Nomor 14/III, 22 Februari 1997 Kemesraan Menjelang Pemilu Dulu hubungan Gus Dur dengan pemerintah renggang. Bila sekarang merapat kembali, diduga punya tujuan politis. TAK gampang menebak makna langkah Abdurrahman Wahid. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang populer dipanggil Gus Dur itu bagaikan “tokoh” yang berpikir, berkata, bergerak secara spontan tanpa beban. Kemarin ia berada di seberang sana, hari ini tahu-tahu berdiri di seberang sini. Tafsiran pun beraneka ragam. Dan Gus Dur menanggapinya dengan enteng, tak peduli, terkadang sambil membanyol. Ketika November tahun lalu cucu pendiri NU itu bersalaman dengan Presiden Soeharto di Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Jawa Timur, pengamat pun menganggap “Gus Dur telah berbaikan dengan Pak Harto”. Manakala Ketua Umum PB NU tiga kali berturut-turut itu bersua dengan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal R. Hartono, Kassospol ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid, atau dengan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya Siti Hardijanti Rukmana, tafsiran yang semula cuma sayup-sayup terdengar kini makin kencang. Bahwa pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia itu sedang melakukan manuver politik mendekati wilayah pusat kekuasaan. Sebagaimana biasanya, Gus Dur mengomentari tafsiran macam itu dengan seloroh. “Saya ini orang yang ndak pernah berhenti mengkritik kekuasaan. Lha begitu kok dianggap mau main politik, mau mendekati kekuasaan,” katanya kepada Gatra. Ia menjelaskan pertemuannya dengan Mbak Tutut pada 7 Januari lalu adalah pertemuan pimpinan NU dengan calon donatur. Mbak Tutut memang bersedia membantu pembangunan Gedung Serbaguna Muslimat NU yang terbengkalai. Perjumpaannya dengan Presiden pun bebas dari muatan politis. Kedatangan Pak Harto ke Genggong, kata Gus Dur, adalah untuk membuka Musyawarah Kerja Nasional Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) -persatuan pesantern-pesantren NU. “Pak Harto datang ke sini untuk bertemu dengan semua orang. Tak ada pesan khusus dari Pak Harto, misalnya, saya akan diterima di Istana Negara,” ujar Gus Dur waktu itu. Baginya, bersua dengan Kasad dan Kassospol ABRI juga biasa-biasa saja. Namun kacamata politik punya dugaan sendiri. “Gus Dur sedang melakukan netralisasi dengan pemerintah. Hampir 10 tahun Gus Dur di luar lingkaran kekuasan,” begitu penilaian Arbi Sanit, pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Arbi adalah salah seorang dari sekian pengamat yang memiliki tafsiran seperti itu. Boleh jadi dugaan Arbi meleset dan memang sudah dibantah oleh Gus Dur. Namun para pengamat yang berpikir seperti Arbi tentu tak sekadar menebak. Mereka menarik kesimpulan atas dasar catatan-catatan di seputar riwayat Gus Dur. Dan catatan itu bukan barang rahasia karena sudah menjadi konsumsi media massa -setidaknya dibisikkan di mana-mana. Walaupun dalam berbagaikesempatan Gus Dur mengatakan tak pernah punya persoalan dengan pemerintah, dugaan bahwa ia pernah “retak” dengan pemerintah telanjur meluas. Sebetulnya, dulu, Gus Dur dekat dengan kekuasaan. Ia, misalnya, pernah dipercaya menjadi anggota MPR dari Golongan Karya porsospol yang dekat dengan pemeritah. Namun entah mengapa hubungan baik itu memudar. Media massa dan para pengamat berspekulasi, keretakan itu dilatarbelakangi oleh tindakan Gus Dur pada tahun 1988. Ketika itu Gus Dur menghadiri sidang International Non-Governmental Forum on Indonesia (INGI), di Brussel, Belgia. Perserikatan lembaga swadaya masyarakat internasional ini adalah mitra IGGI, lembaga donor Indonesia yang telah bubar. Gus Dur datang bersama sejumlah aktivis LSM dari Indonesia lainnya. Di sana putra KH Wahid Hasyim itu meminta agar bantuan IGGI diberikan berdasarkan sikap Pemerintah Indonesia terhadap pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Pemerintah tak senang dibuatnya. Sementara para pengurus NU resah. Ada juga spekulasi, Gus Dur cuma kecipratan getah Benny Moerdani, Panglima ABRI 1983-1988.Tatkala Benny turun panggung seusai menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan pada 1993, Gus Dur ikut ketiban sial. Sebab sudah lama Gus Dur dikabarkan dekat dengan Benny. Adalah Gus Dur yang mendampingi Pangab Jenderal Benny berkunjung ke pesantren-pesantren setelah Tragedi Tanjung Priok pada 1984. Jenderal Benny juga disebut-sebut turut mengantarkan Gus Dur untuk menduduki tampuk Ketua Umum PB NU pada 1984 lewat Muktamar NU di Situbondo. “Banyak orang menyangka saya sudah menjadi orangnya (Benny - Red.). Padahal saya dekat dengannya itu supaya tahu apa langkah dan strategi,” kata Gus Dur suatu kali sebagaimana pernah dimuat Gatra. Entah mana yang benar. Yang jelas, di era 1990-an Gus Dur melewati hari-harinya dengan “lantang”. Manakala Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) didirikan pada Desember 1990, Gus Dur memilih berada di seberang. Ia enggan masuk ICMI, bahkan menuduh organisasi yang didukung oleh sejumlah pejabat tinggi pemerintah dan direstui Presiden Soeharto itu sebagai pengelompokan yang mengarah pada sektarianisme. Yang membuat para pendukung ICMI heran, mengapa Gus Dur tak mengecam Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) atau Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), yang berdiri lebih dulu ketimbang ICMI. Reaksinya bukan cuma sebatas kata. Bulan-bulan awal tahun 1991, kira-kira empat bulan setelah ICMI terbentuk, Gus Dur mendirikan dan memimpin Forum Demokrasi di sebuah penginapan di Taman Safari, Bogor. Sejumlah cendekiawan kondang -mayoritas nonmuslim- ikut membidaninya,seperti Mudji Sutrisno, Daniel Dhakidae, dan Franz Magnis-Suseno. Forum yang beranggotakan tokoh-tokoh dari berbagai golonga dan kelompok profesional tersebut bergerak dalam kegiatan penyadaran politik dan kultural. Beberapa kali mereka mengadakan diskusi yang diberitakan oleh media massa. Dari sana terdengar suara bahwa “semangat kebangsaan dan demokrasi makin melemah” atau adanya “kecenderungan kepentingan kelompok kian menonjol”. Suara-suara itu lantas ditafsirkan sebagai bentuk penentangan terhadap ICMI. Gus Dur tak segan-segan menuding ICMI bertujuan politis, ingin menguasai lembaga-lembaga politik di Indonesia. Bahkan sampai sekarang Gus Dur masih mempertahankan sinyalemen itu. “Saya keberatan bila Islam dijadikan bendera politik, dipakai untuk menghadapi orang lain,” katanya kepada Gatra.Agaknya ia belum mempercayai pernyataan Ketua Umum ICMI B.J. Habibie yang berkali-kali menegaskan bahwa ICMI bukan organisasi politik dan tidak bertujuan politis. Masih pada periode 1990-an, ketika umat Islam ramai-ramai mengutuk Monitor, tabloid pembuat angket yang memuat Nabi Muhammad, Gus Dur justru membelanya. Dan manakala pemerintah membatalkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pada tahun 1990, Gus Dur termasuk yang tak setuju. Sementara itu hubungannya dengan kalangan aktivis LSM yang kritis terhadap pemerintah makin akrab. Pengamat dan media massa menulis hubungan Gus Dur dengan pemerintah, khususnya Pak Harto, kian memburuk semenjak Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, akhir Desember 1994. Media massa mendeskripsikan nasib malang Gus Dur di muktamar yang dibuka oleh Presiden Soeharto itu. Sebagai Ketua Umum PB NU dan calon ketua umum berikutnya, sepantasnyalah ia memberi sambutan dan berdekatan dengan Presiden. Tapi, nyatanya, Gus Dur tak memberi sambutan dan senantiasa berada jauh dari Presiden. Tak jelas apa sebabnya. Tapi, menurut kacamata politik, peristiwa itu bisa dibaca bahwa Gus Dur kurang disukai. Ketika itu di Cipasung juga beredar fotokopi sebagain buku karangan Adam Schwarz berjudul Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Di situ antara lain dimuat pernyataan Gus Dur yang dinilai melecehkan Pak Harto. Buku itu agaknya dimanfaatkan untuk menjegal langkah Gus Dur ke pucuk pimpinan NU yang ketiga kalinya. Muktamar memang tetap memilih Gus Dur. Namun ia harus berhadapan dengan masalah. Pernyataannya dalam buku Nation in Waiting kabarnya menjadi hambatan Gus Dur, selaku Ketua Umum PB NU yang baru, untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Lebih dari itu, terbentuknya Koordinasi Pengurus Pusat Nahdlatul Ulama (KPPNU) pimpinan Abu Hasan, beberapa waktu setelah Muktamar Cipasung, direstui pemerintah. Pengurus tandingan PB NU hasil muktamar itu dinilai sebagai upaya menggusur Gus Dur. Belakangan KPPNU memproklamasikan diri sebagai PBNU yang sah walau aktivitasnya kini tak terdengar lagi. Namun Gus Dur tetap tegak di kursi PB NU dan tetap bergerak bebas. Di tengah-tengah konflik Partai Demokrasi Indonesia (PDI), ia berdiri di pihak Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI hasil Munas PDI di Jakarta pada 1993. Ia mengajak Mega ke pesantren-pesantren. Padahal Soerjadi, yang kata orang didukung pemerintah, sedang berupaya melorotkan Mega lewat Kongres PDI di Medan, pertengahan tahun 1996. Para ulama NU cemas. Mereka mencoba mengingatkan Gus Dur agar tak berlaku begitu karena dapat merugikan warga NU secara keseluruhan. Mega jatuh, pecah Kerusuhan 27 Juli 1996, kubu pendukung Mega menggugat Kapolri, Pangab, dan Menteri Dalam Negeri, yang dinilai ikut menyebabkan Mega kehilangan kursi. Selain itu Mega juga menggugat Soerjadi. Tapi Gus Dur melunak. Ia menasihati Mega supaya menarik gugatannya pada para pejabat tinggi. “Saya melihat tuntutan Mbak Mega terhadap ketiga pejabat tinggi sudah menjelma menjadi sebuah konfrontasi yang tak berkesudahan,” kata Gus Dur waktu itu. Selanjutnya, seperti sudah disebutkan di atas, Gus Dur bersua dengan Presiden Soeharto, Jenderal Hartono, Letnan Jenderal Syarwan Hamid, dan Mbak Tutut. Hari-hari berikutnya mungkin ia akan bertemu dengan pejabat tinggi lainnya. Lantas muncul analisis, Gus Dur sedang mendekati pusat kekuasaan. Sebaliknya mereka yang berada di lingkaran kekuasaan -yang umumnya Golkar- juga akan memetik keuntungan dalam pemilu mendatang. Asumsinya, Gus Dur adalah pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia. Kalau pemerintah mendekatinya, diharapkan jumlah massa NU yang mencoblos Golkar dalam pemilu mendatang akan makin besar. Analisis itu, antara lain, dikemukakan oleh Riswanda Imawan, dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seribu satu analisis memang bisa diajukan. Namun apa sebenarnya maksud “kemesraan” tadi hanya pihak yang sedang bermesraan yang tahu dan merasakan getaran masing-masing dan sejumlah akibat-akibatnya. Priyono B. Sumbogo