[Image] --------------------------------------------------------------------------- Wawancara KH Aziz Mashuri: "Kiai Berpolitik, Rasa Hormat Santri Bisa Menurun" --------------------------------------------------------------------------- Kiai Haji Aziz Mashuri, 54 tahun, adalah pimpinan harian Partai Persatuan Pembangunan ketika NU masih berfusi di dalam PPP. Itu terjadi pada Pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1971. Kini, kiai ini menjabat sebagai Wakil Ketua Pesantren Mambaul Ma'arif Genggong, Probolinggo, sejak 1996. Kiai Mashuri yang lahir di Tuban juga pernah mengasuh pesantren di Lasem, Jombang, dan Yogyakarta. "Karir"-nya sebagai kiai cemerlang, terbukti dari mencuatnya nama pondok-pondok pesantren yang dipimpinnya. Mengaku sangat simpati pada Gus Dur, ayah tiga orang anak ini sekarang meninggalkan gelanggang politik dan memilih bergelut dengan dunia santri. Jadi, kegiatannya sekarang adalah keliling kampung ke kampung di berbagai daerah untuk berdakwah. Dia tak ingin melirik dunia politik lagi. "Saya setuju pondok pesantren harus netral dan tidak berpihak pada satu orsopol tertentu. Ini akan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan," katanya pelan, seperti mengingat pengalamnnya dulu. Berikut wawancara via telepon Hani Pudjiarti dari TEMPO Interaktif dengan Kiai Mashuri yang berada di Genggong, Probolinggo, Kamis (6/2) lalu. --------------------------------------------------------------------------- Mendekati Pemilu 1997 ini, nampaknya pesantren menjadi primadona untuk didekati orsospol. Komentar Anda? Berdasarkan sejarahnya pondok pesantren memiliki tiga peran dan fungsi. Yakni, sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan Islam. Kemudian sebagai lembaga perjuangan dan dakwah Islamiyah. Selanjutnya pesantren juga ikut aktif membina kehidupan umat beragama serta meningkatkan kerukunan antar umat beragama dan bernegara. Ini yang dirumuskan di Mukernas (musyawarah kerja nasional) pesantren yang terakhir. Jadi melalui pernyataan yang disebut deklarasi jati diri itu pesantren sudah meneguhkan kembali komitmen eksistensinya yaitu untuk hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat dan bangsa Indonesia. Maka, menghadapi Pemilu 1997 nanti, itu tergantung dan diserahkan pada masing-masing pesantren, apakah mau terlibat aktif dalam satu orsospol atau tidak. Yang jelas, komitmen pesantren sudah ada. Penegasan komitmen itu dalam Mukernas bertujuan supaya pesantren tidak terkotak-kotak ke salah satu orsospol. Jadi, dengan komitmen tadi, kiai seharusnya tidak berpihak ke orsospol tertentu? Yang terang, resiko yang akan terjadi ditanggung oleh kiai dan santrinya. Saya melihat secara prinsip santri sekarang dan dulu dalam hal politik praktis kelihatan berbeda. Dunia politik sekarang ini sangat arogan. Dulu, santri selalu menurut apapun kata kiainya. Sekarang ini nggak bisa lagi. Dari kenyataan ini, umpamanya si kiai aktivis PPP, apakah otomatis santrinya ikut? Belum bisa ditebak. Mungkin secara lahiriah si santri itu hormat kepada kiainya, tapi hati kecilnya nggak bisa ditebak. Lha, karena itu kalau mau berkumpul dalam satu orsospol tertentu, pengotakan akan jelas terjadi. Akhirnya, terjadilah hal-hal yang tidak kita inginkan. Menurut saya, deklarasi jatidiri itu masih dipakai dan diterapkan oleh pondok-pondok pesantren. Dengan begitu pondok pesantren berada di tengah. Jadi pesantren tidak boleh berpolitik? Kalau berpolitik boleh-boleh saja. Yang tidak boleh adalah berpolitik praktis langsung, seperti terlibat aktif dalam satu orsospol tertentu. Masalahnya, santri itu bermacam-macam. Dan pesantren harus melestarikan ajaran yang sudah terkenal yaitu kehormatan santri kepada kiai. Kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, bisa jadi kehormatan santri kepada kiai akan berkurang. Belum lagi karena ketentuan orsospol yang dipilihnya menerapkan ideologi yang berbeda, maka si santri akan semakin bingung. Saya sarankan supaya hubungan kiai dan santri berlangsung baik, ya, tidak perlu terjun langsung dan berpolitik praktis. Tapi kenyataannya, banyak kiai mendukung satu orsospol tertentu? Itu hak mereka. Tetapi yang terjadi nanti adalah hal-hal yang tidak kita inginkan tadi. Misalnya kalau kiainya ada di PPP, Golkar, atau PDI, aspirasi yang dibawa si kiai, ya, ke orsospol itu. Tapi si santri punya pemikiran lain yang tidak memihak PPP, Golkar, atau PDI, ya, mereka akan mbalelo. Lalu keharmonisan terganggu. Antara kiai dan santri nggak bisa bersatu, 'kan repot. Kita nggak mau ini terjadi. Adakah peta wilayah, di mana saja basis pesantren tiga orsospol peserta pemilu? Yang banyak Golkar dan PPP. Di Jombang, pesantren yang Golkar adalah Darul Ulum yang terkenal itu. Sampai sekarang kiainya anggota DPR dari Golkar. Basis PPP pada umumnya adalah pondok-pondok pesantren di sekitar Pasuruan. Pada Pemilu 1997 ini, kelihatannya kiai makin diperlukan untuk menaikkan suara? Perhitungan lahir, bisa saja kiai menaikkan suara. Kenyataannya belum tentu demikian. Terkadang santri mengikuti kiai, tapi bisa juga dia punya pilihan sendiri. Kabarnya pesantren yang tidak sejalan dengan pemerintah jarang mendapat sumbangan dana? Memang ada yang demikian, dan itu selalu kita khawatirkan. Pengalaman yang sudah-sudah memang begitu. Tapi kendala ini adalah ujian bagi pesantren yang ingin bersikap netral dan mau menegakkan independensinya. Beberapa kiai NU umumnya konsisten dan tidak terpengaruh pada hal begini. Bagaimana menjelang Pemilu 1997 ini? Akan terjadi bermacam-macam kejadian. Dengan begitu masalah yang ditangani akan sangat kompleks. Situasi menghadapi Pemilu 1997 sangat berbeda dengan sebelumnya. Maka, situasi rawan sekarang ini merupakan peringatan untuk semua pihak agar mengadakan self-correction untuk menata situasi politik mendatang. Benarkah posisi imamah (kepemimpinan) dalam PPP sering diincar dan diperebutkan oleh kiai NU? Ada benarnya, ada tidak benarnya. Karena ternyata kiai-kiai pesantren terdiri dari bermacam-macam, dan tidak bisa digiring ke dalam satu kekuatan orsospol. Karena tentunya bargaining yang diajukan mahal harganya. Bila tujuan yang ditentukan orsospol tidak tercapai resikonya akan ditanggung para kiai. NU selalu mengatakan dirinya netral. Tapi dalam waktu dekat Gus Dur justru akan menggandeng Mbak Tutut masuk pesantren. Apakah ini langkah mengajak warga NU masuk Golkar? Ya, sebenarnya Gus Dur sendiri harus terikat pada keputusan Munas Situbondo. Tapi langkah-langkahnya kadang-kadang membuat orang menilai: "Lho rupanya Gus Dur sudah terjun ke politik praktis". Tapi dengan enteng Gus Dur bilang itu enggak langsung politik praktis. Ya, kesan akhir yang ditangkap seakan-akan Gus Dur sudah masuk situ. Tapi kalau dilihat Gus Durnya sendiri 'kan nggak begitu. Maksud Anda? Orang yang mengenal Gus Dur akan tahu karakter sifatnya seperti apa. Dan apabila Gus Dur menjalin kedekatan dengan beberapa tokoh penting di Indonesia, itu wajar karena dia pemimpin partai besar seperti NU. Tapi saya percaya Gus Dur tetap radikal dan memiliki kharisma yang tidak dimiliki orang lain. Jadi kalaupun Gus Dur berpolitik demi NU, itu wajar saja? Ya, boleh-boleh saja begitu, dan nggak sampai haram kok. Boleh-boleh saja. Tapi tetap dihimbaulah agar kesejukan suasana dan keharmonisan pesantren Islam selalu terjaga. Ini prioritas utamanya. « © »