D&R, 15 Februari 1997 Jurus Gus Dur Cuma di Pengadilan PADA akhirnya, Yayasan Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) melaporkan Abdurrahman Wahid ke Polda Metro Jaya. Pasalnya, Ketua Umum PBNU itu dianggap telah melakukan tindak pidana dengan memfitnah Huma- nika sebagai penyulut Kerusuhan Tasikmalaya, 26 Desember 1996. Lontaran tuduhan Gus Dur tersebut bermula dari kerusuhan yang terjadi di Tasikmalaya, yang notabene merupakan basis NU di Jawa Barat. Kerusuhan yang menghanguskan 70 bangunan dan 107 kendaraan serta menelan empat korban me- ninggal tersebut terjadi tidak lama berselang setelah Kerusuhan Situbondo, yang juga menjadi basis NU di Jawa Timur. Sekilas, orang bisa saja mengang- gap bahwa dua peristiwa itu bermaksud memojokkan NU. Dan Gus Dur, pemimpin sekitar 30 juta warga NU, rupanya termasuk yang berpikir begitu. Cara berpikir Gus Dur sebenarnya buka hal aneh. Sebagaimana kebiasaan yang diterapkan selama ini, setiap kali ada demonstrasi dan kerusuhan harus ada pihak ketiga, pihak penunggang, dalang, atau aktor intelektual di belakang- nya. Jadi, sebenarnya Gus Dur cuma ikut-ikutan menerapkan cara berpikir “konspiratif” seperti itu. Pada awalnya adalah acara diskusi seusai buka puasa yang diadakan Forum Dialog Bhinneka Tunggal Ika di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat, akhir bulan lalu. Gus Dur dalam forum itu jelas-jelas mengungkapkan Kerusuhan Tasikma- laya ada dalangnya dan itu bernama Humanika. “Saya tidak ngomong main-main. Saya tahu persis kalau Yayasan Humanika terli- bat dalam kasus Tasikmalaya. Silakan bawa saya ke pengadilan. Saksinya ba- nyak,” kata Gus Dur jelas. Pada forum diskusi di hotel berbintang lima itulah untuk pertama kalinya Gus Dur mengungkapkan nama jelas, meski bukan nama seseorang, melainkan sebuah lembaga. Sebelum pertemuan forum dialog tersebut, Gus Dur memang hanya menyebutkan secara tersamar pihak-pihak dan orang-orang yang menurut dia terlibat Kerusuhan Situbondo dan Tasikmalaya. Menurut Gus Dur, Yayasan Humanika-lah yang mendanai anak-anak muda NU untuk berdiskusi, sekaligus membuka kantor di kota-kota kecil seperti Tasikmalaya. “Warga NU di Jombang, Surabaya, Kediri, Yogya, Tasikmalaya, Garut, dan di mana-mana ditawari bantuan. Hal itu sudah berlangsung berbulan-bulan,” kata Gus Dur, “kenapa mereka, kok, tiba-tiba begitu berbaik hati?” Konon, memang ada imbalan yang diminta, yakni agar anak-anak muda NU ber- gerak dan berdemonstrasi kalau keadaan memungkinkan. Nah, kalau sudah kisruh seperti yang terjadi di Tasikmalaya begitu, lalu yang kena getahnya NU. Demikian inti tuduhan Gus Dur, yang kabarnya didasari bukti-bukti yang kuat. Bukan saja bukti dari kalangan NU, juga dari kalangan Humanika. Lebih jauh, Gus Dur juga mengatakan bahwa pihaknya memiliki laporan-laporan tertulis dan memiliki rekaman pertemuan-pertemuan Humanika yang membicarakan tentang rencana Tasikmalaya. “Bahkan, disket yang menyangkut soal itu juga sudah diberikan kepada saya. Pokoknya, ada bukti otentik,” tuturnya. Menurut Gus Dur, memang ada perangkap yang khusus dipasang untuk memicu kerusuhan di Tasikmalaya. “Saudara Mimih diajak berdoa bersama di masjid oleh orang dari pihak lain yang menjadi ketua koordinator penggalangan massa,” ujar Gus Dur. Saat itulah, di luar masjid ada preman-preman dan tukang-tukang ojek yang kemudian melakukan perusakan. ‘’ Karena yang me- mimpin doa itu Mimih, orang PMII, dikatakan NU terlibat,” demikian Gus Dur menjabarkan skenario yang didengarnya. Lebih jauh, untuk membuktikan kebenaran tuduhannya, Gus Dur bahkan bersedia dikonfirmasikan ke pihak Humanika. Asalkan, Gus Dur diberi kebebasan untuk memanggil orang-orang Humanika yang dia maksud. Kalau sudah berkumpul, barulah ia bersedia menjabarkan duduk persoalan sebenarnya. “Saya akan terangkan nanti: ini, lo, yang omong ini,” kata Gus Dur. Sebenarnya, Gus Dur sudah meniup-niupkan kecurigaannya sejak awal Januari lalu. Ia menyebutkan beberapa inisial nama ke wartawan-wartawan di berbagai pertemuan. Jadinya, Gus Dur’s List berkembang di kalangan media massa mela- lui wawancara dan konfirmasi-konfirmasi. Walaupun nama-nama tidak terungkap dengan gamblang, pihak-pihak yang terserempet terbangkitkan juga amarahnya. Orang-orang yang terserempet itu ada yang cuma gusar, ada yang berusaha memaklumi kiai yang suka kontroversial itu, hingga ada yang balik menuding dengan sangat keras. “Kalau dia merasa NU didiskreditkan, jangan lalu menim- pakan kesalahan ke pihak lain,” kata Adi Sasono, yang inisial namanya adalah inisial yang antara lain disebut-sebut oleh Gus Dur. Akan halnya Yayasan Humanika, seperti sudah disebutkan, melakukan langkah konkret: mengadukan Gus Dur ke Polda Metro Jaya atas tuduhan mencemarkan nama baik. Menurut Andrianto, Ketua Humanika, tuduhan Gus Dur sangat tidak beralasan. Kegiatan utama yayasan yang didirikan pada 3 Juli 1990 oleh eksponen Kelompok Cipayung itu adalah diskusi tentang masalah pembangunan agar lebih berpihak ke kaum lemah atau miskin. “Membuat kerusuhan sama sekali bukan kegiatan kami,” kata Bursah Zarnubi, mantan Ketua Humanika. Pokoknya, Bursah menolak tegas bahwa Humanika terlibat dalam Kerusuhan Tasik- malaya. “Ucapan Gus Dur tidak berdasar fakta dan informasinya disuplai oleh pihak yang jelas ingin menghasut,” kata Bursah, yang mengaku sangat menya- yangkan sikap Gus Dur yang selama ini dianggap sebagai tokoh demokrat itu. Lalu, bagaimana dengan tuduhan Gus Dur bahwa Humanika sengaja membiayai anak-anak muda NU agar bisa “dimanfaatkan”? Pihak Humanika membenarkan bahwa yayasan itu menaruh perhatian terhadap anak-anak muda NU. Tapi, itu tak lebih karena selama ini pimpinan NU tidak memberikan perhatian ke anak-anak muda tersebut, kata Bursah. “Saya terus terang syok mendengar tuduhan Gus Dur. Tadinya, kami pikir bercanda, tapi ternyata serius. Gus Dur sudah ter- lalu jauh,” ujar Bursah. Pihak lain yang terserempet adalah Eggi Sudjana, aktivis yang memiliki ca- tatan cukup panjang sebagai penggera demostrasi. Walaupun tidak jelas menye- but nama Eggi dan tidak pernah secara terbuka mengutarakan nama Eggi, tapi Gus Dur sempat menyebut inisial E.S. sebagai dalang Kerusuhan Tasikmalaya. Masalahnya, benarkah E.S. itu maksudnya Eggi Sudjana? Eggi sendiri bilang ia bukan aktivis Humanika dan tidak ikut dalam diskusi-diskusi Humanika dalam empat bulan terakhir ini. Pria berkulit gelap, berperawakan besar, dan berka- camata minus tersebut memang bukan orang asing dalam kegiatan demonstrasi. Tapi, “Selama mengorganisasi demonstrasi, saya tidak pernah bertujuan meru- sak,” kata lulusan Institut Pertanian Bogor yang pernah mendapat beasiswa dari pemerintah Kuwait untuk belajar sosisologi ke Jerman itu, sambil mencon- tohkan demo anti-SDSB pada 10 November 1993. Eggi benar. Memang, waktu itu, barisan demonstran anti-SDSB dari Departemen Sosial di Salemba menuju Istana Merdeka sama sekali tidak menimbulkan keru- sakan. Padahal, ratusan orang itu juga melewati pertokoan dan gereja. “Telunjuk saya sakti waktu itu, tinggal tunjuk saja, massa akan bergerak. Saya tahu psikologi massa,” kata Eggi. Menurut Eggi, dia sempat mencoba mengkonfirmasikan tuduhan Gus Dur atas diri- nya. Pada acara diskusi yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, pertengahan Januari lalu, Eggi sempat nyamperin Gus Dur langsung. “Gus Dur, saya ini Eggi.” “Saya tahu,” sahut Gus Dur. “Saya mau nanya mengapa Anda sering menyebut nama saya?” kata Eggi. “Sudah, you jangan ngomong begitu, ini kan bulan Puasa,” jawab Gus Dur, menurut Eggi. Lalu, Eggi pun diam. Lalu, bagaimana dengan A.S. yang juga disebut-sebut oleh Gus Dur, yang lalu orang menduga bahwa itu Adi Sasono? Bila benar yang dimaksudkan itu adalah Adi Sasono, Sekjen Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indo- nesia (ICMI). Gus Dur salah alamat. “Gus Dur tidak tahu bedanya antara Yayasan Humanika dengan Yayasan Humaika,” kata Adi Sasono, yang menjadi pendiri yayasan yang namanya hanya minus “n” dengan “tertuduh” Kerusuhan Tasikmalaya itu. Menurut Adi, Yayasan Humaika didirikan tahun 1976 oleh Adi bersama-sama dengan Ali Sadikin, Adnan Buyung Nasution, dan Ny. Wahid Hasyim, ibunda Gus Dur, guna menyantuni para narapidana dan tahanan politik. Dalam hal ini, Adi Sasono hanya memilih untuk istigfar. Apalagi, B.J. Habi- bie, selaku Ketua Umum ICMI, sudah menasihatkan agarAdi tidak bereaksi. “Karena, dia itu pemimpin umat. Kalau kami membalas, nanti malah mencoreng wajah sendiri. Saya istigfar sajalah karena ini bulan Puasa,” kata Adi. Namun, kenapa Gus Dur, pinjam istilah Adi Sasono, berakrobat politik pada saat masyarakat sedang rentan? Apakah Gus Dur semata-mata bertindak seperti itu demi 30 juta umat NU yang sempat ketakutan karena Peristiwa Situbondo dan Tasikmalaya? “Ini sebenarnya bukan masalah khas NU, tapi masalah kita semua,” kata Adi. Dan, benarkah Kerusuhan Situbondo, kemudian Tasikmalaya, dimaksudkan untuk menyingkirkan Gus Dur dari NU? “Menurut pandangan saya, Gus Dur itu tidak penting. Masak, mau menjatuhkan Gus Dur harus dengan dua peristiwa besar yang kerugiannya sampai puluhan miliar rupiah?” kata Eggi. Yang tampaknya bisa diduga, Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi Ketua PBNU dua periode itu sangat khawatir bila warga NU dituduh melakukan tindakan berbau suku, agama, ras, dan antargolongan. Pada saat terjadi Kerusuhan Situbondo, Gus Dur, yang saat itu sedang berada di Roma, buru-buru mengirim- kan surat permintaan maaf atas nama warga NU ke berbagai media massa di Indo- nesia. Masalahnya, bila analisa itu benar, tentu saja terbuka dua kemungkinan atas perhatian Gus Dur tersebut. Mereka yang melihat dengan kacamata positif akan menerimanya dengan biasa-biasa saja. Tapi, mereka yang melihat dengan negatif bisa saja bertanya kepada Gus Dur; “Belum apa-apa, kok, sudah minta maaf. Jadi, mestinya ada apa-apa, dong?” Sampai di titik itu tampaknya memang pe- ngadilanlah yang paling afdol guna menjernihkan segala sesuatunya—dengan asumsi, semua pihak memberikan keterangan jujur, lugas, tanpa bau politik, apa adanya. Kecuali, ternyata ada pihak ketiga yang berkepentingan dan menga- caukan segalanya. Laporan Rachmat H. Cahyono