Tempo Interaktif, 15 Februari 1997 Wawancara Masdar F. Mas'udi: "Kharisma Kiai Meredup Jika Menjadi Corong Orsospol" Pesantren dan politik kadangkala susah dipisahkan. Apalagi jika kita tengok lintasan sejarah: perkara kiai dan pondok pesantren mendukung orsospol, sudah ada sejak awal fusi partai Islam menjadi PPP. Ada pula yang begitu kental berafiliasi dengan Golkar, seperti terlihat pada Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur. Ujung-ujungnya, banyak bantuan yang mengalir ke pesantren itu. Dan nama pesantren itu pun menjadi berkibar, kendati muncul pula resikonya: kehilangan santri. Mereka rame-rame eksodus menuju pesantren lain, mencari kiai lain. Tetapi apakah hal itu kini masih terjadi? Benarkah pesantren yang aktif dalam politik masih disegani? Menurut Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Masdar F. Mas'udi, jika pesantren dan kiainya berpolitik praktis, maka buntutnya akan mengancam otoritas sang pemimpin informal itu. "Kharisma kiai meredup kalau kiai ikut bermain dalam percaturan dalam politik, dengan menjadi corong salah satu orsospol tertentu," ujar kiai muda yang rajin mengamati dunia pesantren ini. Bagi Masdar, kiai lebih tepat berperan di luar pentas politik formal, seperti menjadi anggota DPR, misalnya. Apa sebab? Berikut wawancara Darul Mahmada dengan TEMPO Interaktif dengan penggagas kajian kitab fikih kontekstual dan pemred jurnal Pesantren, yang pernah menggegerkan dunia pesantren itu, Sabtu, 1 Februari 1997 lalu. --------------------------------------------------------------------------- Ada ungkapan: lebih baik tujuh puluh tahun dalam kekuasaan otoriter dari pada satu hari dalam anarki. Sejauh mana ungkapan itu meresap pada umat Islam, khususnya kiai pesantren? Masih terasa sampai sekarang. Apalagi ulama sebagai pemimpin umat dipinggirkan oleh kekuasaan, dan umat terpojok di sudut sampai tidak berdaya. Aroma dari ajaran tasawuf itu sangat menekankan kepada sikap menerima keadaan sebagaimana adanya. Dan ini sangat bermanfaat dalam memberikan kekuatan kepada orang yang sedang terpojok untuk tidak hancur sama sekali. Tetapi yang menjadi persoalan kemudian: apakah keadaan seperti itu bisa diubah untuk membangun optimisme bagi kalangan umat Islam? Karena umat Islam memiliki juga memikul tanggung jawab sekaligus memiliki potensi dalam proses perubahan sosial di masyarakat. Semangat ini yang seharusnya dibangkitkan dalam kehidupan politik umat Islam. Dan harus diupayakan menjadi lebih konsepsional. Dengan kaidah itu seharusnya umat Islam mampu mendefinisikan secara jelas perbedaan antara imamah (kepemimpinan) dan hukumah. Kemudian diterjemahkan secara objektif berdasarkan program-program politik yang masuk akal dan bisa dipertanggung jawabkan secara terbuka untuk kepentingan masyarakat, sehingga tidak ada lagi definisi secara sepihak oleh penguasa. Sebab jika penguasa yang mendefinisikan biasanya tidak mengena pada rakyat. Saya kira, umat Islam sudah semestinya percaya kepada kemampuannya sendiri. Sehingga bangkit dan ikut menentukan proses perubahan di dalam tatanan sosial ekonomi yang adil untuk kepentingan rakyat kecil. Bagaimana konsep fikih siyasah, atau fikih politik menurut kalangan pesantren? Di pesantren seperti halnya wacana fikih yang lain, sudah kadung terjebak kepada satu wacana yang sangat teknis dan praktis, seperti kita lihat pada pembahasan fikih pada umumnya. Sangat teknis dan praktis. Ada rukun, serangkaian tata cara yang njlimet, dan detail. Sedangkan pandangan sosial yang ada dibalik fikih filsafat, fikih itu sendiri, atau filsafat syariah atau filsafat hukum, itu 'kan jarang didalami dan jarang diselami. Sehingga, fikih menjadi sebuah wacana yang teknis yang seperti tidak punya visinya sendiri. Begitu juga di dalam hal fikih siyasah. Fikih inipun telah diberi pengertian yang praktis dan teknis. Siyasah itu pun dipahami dalam bahasa siasat betul, sehingga sangat teknis dan praktis. Kita bersiasat untuk apa, atas dasar apa kita bersiasat, untuk tujuan apa dan bagaimana strategi dan caranya, hampir tidak pernah muncul. Oleh karena itu, kalau kita lihat dalam kenyataan politik, di anataranya di kalangan masyarakat pesantren, itu pun berkisar pada tema-tema yang bersifat teknis praktis. Misalnya dalam soal pemilu, yang menjadi perhatian para fukahanya (ahli fikih) atau kiai-nya itu: kita mesti memilih partai mana nih, kita mesti memilih gambar mana nih, dan kita mesti ajak umat ini, memilih atau mendukung kelompok mana nih, selalu saja begitu. Tapi sebuah proses untuk melakukan refleksi yang lebih sedikit mendalam : apa sesungguhnya makna pemilu dalam menegakkan keadilan, misalnya, jarang sekali dilakukan. Yang tumbuh hanya sebuah seremoni demokrasi yang tidak memiliki substansi, yang tidak signifikan. Tapi, apa makna pemilu di dalam proses kenegaraan yang kita jalani secara real, itu juga jarang sekali dilakukan. Apalagi sampai pada hakekat, untuk apa sesungguhnya kita bernegara, dimana letak kita sebagai rakyat, di dalam konstelasi kenegaraan, itu lebih jauh lagi, lebih tidak terpikirkan lagi. Wacana fikih siyasah (politik) juga terjebak dalam tataran yang sangat teknis praktis. Kalau begitu, Anda melihat politik kiai-kiai pesantren itu sangat pragmatis? Ya, memang begitu. Saya merasakan betapa ada berbedaan antara satu kiai dengan kiai yang lain. Dan ini yang seringkali menjadi ganjalan dalam hubungan antara mereka sendiri. Padahal sebenarnya satu sama lain tidak bisa menyalahkan, karena masing-masing tidak tahu siapa yang sebenarnya berpolitik. Bisa diberi contoh perbedaan diantara itu? Lihat saja beberapa kiai tertentu yang mendukung salah satu orsospol. Lantas berpidato di podium menyindir atau menyerang kiai lain karena pilihan orsospol-nya yang berbeda. Ini 'kan sudah menjadi rahasia umum di lingkungan NU. Sebagai justifikasi, bila salah satu kiai memilih orsospol tertentu merasa lebih khittah (sesuai dengan semangat keputusan NU untuk kembali ke khittah 1926 yang membebaskan pilihan politiknya, Red) dan kiai yang memilih orsospol lain juga merasa dirinya yang paling khittah. Sejauh mana pengaruh kiai dalam menentukan pilihan politik santri dan pengikutnya? Tergantung tebal tipisnya pengaruh kiai itu sendiri. Jika kiai itu karismatik dan dihormati oleh umatnya, tentu akan berpengaruh besar terhadap pilihan pengikutnya. Akan tetapi pengaruh kiai juga menjadi tidak setebal yang kita gambarkan. Beberapa kiai sudah mengambil posisi netral untuk tidak terlalu memaksakan dengan menggiring umatnya pada pilihan-pilihan politik tertentu. Meski pun masih ada yang memaksakan seperti itu. Tapi dengan khittah 26, saya kira di kalangan kiai-kiai juga mulai mengendurkan keterlibatannya secara langsung kepada bidang politik. Kiai lebih dekat dengan umatnya dari pada menjadi suatu kontestan tertentu. Kini berbeda, tidak seperti dulu ketika NU masih menjadi partai. Dulu kiai berpolitik dengan justifikasi keagamaan dan sangat berkepentingan mengajak umatnya. Kalau perlu menggiring umatnya. Apa landasan kiai-kiai yang berpolitik seperti menjadi calon legislatif? Apakah mereka mempuyai visi? Saya ragu kalau mereka memiliki visi terhadap kehidupan politik jangka panjang. Bisa jadi karena pengaruh lingkungannya, sehingga ia mengambil posisi kedalam partai tertentu. Karena ia dianggap sebagai orang yang berpengaruh, maka pengaruhnya itu diapresiasikan oleh kelompok politik tertentu untuk dipakai mendukung orsospol tertentu. Padahal itu bukan pilihan independennya. Visi politik yang jelas justru dipakai oleh pihak yang memakainya. Sehingga kiai seperti itu tak lebih sebagai alat daripada penentu tujuan. Memang, jadi alat sebenarnya tidak cukup terhormat. Jadi bisa memudarkan kharisma kiai di mata santri dan umatnya? Tampaknya begitu. Kiai yang hanya menjadi aparat partai tertentu, terlebih bila keterlibatannya di partai intensif, seperti menjadi anggota parlemen, saya lihat secara jelas dan gamblang mereka mengalami alienasi (keterasingan) dengan umatnya. Kita bisa lihat sebagian kiai yang sudah mengakar pada masyarakat, karena sebagai pemimpin umat, pemimpin agama di masyarakatnya atau pengasuh pesantren, setelah menjadi anggota DPR dan ditempatkan di suatu asrama, yang ia tidak serasi dengan lingkungan asalnya. Interaksinya terpotong karena kawanan yang lain. Saya kira kiai akan naik martabatnya apabila berada di tengah-tengah umat. Ada yang mengatakan posisi para kiai di DPR tidak strategis? Tidak strategis dan tidak proporsional. Itu karena visi politik dari mereka tidak jelas, sehingga sewaktu-waktu dapat terkooptasi, padahal tanpa terasa ada sesuatu yang hilang. Repotnya, dia tidak merasa diperalat dalam hal ini. Apakah semua kiai yang berpolitik hampir semuanya begitu? Sebagian besar, kecuali bila memiliki kepribadian yang kuat dan sadar betul bahwa peran sosial dia di tengah-tengah masyarakat tidak dapat ditinggalkan. Seperti Kiai Bisri Syansuri (mantan Rais Am NU). Ia menjadi anggota parlemen , tetapi intensitasnya sebagai aparat partai sangat terbatas. Ia tetap saja tidak memutus hubungan dengan umat di bawah. Saya rasa yang seperti beliau itu bisa dihitung. Sikap pragmatis para kiai biasanya didasari oleh tuntutan fasilitas material. Apakah ini bisa dikatakan termasuk upaya membangun umat? Bisa saja. Retorikanya membela umat. Tetapi menurut saya, hal itu lebih pada ketidaktahuan akan aktivitas parlemen yang ada. Jika sudah mengetahui keadaan DPR, apa yang bisa diperbuat jika dia berada di DPR? Bukankah dengan mendapatkan fasilitas dari orsospol, pesantren yang diasuhnya akan lebih maju? Saya pikir tidak begitu. Karena itu belum terbukti. Justru ketika kiai mengambil posisi yang independen, walau pun ia bisa saja memberikan pilihan tertentu, memberi angin terhadap satu orsospol tertentu. Tetapi ia tetap independen. Jika kiai tidak membiarkan dirinya menjadi instrumen dari sebuah kekuatan politik tertentu, justru ia akan lebih mendapatkan fasilitas. Apakah di kalangan NU masih banyak kiai-kiai yang independen? Ya, masih banyak. Bukankah dalam daftar caleg, kiai itu semakin sedikit jumlahnya, dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kenapa bisa menurun? Sebagian karena faktor orsospolnya sendiri. Apalagi kiai-kiai NU sendiri sekarang mulai mengambil jarak dengan orsospol. Meski pun ada afiliasi dengan dengan orsospol, tetapi tidak sampai menjadi aparat. Saya kira itu lebih bagus. Dan sejarah kiai adalah sejarah orang yang independen dalam mengambil keputusan. Kalau ia sudah masuk ke dalam partai politik, maka ia bisa menjadi objek dari kepentingan lain. Dan khittah (garis perjuangan) kiai itu seperti itu, independen. Sanggup mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Bukankah sejarah NU tidak bisa lepas dari panggung politik? Politik dalam arti politik formal untuk menyiasati kekuasaan. Politik sebagai suatu usaha untuk menjadikan masyarakat yang adil dan maslahat itu memang tidak boleh dilepaskan. Sehingga dalam peranannya sebagai kiai di bawah pun, bisa mengambil peranan politik. Ketika mereka berkata kepada penguasa setempat, agar orang-orang di sekitar tempat tinggalnya jangan digusur dengan semena-mena. Ketika ada invasi kepentingan-kepentingan modal kuat dan mereka harus disingkirkan dan kiai itu bilang: "Jangan!", dengan pengaruh yang dimilikinya itu sudah politik. Itu menurut saya politik yang lebih substansial dari pada politik formal yang sebenarnya hanya menempatkan dirinya pada posisi yang instrumental. Apakah tidak mungkin kiai-kiai NU yang berpolitik ikut menentukan kebijakan nasional? Kebijakan nasional bisa saja dilakukan tanpa harus masuk dalam lembaga politik formal, seperti DPR. Tokoh-tokoh agama itu bisa dengan pengaruhnya memiliki pengaruh politik tertentu, tanpa harus menjadi aparat dari lembaga politik formal. Orang seperti Gus Dur (Ketua Umum PBNU), dan Mas Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah) itu kan tidak masuk dalam lembaga politik tertentu, tetapi bukan berarti mereka tidak memiliki pengaruh politik. Dan politik seperti itu sebenarnya politik yang paling cocok dimainkan kiai-kiai. Jadi, dalam pemilu 1997 peranan para kiai tidak begitu menonjol? Ya. Apalagi jika dibandingkan dengan ketika NU menjadi partai politik sendiri atau ketika kiai-kiai masih mengatakan bagian dari PPP, misalnya. Sekarang ini lebih slow (lamban) dan saya kira lebih bagus. Apa pengaruhnya bila seorang kiai atau pondok pesantren berafiliasi secara jelas kepada partai politik, misalnya dengan Golkar? Saya kira ada ruginya. Tetapi apabila ia bisa mengatakan bagian dari satu partai, maka ia merendahkan dirinya sendiri. Karena ia harus rela untuk disikapi oleh umat dan masyarakatnya yang juga belum tentu punya afiliasi politik yang sama. Anda bisa menyebutkan siapa ulama yang jelas-jelas terlibat dalam politik? Kiai Syamsuri Baidowi (Tebuireng, Jombang), Salim Ridho. Beliau-beliau itu semula sangat mengakar, kiai Tebu Ireng menjadi tumpuan santri-santri dalam persoalan agama. Wisdom (arif bijaksana), dan setelah ke Jakarta, ya, tidak punya tempat lagi. Kalau kiai-kiai yang sekarang? Masih ada. Sayang menurut saya, karena dalam parlemen ia akan dihitung sebagai nomor saja, tak ada bedanya dengan nomor yang diperoleh Ansor dan Pemuda Pancasila. « © »