Nomor 14/III, 22 Februari 1997 Becik Ketitik, Olo Ketoro Pertemuan KH Abdurrahman Wahid dengan beberapa pejabat, banyak kalangan menganggap bermuatan politis. LEBARAN kali ini agaknya kurang menggembirakan bagi KH Abdurrahman Wahid, Ketua Pengurus Besar NU yang akrab disapa Gus Dur. Sejak ia mudik ke Jombang dua hari sebelum Idul Fitri, lengan kanannya tiba-tiba saja membengkak. “Makin lama bengkaknya makin besar dan terasa cekot-cekot,” katanya. Terpaksa dia berobat ke dokter. Konon, tangan Gus Dur mengalami gangguan pada aliran darahnya. Kini tangan Gus Dur harus dibalut dan kiai yang belakangan sibuk berpolemik ini harus beristirahat setidaknya tujuh hari. Akibatnya, serentetan ceramah, konsultasi, dan silaturahmi, yang sudah direncanakan di pelbagai tempat, harus ditunda atau dibatalkan. Namun ada pula berkahnya. Cucu pendiri NU, KH Hasyim Asyari, itu cukup istirahat. Dan ketika diwawancarai wartawan Gatra Saiful Anam dan Khudori di Jombang, Jawa Timur, Kamis pekan lalu, tampak cerah. Petikannya: Dua hari sebelum Lebaran, Anda bertemu dengan Mbak Tutut. Banyak kalangan menganggap pertemuan itu bermuatan politis. Lho, saya ini kan diminta Menteri Agama, kira-kira dua hari sebelumnya. Ada pertemuan dengan Muslimat NU, Mbak Tutut akan hadir. Jadi itu inisiatif Menteri Agama. Wong itu urusannya dengan Muslimat. Lalu makna pertemuan itu apa? Ya tidak ada apa-apanya. Wong cuma pertemuan. Itu kan karena Muslimat tidak bisa menyelesaikan pembangunan kantornya yang sudah mangkrak setahun. Terus minta bantuan ke Menteri Agama, kemudian Menteri Agama menyerahkan kepada Mbak Tutut, dan Mbak Tutut bersedia membangunnya. Lalu ada acara penyerahan penyelesaian gedung Muslimat NU itu, dan saya diminta hadir di situ. Ya begitu saja. Meski pertemuan itu hanya sekilas, peristiwa itu dihubung-hubungkan dengan pernyataan Anda sebelumnya, yang mempersilakan Mbak Tutut turun ke pesantren. Lho, peristiwa itu sudah hampir dua tahun. Pers saja yang baru menyiarkan sekarang. Waktu itu Megawati masih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Nah, waktu itu saya dikritik orang, kenapa kok cuma ngajak Mega. Saya jawab, lho saya ini cuma mengantarkan kehendak orang. Mega mau ke pondok, mengapa ndak saya tolong. Dengan mengundang Mbak Tutut cuma untuk menegaskan bahwa Anda berdiri di tengah? Bukan. Kalau Mbak Mega mau ke pesantren, yang lain juga boleh. Kenapa tidak mengundang PPP? Wong orang sudah tahu pesantren kok, untuk apa lewat saya. Lalu Golkar kenapa tidak diajak, lho Harmoko kan sudah tiap hari ke pesantren, lebih sering ketimbang saya. Lain halnya kalau Mbak Tutut. Target mengundang Mbak Tutut ke pesantren? Ndak ada target. Cuma untuk menunjukkan bahwa kita bisa memfasilitasi keinginan tiap Organisasi Peserta Pemilu (OPP). Kan OPP untuk menjangkau warga NU itu tidak gampang. Lalu kita beri peluang bagi mereka untuk mencapainya, termasuk Mbak Tutut. Jawaban Mbak Tutut terhadap tawaran yang sudah saya sampaikan itu, katanya kalau satu per satu dikunjungi. terlalu capek, tidak efektif, lebih baik dalam bentuk silaturahmi akbar. Bentuknya seperti apa? Ya rapat umum itu. Nanti akan dilaksanakan di beberapa tempat, antara lain di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Lalu Anda mengantarkan Mbak Tutut? Lha iya. Kami jadi tuan rumah, mengundang dia untuk silaturahmi dengan warga NU. Itu akan dilaksanakan sebelum Pemilu. Mengapa harus dekat-dekat Pemilu? Lho kami menawarkannya sudah lama. Kan tergantung yang ditawari. Mungkin kesibukan beliau menata daftar caleg, kan berat itu. Nah, setelah itu baru dia berkonsentrasi, sekaligus pemanasan untuk menjelang kampenye pemilu. Kan begitu. Saya bilang kepada Mbak Tutut, kalau hanya sekadar 250.000 warga NU tiap kali rapat akbar, tidak ada masalah. Ceramah saya saja rutin dihadiri 10.000-20.000 orang. Silaturahmi Anda dan Mbak Tutut sekarang dikait-kaitkan dengan pertemuan sebelumnya dengan Pak Harto di Probolinggo, dengan Kasad Jenderal R. Hartono di Situbondo, dan dengan Kassospol ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid secara maraton, kok sepertinya ada “sesuatu”? Ah, tidak ada apa-apa. Semua orang salah baca. Saya ketemu Pak Harto, ya ndak ngomong apa-apa, wong cuma salaman. Ketemu Hartono, semua orang juga tahu, saya ngomong apa. Dia datang ke sana mau menjelaskan kepada ulama-ulama Situbondo tentang Peristiwa Situbondo. Lalu saya diminta mendampingi. Kalau-kalau ada yang perlu penjelasan tambahan, dan ternyata tidak ada. Jadi hanya orang-orang saja yang merangkai-rangkai sendiri. Ketika bertemu dengan Syarwan Hamid, apa saja yang dibicarakan? Dia mengundang saya berbuka puasa. Dalam kesempatan itu dia lebih banyak bertanya mengenai kemungkinan-kemungkinan adanya diskusi, atau rangkaian diskusi antara NU dan Muhammadiyah, untuk menciptakan konsensus umat. Kira-kira maunya begitu. Saya cuma bilang, monggo, silakan. Kok perlu dialog, memang ada apa? Lha iya, sebetulnya antara NU dan Muhammadiyah itu kalau mau bicara, bicara apa sih. Wong dari dulu tidak ada masalah. Artinya, kita tidak perlu dialog apa-apa, wong pembicaraan secara pribadi di antara kita selalu ada. Soal pertemuan dengan Mbak Tutut juga kabarnya untuk membantu meredakan kerusuhan akhir-akhir ini? Ndak ada itu. Kami sudah menjamin bahwa NU tidak berbuat kerusuhan. Artinya sebagai kelompok. Kalau ada warga NU satu dua, semua pihak juga kan begitu. Yang membuat kerusuhan itu bukan orang NU. Seperti di Situbondo, adalah orang-orang NU yang dikirim dari luar. Siapa yang mengirim, masih tanda tanya. Yang jelas bukan NU. Menurut Anda, memang NU tidak terlibat? Tidak. Laporan-laporan semua menyatakan begitu. Kebakaran-kebakaran dan perusakan gereja di Situbondo itu terjadi sebelum pengadilan Saleh dimulai. Lha, kalau memang penyebabnya karena Saleh dituntut terlalu ringan, lalu mana mungkin gereja dibakar pagi. Wong pembacaan tuntutannya baru siang hari. Jadi jelas ada pelaku-pelaku lain. Dan seperti dikatakan Pangdam, memang direncanakan. Lalu siapa yang melakukan perbuatan itu? Pelakunya orang-orang yang mengungsi dari Timor Timur. Itu kata Menteri Agama. Berarti, kalau benar begitu, ya mereka dimanfaatkan oleh pihak ketiga supaya NU terlihat jelek. Arahnya kan begitu. Tapi, sudahlah, wong nyatanya NU tidak jelek kok. Saya langsung bertindak. Saya minta maaf kepada orang Kristen sehingga orang Kristen tidak su’udlon lagi kepada orang NU. Sudah ada saling pengertian. Kalau ada oknum NU terlibat, wajar saja, kejadiannya di kantong NU. Kalau di Tasikmalaya? Ya, sama saja. Ada satu kelompok yang merencanakan untuk membuat huru-hara. Di sana ada satu kelompok pesantren non-NU. Tidak perlu saya sebut. Sudah saya sampaikan kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan intelijen. Jauh sebelum puasa, mereka mengadakan rapat persiapan untuk mendemo toko-toko makanan dan restoran yang buka siang hari di bulan Ramadhan. Merekalah sebenarnya biang keroknya. Kemudian terjadilah peristiwa oknum-oknum polisi menganiaya santri dan ustad dari pesantren Kiai Makmun, Wakil Rais Syuriah NU Cabang Tasikmalaya. Ketika Kiai Makmun menghadapi masalah itu, dia bersama ulama-ulama lain meng-approach pemerintah, bagaimana baiknya. Lalu dicapai kesepakatan bahwa perlu dilakukan tindakan hukum terhadap pelaku penganiayaan. Selesai. Tapi kelompok tadi justru merencanakan demonstrasi. Lalu ada segolongan anak-anak muda, mahasiswa, baik dari Garut maupun dari Tasikmalaya, ingin mendahului kemungkinan adanya demonstrasi seperti itu. Caranya mengadakan doa bersama di Masjid Agung Tasikmalaya, untuk mendinginkan suasana. Karena itulah mereka didukung oleh Danrem. Jadi mereka itu kan dibawa oleh Danrem ke sana. Tapi sayangnya mereka kurang pengalaman. Mereka justru ditumpangi kelompok orang-orang bertato alias preman dan tukang-tukang ojek yang dibayar. Sekarang tinggal mencari siapa yang membayar. Jelas bukan mahasiswa tadi. Nah, dalam arti itulah saya menyatakan bahwa pihak yang memulai itu bukan berarti berbuat jahat. Lha, karena anak-anak muda dan mahasiswa bikin acara begitu, kan akhirnya diikuti orang jahat. Saya heran, kok yang di-tackle malah mahasiswa, wong mereka menggelar acara itu maksudnya untuk mendinginkan suasana. Mbok dicari yang satunya itu (pesantren non-NU -Red,). Kok dibiarkan saja. Laporan itu disampaikan atas permintaan pemerintah? Itu atas inisiatif saya sendiri. Kalau anak-anak itu masih tetap diproses, ya lihat saja nanti. Becik ketitik, olo ketoro. Yang benar akan terlihat, yang salah akan terungkap. Pada waktu Bung Karno dipenjara di Sukamiskin, waktu itu dia juga dianggap salah. Belakangan lalu dia dianggap benar. Jadi, nanti juga akan ketahuan siapa biang keroknya. Kalau Agustina yang ditahan dalam Kasus Tasimalaya itu? Dia itu kan anak GMNI, bukan anak NU, juga bukan HMI. Kasihan juga dia. Dia itu bareng sama yang lain-lain, mau mendinginkan suasana. Anda tahu orang yang membayar preman dan tukang ojek untuk melakukan pembakaran? Saya sih nggak tahu. Pokoknya adalah yang melakukan hal itu. Bukankah Anda menuding Humanika yang membayar mereka? Saya tidak mau bicara soal Humanika, karena Humanika sudah mengadukan saya ke pengadilan dan kini tengah diproses. Ya sudah, lebih baik biarkan saja proses itu berjalan secara prosedural. Kalau Kerusuhan Rengasdengklok? Oh, lain. Saya pusing juga. Tidak masuk akal. Di sana hubungan orang-orang Cina dengan pribumi begitu baik. Orang Cina kawin dengan orang pribumi itu biasa. Kerja bareng-bareng juga biasa. Kalau Kerusuhan Tanah Abang? Saya nggak mengerti. Tapi kerusuhan-kerusuhan ini sepertinya berantai? Kalau saya sih, yang lebih memprihatinkan akibatnya. Kok gereja dan kelenteng yang dirusak. Saya lebih memprihatinkan itu lho ketimbang kerusuhannya. Menurut Anda, fenomena massa yang mudah mengamuk itu karena apa sih? Karena selama 40 tahun ini pendidikan dan dakwah Islam bersifat memusuhi agama lain. Bersikap curiga terhadap agama lain. Bersikap tidak mau mengerti agama lain. Kalau mayoritasnya diajari begitu, kan lama-lama jadi beringas. Tidak hanya dilakukan mubalig-mubalig di panggung. Guru-guru agama di kelas juga begitu. Sebabnya dua hal. Pertama, karena mereka sedang mengalami masa transisi dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern. Mereka kehilangan akar-akar psikologis dan kultural. Kan banyak anak-anak bahkan juga sampai orang-orang dewasa, malah banyak yang bergelar doktor yang sudah hebat itu, walaupun sudah hidup di kota-kota besar, mentalnya masih mental kampung. Jadi mereka belum menerima modernitas secara total. Selalu ada rasa khawatir teralihkan dari agama. Penyebab kedua? Karena Islam dijadikan ajang kepentingan politik. Islam dijadikan bendera politik, dipakai untuk menghadapi orang lain. Nah, itu saya keberatan, termasuk policy ICMI yang ingin menguasai lembaga-lembaga politik kita, birokrasi, ABRI, dan Orsospol. Kata Ketua ICMI, ICMI itu bukan organisasi politik. Ya, mudah-mudahan begitu. Tapi sejauh ini, kalau mendengar omongan pimpinan-pimpinannya, seperti mau menguasai negara ini besok. Dan merekalah yang merasa paling patut membawa bendera Islam. Kalau memang tesis mereka betul bahwa Islam harus bermain di pentas politik, mengapa tidak NU saja yang maju. NU jelas solid. Massanya banyak, bisa diajak berpolitik, kenyang pengalamannya. Soal adanya “Operasi Naga Hijau” yang Anda sinyalir itu bagaimana sih, persisnya? Lho, itu malah kuwalik kabeh (terbalik semua - Red.). Wong saya ngomong kepada wartawan jelas sekali. Kata Pangdam Jawa Timur, Peristiwa Situbondo ada dalangnya. Lalu Peristiwa Tasikmalaya, kata Pangab, ada dua orang aktor intelektualnya. Lalu Kapolda Jawa Barat bilang, ada pihak ketiga yang mendalanginya. Lalu saya senggaki, kalau begitu kan benar apa yang saya dengar ada proyek “Naga Hijau”. Saya ini kan hanya dengar lalu saya keluarkan secara spontan. Jadi istilah itu bukan dari saya. Belakangan “Operasi Naga Hijau” Anda pelesetkan dengan nama Humanika? Ah, ndak. Saya tidak ada urusan dengan Humanika kok. Saya menyebut “Naga Hijau” itu hanya karena menyebut sas-sus yang ada, yang pernah saya dengar. Kira-kira maunya apa sih, “Operasi Naga Hijau” itu? Kalau yang saya dengar, waktu itu katanya untuk menghancurkan kepemimpinan saya di NU, sementara “Naga Merah” untuk menghancurkan kepemimpinan Megawati di PDI. “Naga Merah” sudah berhasil, “Naga Hijau” belum. Tapi saya sudah disuruh hati-hati oleh teman-teman. Kata “operasi” itu seringkali dikait-kaitkan dengan operasi militer? Oh, belum tentu. Operasi penyelamatan siamang oleh Pangeran Bernhard, operasinya Emil Salim untuk menolong gajah di Way Kambas, semuanya bernama operasi. Lha, kalau Lebaran, operasi apa namanya? Itu “Operasi Ketupat”, ha...ha...ha..., itu juga kan operasi. Jadi tidak harus militer. Kembali ke soal silaturahmi Anda dengan tokoh-tokoh dari pusat kekuasaan. Mungkin ini membuat kecewa teman-teman Anda di barisan oposisi. Bagaimana Anda menghibur dan menjelaskan semua ini kepada mereka? Sebagai Ketua PB NU saya harus membina hubungan baik dengan semua pihak secara aktif. Lha aktif itu antara lain kan harus menyediakan fasilitas. Jadi, kalau saya disuruh menjelaskan, ya mereka yang masuk gerakan prodemokrasi itu harus juga memahami bahwa dialog harus selalu dibuka. Dan dalam membuka dialog itu kita harus berbicara langsung. Kita harus selalu dalam proses tawar-menawar. Kita harus fleksibel walaupun prinsipnya kita tidak mengalah. Bagaimana kalau Anda dianggap meninggalkan mereka Ya terserah. Saya sih ndak takut dinilai apa pun. Semua juga tahu, saya memperjuangkan demokrasi dari dulu. Saya tidak meninggalkan siapa pun. Cuma, kalau mereka yang mengaku prodemokrasi itu mengambil langkah terlalu jauh, seperti PRD, ya maaf saja. Itu sih niatnya sudah mau rusak-rusakan. Ada anggapan, Anda mendekati Mbak Tutut untuk menyaingi ICMI dalam membuka akses ke pusat kekuasaan. Saya menyaingi ICMI untuk apa. Kami nggak punya rencana politik. Keinginan saya simpel saja. Stabilitas untuk Pemilu, Sidang Umum yang lancar. Kalau tidak, kon ekuensinya adalah anarki dan chaos. Saya tak mau anarki. Maka saya mau bekerja sama dengan siapa pun untuk memelihara stabilitas. Tapi sebagai orang yang berpikiran demokratis, saya menginginkan stabilitas yang demokratis, kreatif, dan stabilitas yang memberikan peluang untuk maju bersama rakyat.