22 Februari 1997 LAODE IDA * Mbak Tutut dan Gus Dur BAGAIKAN pelengkap berkah di bulan suci, pada hari kedua di penghujung Rama- dhan 1417 H, 7 Februari lalu, Nyonya Hj. Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut) dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bertemu di Departemen Agama. Pertemuan kedua tokoh itu tentu sudah lama ditunggu warga NU, untuk menciptakan kesan bahwa NU akomodatif, bisa bekerja sama dengan pemerintah atau aktor-aktor penting di power center. Pengamat menilai peristiwa itu sebagai silaturahmi politik, di mana kedua belah pihak saling menguntungkan. Gus Dur selama ini terkesan mengambil jarak dengan tokoh-tokoh yang berada di power center seraya “berangkulan” dengan tokoh nasionalis yang kritis, seperti Megawati Sukarnoputri. Maka pertemuan dengan Mbak Tutut dinilai orang sebagai langkah Gus Dur untuk merekonstruksi strategi politiknya. Sebaliknya, Mbak Tutut, selaku Ketua DPP Golkar, dianggap memiliki kepenti- ngan untuk mendekatkan diri ke basis-basis NU. Ini tampaknya berkaitan dengan kepentingan Golkar dalam Pemilu, Mei mendatang. Penilaian itu diperkuat oleh fakta, Gus Dur ingin membawa Mbak Tutut berbicara di depan massa NU. Analisis di atas agaknya didasarkan pada fenomena Gus Dur selama ini. Pasca- Kongres Cipasung, hubungan Gus Dur, selaku Ketua Umum PB NU, terkesan tak begitu harmonis dengan elite-elite di power center, termasuk dengan Mbak Tu- tut. Greg Fealy, dalam artikel berjudul The 1994 NU Congress and Aftermath: Abdurrahman Wahid, Suksesi and the Battle for Control of NU, misalnya, per- caya benar dengan pemberitaan yang lebih tendensius bahwa di tengah ramai- ramainya gerakan ingin mendongkel Gus Dur, Mbak Tutut berada di belakangnya. Padahal, kecuali tak ada bukti kuat, analisis seperti itu seolah-olah menem- patkan para elite politik kita tak memahami proses politik yang telah memutus- kan Gus Dur sebagai pimpinan NU yang harus dihargai. Maka segala bentuk per- temuan antara Gus Dur dan tokoh-tokoh penting negeri ini sepertinya suatu kejutan. Muatan politik dari suatu peristiwa memang biasanya tergantung niat mereka yang bertemu. Boleh jadi aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa itu tak memikirkan nilai-nilai politiknya, namun pihak luarlah yang memberinya anali- sis. Boleh jadi juga dari dua pihak atau lebih yang bertemu, salah satunya merancangnya sebagai strategi yang bermuatan politik, sementara yang lainnya tidak. Namun demikian pihak luar bisa tampil beda sesuai dengan cara pandang yang terkadang bersifat subjektif. Ada dua versi penafsiran tentang pertemuan Gus Dur dan Mbak Tutut tersebut. Pertama, pandangan kalangan pengamat yang men- coba menafsirkan pertemuan itu sesuai dengan pandangan atau pendekatan anali- sis politik yang digunakan. Kedua, penafsiran para politisi dan kelompok ke- pentingan. Mereka menaksir pengaruh pertemuan tadi bisa berimplikasi pada perubahan pilihan-pilihan politik massa pendukung Gus Dur. Namun muncul ke- raguan bila Gus Dur akan menggiring atau mengubah afiliasi politik massa NU ke suatu orsospol. Kedua pihak penafsir itu memiliki persamaan dalam melihat Gus Dur: sebagai aktor yang menentukan. Dengan cara penafsiran seperti itu, secara tak disadari kita terjebak dalam lingkungan sosial yang “serba politik”. Kita hidup dalam jebakan makna yang dikonstruksi secara politik. Di sinilah awal munculnya sikap saling mencuri- gai di antara sesama anggota masyarakat, di antara sesama tokoh berpengaruh. Ketegangan dan konflik pun makin menjadi ciri tersendiri dalam pola hubungan di antara sesama elite, di mana kebekuan hubungan menjadi salah satu cirinya. Maka kita pun seakan berubah dari “masyarakat harmoni” ke “masyarakat konflik”. Boleh jadi maksud pertemuan Gus Dur dan Mbak Tutut tak sejauh itu. Soalnya, pertemuan tersebut sudah lama diagendakan, dan menjadi inisiatif Muslimat NU, serta memperoleh dukungan dari Menteri Agama Tarmizi Taher. Misi utamanya adalah berkaitan dengan upaya penyelesaian pembangunan Gedung Muslimat NU, yang sempat terbengkelai karena kekurangan dana. Alhamdulillah, Mbak Tutut bersedia untuk membantunya. Mengapa Mbak Tutut bersedia membantu Muslimat NU dan bertemu dengan Gus Dur? Pertama, Mbak Tutut merupakan seorang tokoh dan pengusaha terkemuka yang ber- jiwa sosial. Ia mengakui bahwa pihaknya baru saja mendapat rezeki. Tampaknya Menteri Agama Tarmizi Taher mengetahui hal itu, lalu mempertemukan Mbak Tutut dengan Muslimat NU sebagai pihak yang sedang memerlukan bantuan. Hal ini seka- ligus membuktikan bahwa putri sulung Pak Harto ini sangat besar perhatiannya terhadap masalah-masalah keagamaan. Kedua, pertemuan Mbak Tutut dengan Gus Dur membuktikan bahwa Mbak Tutut seba- gai seorang tokoh yang akomodatif, tak membedakan kelompok-kelompok dan golo- ngan-golongan yang ada dalam masyarakat. Selama ini ia telah sering melakukan kunjungan atau safari ke beberapa Pondok Pesantren, bahkan dikenal sangat dekat dengan basis-basis massa Islam, termasuk NU. Artinya? Tanpa diperkenal- kan Gus Dur, saya kira Mbak Tutut bisa mengunjungi atau bersilaturahmi ke basis-basis NU tanpa menemui kesulitan. Ini sekaligus menunjukkan Mbak Tutut bisa diterima semua kalangan, karena memang tak pernah menunjukkan kebencian terhadap siapa pun, termasuk kepada Gus Dur. Sebaliknya, warga NU menyadari benar bahwa mengambil jarak dan bersikap berha- dapan secara kritis dengan negara dan elite-elite yang berada di power center hanya akan merugikan upaya pengembangan program NU secara umum. Andaikan si- kap berhadapan Gus Dur tetap dipertahankan, niscaya beberapa program mereka, termasuk penyelesaian pembangunan gedung Muslimat NU, akan tetap terbengkalai. Maka dapat ditafsirkan, perubahan sikap Gus Dur belakangan ini -termasuk beru- paya melakukan pertemuan dengan beberapa tokoh politik- menunjukkan keinginan- nya untuk merebut simpati elite kekuasaan seraya berupaya membangun strategi baru agar mampu bersaing dalam pertarungan elite organisasi Islam di negeri ini. Tapi barangkali juga Gus Dur sudah capek melakukan strategi konfrontasi. *Mahasiswa Program Doktor Sosiologi UI