Subject: Suara INDEPENDEN, No. 5/III/MARET/1997 VISI: Ulil Abshar Abdala: "NEGARA JUSTRU ARAHKAN SENTIMEN ANTARAGAMA" Ulil Abshar-Abdalla, lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 11 Januari 1967. Menyelesaikan pendidikan di Pesantren Mathali'ul Falah, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Menamatkan pendidikan di Fakultas Syari'ah di LIPIA (Lembaga Pendidikan Islam dan Arab) Jakarta. Sekarang bekerja di Lakpesdam NU (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama) Jakarta, serta staf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta. Bersama Muslim Abdurrahman dan Mohamad Sobary, ia menggelar acara lebaran dengan tema sekuler "Membudayakan Kehidupan Demokrasi." Berikut petikan wawancara Suara Independen dengan intelektual muda Islam itu. Apa latar belakang diadakannya lebaran dengan tema "Membudaya- kan Kehdiupan Demokrasi" itu, dan apa sasaran atau tujuannya? Acara 7 Maret itu adalah hasil perbincangan tak resmi teman- teman dari latar-belakang kultur, kelompok dan agama yang selama ini bergulat dengan ide demokratisasi dan penegakan hak asasi manusia. Kemudian kami merasa terpanggil untuk memanfaatkan event-event agama atau secara tidak langsung berkaitan dengan agama seperti Halal Bihalal untuk menyebarkan pengertian atau dalam kata lain penyadaran kepada publik mengenai isu demokratis- asi. Dalam kerangka itu, kami memberi topik acara tsb, "Membuda- yakan Kehidupan Demokrasi." Itu yang pertama. Inginnya kami memanfaatkan event-event agama itu, kita isi dengan "isu-isu yang sekuler." Supaya terjadi kontak antara isu-isu sekuler ini dengan ritus-ritus agama yang selama ini kita adakan. Selama ini kan agama kesannya di satu tempat dan isu-isu yang sifatnya lebih umum menyangkut kepentingan publik di tempat yang lain lagi. Kalau itu tak nyambung menurut saya kurang baik, karena agama itu di kalangan masyarakat Indonesia _terutama di kalangan masyarakat Islam_ memiliki daya panggil (appeal) yang sangat tinggi, dan kalau kita bisa menggunakan event-event agama dengan diisi isu-isu seperti itu akan sangat baik. Seperti bagai- mana pemerintah menggunakan agama untuk kepentingan mereka, masyarakat juga bisa menggunakan agama untuk penyebaran kepentin- gan-kepentingan beberapa isu penting. Itu salah satu asumsi yang mendasari pelaksanaan acara. Ada alasan lain, kenapa waktunya dekat dengan sejumlah kerusuhan? Ketika terjadi situasi yang kisruh, ada kecenderungan, ada model, tipe, atau retorika politik yang muncul dari kalangan birokrat yaitu cenderung mengemukakan suatu kecurigaan, meyebar- kan rasa was-was yang mencurigai kelompok-kelompok lain dan tidak menghimbau kepada rasa persatuan. Jadi mereka tidak berusaha mempersatukan bangsa ini tapi justru malah menyebarkan rasa kebencian, dan rasa saling mencurigai, kami menyebutnya suud- zonisme yang berbahaya. Dan itu justru dilakukan oleh kalangan pemimpin politik resmi, birokrat-birokrat negara yang mestinya mereka mempunyai wewenang penuh, otoritas yang paling abstrak untuk menyerukan himbauan persatuan kok malah lain. Justru kita mengisi kekosongan itu dengan menyebarkan him- bauan akan solidaritas, akan persatuan, akan pentingnya toleransi antar kelompok, kesediaan menerima perbedaan yang sekarang menja- di hal yang mahal. Yang ketiga, kita juga ingin mengembangkan, ikut menyuburkan dan memberikan sumbangan investasi-investasi moral kritis di negeri ini. Jadi, di dalam pandangan kami, teman-teman yang berkumpul menyelenggarakan acara itu sebenarnya sudah banyak investasi moral di negeri ini yang sifatnya kritis dan itu sebenarnya timbul-tenggelam, pasang surut, dan seperti kita ketahui investa- si moral itu kemarin indeks harganya agak menurun tajam pasca Peristiwa 27 Juli sehingga kami perlu mengambil tindakan-tindakan tertentu untuk menaikkan kembali indeks harga investasi atau harga sahamnya itu bisa naik kembali. Nah, acara ini sebutulnya sebagai bagian dari upaya menaik- kan indeks harga supaya embrio-embrio kritisisme dalam masyarakat tidak mati. Karena kalau embrio kritisime itu dalam masyarakat mati berarti di negara ini tidak ada lagi elemen korektif. Kalau di dalam suatu negara tidak ada elemen-elemen yang korektif, maka kecenderungan otorianisme yang sekarang sudah semakin menguat, itu akan menuju kepada totaliarianisme yang mengerikan. Menurut Anda ada tidak cara yang tepat untuk bisa menjembatani, paling tidak menghindarkan terjadinya konflik antara Islam yang pro demokrasi dan pro kebenaran itu dengan kekuasaan yang pro kemapanan... Dalam setiap agama, saya kira bukan hanya Islam, selalu ada dua kecenderungan. Yaitu kecenderungan ke arah mendukung kekua- saan, melegitimasi kekuasaan dan kecenderungan ke arah mengoreksi penyalahgunaan kekuasaan. Dan biasanya antara kedua kecenderungan ini pasti tidak akan saling bertemu. Ada elemen dalam agama yang oportunis dan ada elemen dalam agama yang kritis. Biasanya elemen yang oportunis itu pasti tidak akan bertahan lama, artinya daya tahan napas mereka itu hanya beberapa waktu dan itu tidak cukup lama karena kepentingan mereka itu hanya sebatas menjaga kemapa- nan. Terutama adalah kemapanan politik dan ekonomi. Begitu terja- di suatu krisis maka mereka pasti hancur. Nah kekuatan kritis ini sebenarnya itu selalu bertahan. Selalu ada dalam setiap agama. Persoalannya adalah adakah figur yang bisa merumuskan, memformulasikan elemen kritis ini menjadi suatu agenda politik yang bisa di-share semua orang, diperbin- cangkan secara terbuka, bisa dilakukan adu argumen yang rasional di situ. Nah kakalu ada prasyarat itu, maka pasti elemen kritis itu akan muncul. Dalam kasus Islam figur yang menduduki kursi itu adalah Gus Dur. Selalu elemen kritis ini bertabrakan dengan kemapanan _dalam hal ini kemapanan politik. Saya kira perlu dipersoalkan apakah perlu menjembatani antara kekuatan yang kritis dalam masyarakat dengan kekuatan-kekuatan dalam negara. Menurut saya perlu tapi dalam batas-batas tertentu. Menurut saya begini, elemen kritis itu penting untuk dipelihara dan dikembangkan kekuatannya, karena hanya dengan cara seperti ini, negara yang cenderung otoriter dan cenderung menyalahgunakan kekuasaan politik dikoreksi. Kedua, elemen-elemen kekerasan dalam masyarakat itu bisa dieliminir, kalau elemen kritis dalam agama ini bisa dilembagakan ini dengan cukup baik. Artinya kalau agama itu menyediakan suatu jalan ke luar untuk menterjemahkan keresa- han masyarakat yang muncul selama ini maka keresahan itu tidak akan menuju kepada kekerasan. Karena kita tahu di negeri ini lembaga-lembaga publik ternyata tidak berfungsi untuk menyalurkan keresahan itu. Salah satu fungsi yang bagi saya sangat krusial dari agama menurut saya adalah bagaimana menerjemahkan keresahan ini tidak di dalam formula yang membius mereka seperti kata-kata Marx yang menyebut agama hanya opium, tapi jusrtu dengan mentransformasikan keresahan dan itu hanya bisa dilakukan kalau agama bisa menjadi pengimbang permasalahan politik yang selama ini ada. Agama itu jadi unsur yang korektif bukan legitimatif. Tapi sekarang kan masalahnya di kalangan akar rumput belum punya pemahaman yang cukup soal demokrasi, ada semacam gap antara mereka yang di bawah dengan kalangan katakanlah cendekia agama. Apakah selama ini kurang tersosialisasikan karena memang kalangan cendekia agama yang lupa dengan persoalan yang sebenarnya krusial dalam kehidupan berbangsa ini. Atau bagaimana... Saya sebetulnya kurang setuju dengan statement bahwa masya- rakat bawah itu sebetulnya tak memahami esensi demokrasi. Bukan demokrasi sebagai istilah ya. Menurut saya sebetulnya masyarakat itu punya common sense, punya akal sehat yang bisa menuntun mereka untuk menyelenggarakan kehidupan bersama yang damai menu- rut asas-asas kepentingan bersama yang adil. Itu ada. Problemnya adalah kadang-kadang common sense ini dirusak oleh sistem politik atau tatanan politik yang tak adil sehingga pada giliran berikut- nya mereka juga bisa memberikan respon yang negatif dan itu semata-mata untuk membela atau melindungi atau bertahan gitu lho, untuk mempertahankan diri mereka agar tidak binasa, tidak rusak atau tidak mati. Orang kalau diserang kepentingannya kan pasti akan bertahan. Sebetulnya dalam masyarakat berkembang itu, sekarang masalahnya bagaimana supaya akal sehat seperti itu dikembangkan jadi sebuah lembaga yang bisa mengatur kepentingan bersama. Sebetulnya, kalau pemimpinnya betul memahami aspirasi masyarakat saya kira nggak ada kesenjangan konsep seperti yang tadi Anda sebut. Saya kira kalau kaum elitenya bisa memahami dinamika internal dari kepen- tingan dan hidup mereka, tidak ada kesenjangan itu. Kesenjangan terjadi karena kita sebagai kaum elite terpelajar merasa tahu banyak hal. Sementara masyarakat memahami persoalan dengan cara yang lain dan mereka lebih mengerti persoalan yang lebih konkrit daripada kita. Di masyarakat itu berkembang kok sejumlah elemen akal sehat yang bisa mengendalikan mereka. Cuma jangan lupa dalam masyarakat juga ada miskonsepsi yang banyak. Mereka sendiri juga mewarisi cara pandang yang keliru dari berbagai tokoh mereka selama ini. Misalnya miskonsepsi dari masyarakat Islam terhadap masyarakat non-Islam. Itu banyak. Dan kesalahan itu justru bukan pada mereka tetapi kadang-kadang adalah pada tokoh-tokoh Islam yang menyebar- kan miskonsepsi itu kemana-mana. Kita akhir-akhir ini dikejutkan dengan adanya berbagai tindak kerusuhan. Kalau Anda melihat sebenarnya akar persoalannya apa? Seperti dibilang Arief Budiman, memang saya mengakui ada akar-akar ketimpangan struktural atau ketimpangan sosial-ekonomi. Saya akui itu. Artinya kerusuhan-kerusuhan itu terjadi karena masyarakat melihat banyak sekali tindakan yang tidak adil dari penguasa terhadap masyarakat. Cuma yang kita persoalkan kenapa rasa tidak puas itu selalu mengambil bentuk-bentuk sentimen agama atau sentimen etnis. Saya kira kalau kita melihat hampir seluruh kerusuhan yang terakhir terjadi, saya kira kalau tidak agama adalah kandungan etnik. Itu menurut saya memang, mau tidak mau, terus terang kita harus menyalahkan negara. Pertama, kenapa mengambil isu agama, karena negara dengan sengaja itu justru menerapkan satu kebijakan politik yang arahnya justru membangkitkan sentimen antar agama. Jadi negara itu secara retorik selalu mengkampanyekan kerukunan antar agama, tapi dalam prakteknya mereka justru selalu melakukan tindakan yang membang- kitkan kebencian antar agama. Saya bisa ambil contoh misalnya betapa negara akhir-akhir ini tanpa suatu kontrol itu melindungi politik identitas yang ditampilkan oleh kelompok Islam ICMI dan itu sengaja dilindungi dan sepertinya negara merasa tidak bersalah kalau kebangkitan politik identitas itu menyinggung perasaan kelompok lain. Atau misalnya pada tahun 70-an negara dengan sengaja melin- dungi kelompok Katolik katakan begitu, atau kelompok abangan kejawen yang mereka menerapkan suatu tindakan politik yang juga menyinggung kelompok Islam. Dan itu seolah-olah dilindungi dan seolah-olah tak ada kesalahan apa-apa. Atau negara merepresi beberapa agama-agama pribumi, Kaharingan, Kong Hu Chu yang tidak diakomodasi dalam label agama-agama resmi. Jadi negara itu melem- bagakan agama-agama resmi tapi sekaligus dengan itu dia menimbul- kan suatu sentimen agama yang kuat. Jadi agama itu diatur, tapi dengan pengaturan itu justru sentimen antar agama muncul. Itu bagi saya adalah semua kebijakan yang bisa membangkitkan sentimen antar agama. Yang menurut saya yang paling menggelikan yang terakhir ini dimana negara melindungi suatu politik Islam, tapi perlindungannya, konteksnya menurut saya mengganggu pergau- lan bangsa secara keseluruhan. Tentang sentimen etnik? Sentimen etnik, saya kira kita tidak bisa memungkiri bahwa negara ini menerapkan suatu kebijakan yang bias Jawa. Dan itu dilakukan dengan cara yang berlebihan, dan itu akhirnya menimbul- kan kebencian etnik tertentu terhadap etnik Jawa karena mereka mempersepsikan bahwa pemerintahan pusat ini adalah manifestasi dari kekuasaan Jawa, orang-orang Jawa. Mereka tidak benci orang Jawa, tapi mereka menggunakan sentimen etnik itu untuk menyerang pihak lain. Atau misalnya yang sering kita lihat adalah isu pri dan non-pri yang sudah jelas itu mencolok sekali akhir-akhir ini dan negara seolah-olah tidak merasa bersalah memberikan suatu privilege kepada kelompok-kelom- pok non-pri sehingga mereka menjadi obyek kebencian. Non-pri itu diberikan privilege di bidang ekonomi, tapi ditutup privilege-nya di bidang politik. Mereka diberikan semacam kawasan pecinan politik, political pecinan gitu. Jadi kalau dulu, di jaman Belan- da ada semacam kawasan pecinan yang terpisah dari kawasan pribu- mi. Sekarang pun sama yaitu ada kawasan pecinan ekonomi yang diberi proteksi yang tinggi sekali dan mereka dijadikan semacam sapi perahan untuk memberikan dana kepada operasi-operasi politik Orde Baru. Itu semua menimbulkan kebencian, kenapa pecinan itu tidak didekontruksi dari awal. Saya kira pemerintah belum bisa melepaskan diri dari bias Belanda bahwa Cina itu suatu enclave sehingga dia harus diberikan privelege tersendiri, kenapa tidak dibaurkan. Pembauran setengah hati menurut saya. Itu semua kemud- ian membangkitkan sentimen agama, sentimen etnik yang kalau terjadi kerusuhan kedua-duanya bisa... Bagaimana soal penggunaan bendera Islam, katakanlah untuk mengadakan semacam bargain politik terhadap pusat kekuasaan? Jadi menurut saya politik bendera itu memang sulit dihancur- kan. Saya kira dimana-mana politik bendera itu muncul meski itu di negara-negara yang dikatakan indeks demokrasinya paling tinggi seperti negara-negara Eropa Barat atau benua Amerika. Tetap ada politik bendera dalam bentuk lobi-lobi pressure group. Cuma problemnya, di Indonesia ini, politik bendera itu muncul dalam kadar yang bagi saya agak berlebihan, dan itu justru dilindungi oleh negara. Jadi seolah-olah diresmikan, ini yang bisa berba- haya. Padahal kalau itu dibiarkan bisa merusak tatanan pergaulan yang sudah selama ini kita bangun bersama. Makanya salah satu untuk mengimbangi politik bendera ini adalah seperti yang dikatakan Gus Dur agendanya jangan bendera, agendanya adalah demokratisasi, karena tidak ada suatu jaminan untuk membagi kekayaan secara merata di negeri ini kalau lembaga- lembaga demokrasi di negeri ini tidak berjalan dengan baik. Karena kalau yang ditampilkan politik bendera siapa yang bisa mengontrol politik bendera itu akan tidak berujung kepada suatu ya katakan saja permusuhan antar agama. Misalkan begini. Oke orang seperti Habibie, seperti Amien Rais, Dawam Rahard- jo, Adi Sasono dan macam-macam itu bisa proper, bisa pas di dalam menerapkan politik benderanya. Tapi siapa tahu suatu ketika politik itu terjatuh menjadi suatu katakanlah "fundamentalisme" yang menyerang kelompok lain. Apa ada gejala itu? Saya melihat tendensi-tendensi itu masih kuat dalam Islam dan ada beberapa elemen dalam Islam yang masih kuat, aspirasinya itu aspirasi sekterian. Bahkan bukan hanya sektarian, tapi aspir- asinya partisan. Itu masih ada. Siapa yang berani menjamin aspir- asi ini tidak membesar dan kemudian tampil dalam retorika politik Islam dalam tingkat negara, lalu menyerang kelompok lain. Saya kira yang seperti ini bisa muncul setiap saat oleh karena itu cara mengendalikannya adalah memperkuat lembaga-lemba- ga demokrasi seperti yang diajukan Gus Dur. Sekali lagi bahwa politik bendera itu sulit dihancurkan. Tetap ada itu, tapi diken- dalikan melalui lembaga-lembaga demokrasi. Hanya dengan lembaga demokrasi itu kita bisa mengendalikan politik bendera itu tetap terkontrol. Kalau nggak bisa meluber kemana-mana. Oleh karena itu ketika kemarin kita bersama teman-teman meluncurkan Pesan Idul Fitri tanggal 7 Pebruari yang kemudian dibaca kembali ketika acara Halal Bihalal 7 Maret tujuannya adalah justru untuk mengemukakan pentingnya agenda demokrasi untuk diangkat kembali karena selama ini kita lupa terjatuh pada isu-isu kecil yang berserakan tapi lupa pada esensi yaitu isu besar penegakan demokrasi. Agak aneh ya dalam halal bi halal bicara demokrasi? Memang kayaknya bagi orang beragama, demokrasi itu seperti agenda yang sifatnya tidak sakral, sekuler. Tapi kepentingan agama yang sakral pun tidak bisa dijamin kalau lembaga-lembaga atau mekanisme yang sekuler ini tidak dijaga. Misalnya begini di negara-negara yang lembaga demokrasinya berkembang kuat itu justru kepentingan penyebaran agama lebih dijamin dari pada di negara-negara yang lembaga demokrasinya itu hancur. Jadi begini, kepentingan sakral agama atau privat agama itu akan jalan dengan baik, lancar, dan tertib kalau kepentingan publik demokrasi. Hanya itu saja kalau nggak gitu pasti akan kacau. Dan sebetulnya alasan-alasan ini ada dalam khasanah klasik Islam.-