Gatra, Nomor 15/III, 1 Maret 1997 NU Rujuknya Musuh Bebuyutan Abu Hasan dan Gus Dur, dua Ketua Umum PBNU yang sama-sama merasa legal, rujuk. ABDURRAHMAN Wahid melanjutkan safari "silaturahmi" ke titik-titik yang dulu menjauhinya. Gus Dur -panggilan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu- bertandang ke kediaman Abu Hasan, di sebuah sudut Jakarta Selatan, Kamis tengah malam pekan lalu. Kunjungan tengah malam itu mengagetkan banyak orang, karena selama ini keduanya berseteru. Abu Hasan adalah rival berat Gus Dur dalam Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, akhir Desember 1994. Waktu itu Abu Hasan, yang kabarnya didukung Kassospol ABRI Letnan Jenderal R. Hartono (Kasad sekarang), memang kalah. Tapi ia merasa dicurangi Gus Dur, lalu membentuk Koordinasi Pengurus Pusat Nahdlatul Ulama (KPPNU), yang belakangan menjadi PBNU tandingan. Ia juga menggugat Gus Dur ke pengadilan. Menurut Abu, inisiatif pertemuan itu datang dari kubu Gus Dur. "Ia mengirim utusan yang membawa pesan bahwa Gus Dur ingin berkunjung ke rumah saya. Sebagai orang Islam, tentu saya senang saja. Bukankah Islam memerintahkan kita harus selalu menyambung tali silaturahmi," kata Abu. Pertemuan pun berlangsung. Tak banyak yang datang. Selain Abu dan keluarga, cuma ada Gus Dur. "Kini kami sudah saling memaafkan," Abu melanjutkan seraya menegaskan bahwa semua bentuk perseteruan mereka tak ada lagi. Seperti biasa, ada saja bumbu penyedap di balik motivasi religius itu. Karena Gus Dur sudah akrab dengan Kasad Jenderal R. Hartono dan Abu pernah dikabarkan didukung Hartono, maka pertemuan itu tak lepas dari campur tangan Hartono. "Ah... tak ada itu. Saya cuma menerima uluran tangan dari Gus Dur," Abu membantah. Yang pasti, menurut Abu, pertemuan itu baru merupakan awal rekonsiliasi. Di hari selanjutnya mereka akan mengakrabkan diri agar tak bercerai lagi. "Sekarang tak ada lagi dua PBNU. Keduanya akan menyatu. Saya yakin pendukung saya setuju, dan Gus Dur akan mengakomodasi aspirasi mereka," ujar Abu, yang mengaku tak mengajukan syarat apa-apa pada Gus Dur. Padahal dulu ia hanya bersedia rujuk bila menjadi orang nomor dua di PBNU. Sebaliknya, seperti terlihat di televisi pekan lalu, Gus Dur tampak gembira. Ia bersyukur warga NU bersatu kembali, dan berjanji akan menjaga keutuhan itu. Yang belum jelas, apakah ia mengakomodasikan para pendukung Abu dalam kepengurusan PBNU. "Itu perlu dibahas dalam rapat," kata Ahmad Bagdja, Sekretaris Jenderal PBNU versi Gus Dur. Gus Dur dan Abu Hasan atau Gus Dur dan Jenderal Hartono, sesuai dengan pengakuan mereka, tampaknya memang rujuk. Dalam kacamata politik, ini memberi nilai plus buat Gus Dur. Posisinya -paling tidak di NU- tentu akan makin kuat bila Presiden Soeharto menerimanya selaku Ketua Umum PBNU. Ini yang belum jelas. Bayang-bayang "kerenggangan" Gus Dur dengan Presiden Soeharto terus melayang di blantika politik Indonesia. Sebabnya, antara lain, Gus Dur pernah melecehkan Pak Harto dalam buku Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Adalah fakta bahwa Gus Dur telah bersalaman dengan Pak Harto, yakni ketika Kepala Negara membuka Musyawarah Kerja Nasional Rabitthah Ma'ahid Islamiyah (RMI) -persatuan pesantren-pesantren NU- di Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Jawa Timur, November tahun lalu. Setelah peristiwa itu, semula ada pengamat politik yang membayangkan, Gus Dur selaku Ketua Umum PBNU akan diterima Presiden selaku Kepala Negara. Sebab menurut kebiasaan politik di Indonesia, pengurus baru organisasi semacam NU dan Muhammadiyah merasa "benar-benar sah" apabila sudah beraudiensi dengan Presiden. Analisis diperkuat dengan pertemuan Gus Dur dan Mbak Tutut (putri sulung Presiden) dalam acara Muslimat NU, minggu pertama Februari lalu di Jakarta. Waktu itu Mbak Tutut menyatakan bersedia membantu pembangunan gedung Pusdiklat Muslimat NU yang terbengkalai. Gus Dur datang bersama Menteri Agama Tarmizi Taher. Tapi sampai sekarang, analisis itu belum terbukti. Pengurus Pusat Muhammadiyah yang tersusun lebih kemudian ketimbang PBNU sudah bertemu Presiden. Artinya, pertemuan Gus Dur dengan Pak Harto di Genggong belum membawa berkah politis. "Pak Harto datang ke sini untuk bertemu dengan semua orang. Tak ada pesan khusus dari Pak Harto, misalnya saya akan diterima di Istana Negara," kata Gus Dur waktu itu. Kesan bahwa hubungan Gus Dur dengan Presiden masih berjarak muncul lagi pada pertengahan Januari lalu. Waktu itu pengurus Induk Koperasi Pondok Pesantren (Inkopontren) bertatap muka dengan Presiden di Istana Negara. Hadir di antaranya KH Ilyas Ruchiyat, Rais Am NU. Gus Dur tak ada. Dan bisik-bisik mengatakan, namanya dicoret dari daftar. "Itu embusan kabar yang tak benar. Nggak ada yang nyoret nama Gus Dur," ujar KH Muhammad Hasan Al-Mutawakkil 'Alallah, Ketua Pusat Koperasi Pondok Pesantren (Puskopontren) Jawa Timur. "Pertemuan itu hanya antara Presiden dan pengurus Inkopontren, bukan dengan PBNU. Dan kehadiran KH Ilyas mewakili Puskopontren Cipasung, bukan sebagai Rais Am," KH Muhammad Hasan menambahkan. Sementara itu pertemuan Gus Dur dengan Mbak Tutut juga masih tanda tanya. Ketika datang ke Muslimat NU, kabarnya Mbak Tutut tak tahu bahwa Gus Dur akan datang. Menurut Nyonya Aisyah Hamid, Ketua Umum Muslimat NU, pihaknya memang tak mengundang Gus Dur. "Ia datang bersama Menteri Agama Tarmizi Taher," kata Aisyah. Belakangan berembus cerita bahwa yang membantu pembangunan gedung Pusdiklat Muslimat NU itu adalah Menteri Agama, bukan Mbak Tutut. Dana itu diambil dari dana haji yang ada di Departemen Agama. Nyonya Aisyah merasa belum mendengar cerita itu. Yang tahu tentunya Mbak Tutut dan Tarmizi Taher. Tapi keduanya sulit dihubungi. Priyono B. Sumbogo, Nur Hidayat, dan Mauluddin Anwar