Nomor 14/III, 22 Februari 1997 Manuver Menjelang Pemilu Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid mengadakan pertemuan dengan Mbak Tutut dan Letnan Jenderal Syarwan Hamid. Manuver Gus Dur menuju pusat kekuasaan? TANGAN KANAN Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU, harus dibebat. Gus Dur, panggilan akrabnya, mengalami infeksi pembengkakan dan gangguan aliran darah balik. Walhasil, selama sepekan mudik Lebaran ke kampung halamannya di Jombang, Jawa Timur, tokoh kontroversial itu harus beristirahat total. “Saya harus mengikuti anjuran dokter,” kata Gus Dur, yang semestinya berceramah ke Semarang, Pasuruan, Pandaan, dan Ngawi, seusai Lebaran di kampung. Agaknya Gus Dur sendiri tidak menyangka bahwa Tuhan lebih menghendaki cucu Hadratusy Syekh Hasyim Asyari ini tinggal di rumah saja. Sejak jauh hari sebelumnya, sebenarnya Gus Dur, kini 56 tahun, memang sudah berencana untuk mudik bersama keluarga ke kampung halamannya. Ia tiba hari Jumat, dua hari menjelang Idul Fitri. Namun pada hari pertama Lebaran tiba-tiba tangan kanannya terasa cekot-cekot. Lengannya membengkak. Didampingi Choirul Anam, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur yang baru saja bikin heboh lewat buku putihnya itu, Gus Dur bergegas ke Surabaya. Setelah diperiksa Dokter Paul Tahalele, ahli bedah jantung dan pembuluh darah RSUD Dokter Soetomo, Surabaya, Dokter Paul menyatakan bahwa Gur Dur, pendiri Forum Demokrasi itu, kena gangguan aliran darah balik. Ia harus istirahat total untuk mempercepat kesembuhannya. Banyak yang tak menyangka cucu pendiri NU ini terkena gangguan kesehatan. Soalnya, sepanjang pekan itu, ketika masih di Jakarta, Gus Dur tak menunjukkan tanda-tanda sakit. Jadwal ceramahnya penuh, seabrek tamu bisa diterima, termasuk meladeni sejumlah wartawan. Bahkan pada hari Jumat, sebelum pulang kampung, penggemar musik klasik ini sempat membuat berita yang hingga akhir pekan lalu masih terus bergulir. Yaitu mengadakan pertemuan dengan Siti Hardijanti Rukmana, pengusaha pemilik Kelompok Cipta Lamtoro Gung Persada, yang juga dikenal sebagai putri sulung P residen Soeharto dan salah seorang Ketua DPP Golkar. Acara pertemuan Gus Dur dengan Mbak Tutut, panggilan akrab Siti Hardijanti Rukmana, berlangsung sekitar 90 menit. Intinya, Mbak Tutut bersedia membantu merampungkan pembangunan Gedung Serbaguna Muslimat NU di Pondok Cabe, Tangerang, yang terbengkalai sekitar setahun lantaran kehabisan duit. Gedung dua lantai yang dibangun sejak Maret 1994 itu memerlukan dana Rp 1,2 milyar. Sedangkan dana yang dikucurkan baru mencapai Rp 700 juta. Setelah itu proyek pembangunan Gedung Muslimat NU itu mandek. Merasa sulit, lalu Nyonya Aisyah Hamid Baidlowi, Ketua Umum Muslimat NU, menghubungi Mbak Tutut. Kenapa? “Ini atas saran Menteri Tarmizi Taher,” kata adik kandung Gus Dur ini. Sebetulnya beberapa pengusaha lain juga dihubungi. Tapi ternyata cuma Mbak Tutut yang menanggapi secara positif. Maka jadilah pembangunan gedung di atas tanah 2.000 meter persegi itu diambil alih Mbak Tutut. Diperkirakan dalam tempo tiga bulan pembangunan Gedung Serbaguna Muslimat NU bakal rampung dan siap pakai. Boleh jadi pertemuan Gus Dur-Mbak Tutut memang hanya membicarakan soal pembangunan gedung. Dan hingga pekan lalu juga belum ada perundingan berikutnya. Namun gaung pertemuan itu terus bergetar, dan gemanya melebar hingga merasuki sektor perpolitikan nasional. Ini bisa dimengerti, mengingat dua tokoh yang bertemu adalah figur yang punya nama besar dan masing- masing sudah punya garis dan predikat tertentu. Betapa tidak. Bagi pengamat politik, Gus Dur sudah punya cap sebagai tokoh yang “kritis” terhadap pemerintah. Gus Dur, misalnya, tak setuju terhadap pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), satu organisasi kaum cendekiawan muslim yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Gus Dur juga dinilai punya hubungan khusus dengan sejumlah LSM yang cenderung vokal terhadap pemerintah. Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh penting yang ikut mendirikan Forum Demokrasi dan bahkan menjadi ketuanya hingga sekarang. Adalah Gus Dur pula yang berani mengeluarkan pernyataan cukup keras terhadap Presiden Soeharto dalam buku A Nation in Waiting. Lalu banyak kalangan juga menilai bahwa Gus Dur yang pernah menjadi anggota MPR dari Golkar- itu menjalin hubungan akrab dengan Megawati, Ketua Umum PDI versi Munas, yang kini tak lagi diakui pemerintah. Semua itu makin mengukuhkan posisi Gus Dur sebagai tokoh yang emiliki citra “kritis” terhadap pemerintah. Makanya tak sedikit yang menilai Gus Dur masuk dalam kelompok oposisi. Barangkali lantaran tindakan yang dilakukan Gus Dur itu pula makanya sejak terpilih menjadi Ketua Umum PB NU pada akhir tahun 1994, “kabinet” Gus Dur belum diterima Pak Harto. Sedangkan Mbak Tutut, orang sudah tahu, adalah salah seorang Ketua DPP Golongan Karya dan putri sulung Pak Harto. Dilihat dari konteks ini, wajar jika pertemuan Gus Dur dengan Mbak Tutut tak hanya ditafsirkan sebatas urusan pembangunan Gedung Serbaguna Muslimat NU. Wajar jika orang melihat acara itu bernuansa politis. Ada yang menilai, Gus Dur sedang mendekat ke arah pusat kekuasaan. Sedangkan Mbak Tutut dinilai tengah berupaya masuk ke kantung NU. Di antara yang berpendapat demikian adalah Arbi Sanit, 57 tahun. Pengamat politik dari Universitas Indonesia itu menilai, pertemuan Gus Dur-Mbak Tutut punya dua tujuan penting. Dari sisi Abdurrahman Wahid, momentum ini bisa dipakai seperti forum untuk mencairkan hubungannya dengan pemerintah, setelah selama sekitar 10 tahun terasa renggang. Apalagi, setelah Peristiwa Tasikmalaya dan Situbondo, jarak Gus Dur dengan penguasa dinilai makin jauh. Terutama setelah Gus Dur menuding beberapa lembaga yang dekat dengan pemerintah terlibat di balik keonaran itu. “Saya melihat pertemuan ini dipakai Gus Dur untuk membersihkan diri setelah ia menuduh kiri dan kanan,” tutur Arbi. Dalam bahasa lebih lugas, Arbi bahkan menyebut, kini Gus Dur sudah masuk lingkaran kekuasaan. Kenapa? Karena kedatangan Mbak Tutut pastilah melalui lampu hijau dari Pak Harto, katanya. Dilihat dari sisi Mbak Tutut, pertemuan itu juga dinilai penting untuk melancarkan tugasnya selak u Ketua Tim Pemenangan Golongan Karya Jawa Timur. Sebuah provinsi yang menjadi basis utama NU. Apalagi Gus Dur jauh hari sebelumnya sudah menyatakan siap mengantar Mbak Tutut berkeliling ke berbagai pondok pesantren yang menjadi basis NU. “Jadi Golkar juga diuntungkan dengan peristiwa ini,” kata Arbi. Namun ada pula yang menilai pertemuan itu sekadar silaturahmi biasa. “Dulu Gus Dur sudah menemani Mbak Mega menemui Kiai Alawy di Sampang. Apa salahnya kalau kini bersama Mbak Tutut ke pesantren,” kata H.M. Rozy Munir, Ketua PB NU Bidang Kerja Sama Pemerintah dan Lembaga Kemasyarakatan. Nyonya Aisyah Hamid Baidlowi, Ketua Muslimat NU, juga berpendapat serupa. “Dulu, waktu kami mengirim surat ke Mbak Tutut, ya memang untuk minta bantuan. Bukan dalam rangka politik,” katanya. Analisis boleh-boleh saja. Namun ada atau tidaknya muatan politik dari pertemuan itu tentu Gus Dur dan Mbak Tutut-lah yang lebih tahu. Gus Dur sendiri menyatakan bahwa pertemuannya dengan Mbak Tutut tak punya nuansa politik. Tapi seusai pertemuan itu ia menyatakan siap mengantar Mbak Tutut ke kantung-kantung NU. Rencananya memang bakal ada pertemuan antara Mbak Tutut dan santri-santri nahdliyin di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Beberapa pesantren akan dikumpulkan jadi satu dalam sebuah perhelatan akbar yang mengh adirkan Mbak Tutut. “Bentuk pertemuan itu, ya, silaturahmi antara warga NU dan Mbak Tutut, dan dilaksanakan sebelum pemilihan umum,” kata Gus Dur. Nyonya Siti Hardijanti Rukmana sendiri, ketika ditanya tentang ajakan Gus Dur berkeliling ke kantung-kantung NU, tampak enggan menjawab. Seusai mengikuti sebuah acara di Departemen Agama pekan lalu, di hadapan sejumlah wartawan, Mbak Tutut malah bercanda. “Kamu kalau tanya kok ya aneh-aneh. Mbok kalau tanya itu jangan seperti itu, bolak-balik nanya undangan,” katanya kepada para wartawan yang merubungnya. Ketika didesak, Mbak Tutut tetap tak mau menjawab -tidak seperti biasanya. “Mbok ya nanti to. Tunggu saja nanti gimana,” katanya sembari tersenyum. Bila dirunut, sebetulnya bukan kali ini saja Gus Dur melakukan pertemuan yang bisa dinilai bernuansa politik. Gus Dur terlebih dulu sudah bertemu dengan Presiden Soeharto dalam acara Rabithah Ma’ahid Islami, perhimpunan pondok pesantren NU, di pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, awal November 1996. Dua pekan kemudian ia bertemu dengan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal R. Hartono di Pesantren Salafiyah as-Syafi’iyah di Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Pertemuan penting lain dilakukan Gus Dur dengan Letnan Jenderal Syarwan Hamid, Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI, di Restoran Manari, Jakarta, 25 Januari lalu. Gus Dur didampingi Mustofa Zuhad, salah seorang Ketua PB NU, dan Rozy Munir, Ketua PB NU Bidang Kerja Sama Pemerintah dan Lembaga Kemasyarakatan. Sedangkan Syarwan Hamid datang bersama Mayor Jenderal Budi Harsono, Asisten Sosial Politik Kassospol, dan Brigadir Jenderal Amir Syarifudin, Kepala Pusat Penerangan ABRI. Menurut Rozy Munir, ide pertemuan itu datang dari Syarwan. “Ini merupakan momen penting. Sebab, setelah Syarwan menyatakan bahwa NU kesusupan golongan radikal, hubungan praktis terputus,” kata Rozy. Menurut Rozy, makna penting pertemuan itu memang pada silaturahmi. Tak ada tawar-menawar politik apa pun. Di situ, katanya, PB NU hanya menyampaikan keinginannya agar berbagai keresahan di masyarakat segera diantisipasi secepatnya supaya tak berkembang jadi kerusuhan. Kabarnya, di forum itu pula Gus Dur mengadakan klarifikasi bahwa pihaknya tak pernah menuduh Syarwan terlibat dalam Kerusuhan Situbondo. Sayang, dari pihak Syarwan tak ada yang mau bicara terbuka. “Itu hanya pertemuan silaturahmi,” tutur Mayor Jenderal Budi Harsono. Menurut pengamat politik Riswandha Imawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berbagai langkah terpaksa diambil karena Gus Dur adalah politikus Islam yang terasing di antara politikus Islam lainnya. Beberapa manuver yang dilakukan, seperti menggandeng Mbak Tutut, diharapkan akan membuatnya lolos dari posisinya yang kepepet itu. Sampai di sini tak cuma Gus Dur yang menuai untung. Mbak Tutut sebagai Ketua DPP Golkar pun berkepentingan. Sebagai salah seorang fungsionaris penting di Golkar, Mbak Tutut juga membutuhkan Gus Dur yang akan mengantarnya masuk ke kantong-kantong NU. “Dalam istilah Jawa, manuver Gus Dur ini seperti tumbu oleh tutupe (bejana menemukan tutupnya - Red.),” kata Riswanda. Pada sisi lain, tampaknya Gus Dur ingin mematahkan hipotesis lama yang menyatakan bahwa pemimpin Islam hanya mampu mengakar ke dalam organisasinya dan tak mampu mengakar ke luar. Ia agaknya ingin membuktikan bahwa dirinya mampu mengakar ke dalam dan sekaligus akarnya tampak pula menyembul hingga ke luar tanah habitatnya. Iwan Qodar Himawan, Sapto Waluyo dan Loyalia Agape (Jakarta), Khudori (Surabaya)