Nomor 14/III, 22 Februari 1997 Setelah Gus Dur Menggandeng Tutut Pro-kontra marak setelah Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid bersalaman dengan Mbak Tutut. Riswanda Imawan, dosen Fisipol dan Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. SAYA melihat apa yang dilakukan Gus Dur adalah ingin menempatkan dirinya sebagai tokoh Islam, tetapi bisa diterima oleh segala lapisan masyarakat. Baik Islam maupun non-Islam. Kalau berhasil, ini merupakan terobosan terhadap hipotesis lama mengenai pemimpin-pemimpin Islam. Hipotesis yang masih merupakan dilema bagi pemimpin Islam itu adalah pimpinan Islam hanya bisa mengakar ke dalam organisasinya, tetapi tak mampu mengakar ke luar. Jadi pada tataran individual, Gus Dur ingin mengatakan, pemimpin Islam pun bisa mengakar ke dalam dan ke luar secara bersamaan, seimbang serta sama baiknya. Rupanya eksperimen atau manuver ini belum bisa diterima politisi Islam lain. Mereka malah melihatnya sebagai manuver pribadi Gus Dur untuk menaikkan kartu politiknya. Lihat saja, ketika Gus Dur bisa meliuk dekat dengan Benny Moerdani, kemudian ke Megawati, dan terakhir ke Tutut, itu dicurigai sebagai manuver pribadi Gus Dur untuk kepentingan politiknya. Padahal saya melihat Gus Dur ingin memecah hipotesis lama itu agar tidak berlaku lagi. Kemudian, kalau dilihat secara organisasional, yang dilakukan Gus Dur itu sesuai dengan prinsip “Kembali ke Khittah NU 1926”. Dengan demikian NU bisa bergerak ke mana saja. Selama yang diperjuangkan tetap demi kemaslahatan umat, tidak jadi masalah. Memang di NU ada falsafah yang cukup aneh dilontarkan KH Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri NU, yaitu hendaknya warga NU hidup seperti ikan di laut. Artinya bisa berenang ke mana saja sesuai dengan temperatur air yang direnangi. Yang tersirat di balik itu, selama masih memperjuangkan ukhuwah Islamiyah, tidak usah khawatir berada di mana posisi saat ini. Jadi apa yang dilakukan Gus Dur ini mirip kelakuan NU mendukung konsep Nasakom Presiden Soekarno dahulu, bukan karena NU setuju dengan Nasakom, melainkan strateginya agar tetap eksis dan diakui pemerintah saat itu. Sehingga orang yang kurang mengerti NU bisa saja menyebut NU bunglon. KH Badri Masduki, pimpinan Pondok Pesantren Badridduja, Kraksaan Wetan, Probolinggo, Jawa Timur. Kiai Badri pernah mengusulkan Muktamar Luar Biasa untuk menggusur kepemimpinan Gus Dur sebagai Ketua Umum PB NU terpilih. INI betul-betul sesuai dengan Khittah NU 1926. Mengapa? Dulu Gus Dur dekat dengan Mbak Mega. Jadi bertemunya Gus Dur dengan Mbak Tutut karena dia ingin membuat keseimbangan dengan prinsip tidak berpihak kepada salah satu OPP (Organisasi Peserta Pemilu). Gus Dur sebenarnya mengandalkan PDI pada pemilu mendatang, tapi ia kecewa. Sebab PDI, yang diharapkan bisa mewadahi aspirasi warga NU, ternyata pecah sendiri. Perlu diketahui, umat NU pernah disakiti oleh PDI dan trauma pada Pemilu 1992 lalu. NU yang lama sekali menggarap rancangan UU Peradilan Agama, oleh PDI tidak disetujui. Malah Golkar dan PPP yang menyetujui. Makanya kalau PDI ingin mendapat simpati warga NU, kembalikan citra itu dan obati trauma lama tersebut. Hubungannya dengan PPP sebenarnya hanya lahirnya saja yang tampak kurang serasi. Di bawah permukaan sebenarnya tidak. Sejak dulu NU adalah pelopor PPP. Meskipun banyak warga NU yang masuk ke OPP lain, saya yakin masih lebih banyak warga NU yang berada di PPP daripada di luar. Mendekatnya Gus Dur ke lingkungan kekuasaan itu wajar-wajar saja. Saya melihat Gus Dur mengerti stabilitas nasional itu sangat penting dalam kehidupan bernegara. Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) yang dianut orang NU sangat menjunjung tinggi pentingnya stabilitas. Sebab Aswaja berprinsip, selama pemerintah tidak melakukan siasat kekafiran, baik terbuka maupun terselubung, selama itu umat Islam dilarang dan bahkan dianggap berdosa besar mengangkat senjata melawan pemerintahan yang sah.