dari OPP di luar Golkar, terutama PPP, barangkali sulit dihindari. Karena secara historis NU tidak dapat dipisahkan dengan kelahiran PPP. Apalagi sebagaimana diakui Gus Dur sendiri masih banyak warga NU yang merasa PPP sebagai saluran aspirasinya. Dalam konteks ini Gus Dur dipastikan akan mendapat serangan dan cercaan dari tokoh-tokoh partai bintang tersebut. Paling tidak akan muncul pertanyaan khas NU: "Ila aina Khittah An Nahdliyah?" (Mau dibawa ke mana Khittah An Nahdliyah?). Di sini Khittah 1926 tengah diuji, mampukah tegak di tengah godaan politis sesaat? (Ias)