Tempo Interaktif, 15 Februari 1997 Wawancara KH Abdul Cholid Murod: "Meng-Islamkan Orang Islam di PDI" Rupanya benar doktrin NU pasca Khittah 1926: NU tak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Bahkan di PDI pun ternyata ada kiai NU. Partai yang terbentuk dari organisasi bercorak nasionalis dan non-Islam ini rupanya memandang perlu memberi tempat bagi NU, ormas Islam dengan 30 juta lebih pengikut. Apakah kiai NU di PDI sekadar memakai Partai Banteng sebagai tangga ke DPR? Bukan. Mereka di sana untuk berdakwah. "Di PDI itu pengurusnya mayoritas bergama Islam, namun keIslamannya masih kurang. Dan itu tugas kiai untuk mengIslamkan orang Islam di PDI," ujar KH Abdul Cholid Murod, 42 tahun, anggota DPR dari Fraksi PDI. Satu-satunya kiai NU di DPR asal PDI ini bukan "kutu loncat". Lulusan Universitas Alexanderia Mesir ini belum pernah berpartai sebelumnya. "Saya langsung bergabung dengan PDI," kata kiai muda pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah, Demak, Jawa Tengah, yang memiliki empat ribu santri ini. Kiai Murod hampir pasti akan kembali duduk di Senayan. Karena, PDI menaruhnya di urutan 8 DCS PDI dari Jawa Tengah. Tapi apa yang dikerjakannya di PDI? Apakah PDI bisa menjadi saluran politik orang NU? Kamis lalu (6 Januari 1997), via telepon Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif mewawancara Kiai Murod yang tengah mudik ke Demak. --------------------------------------------------------------------------- Bagaimana posisi pesantren dalam pemilu nanti? Pesantren adalah lembaga pendidikan dan kedudukannya netral. Pesantren dalam pandangan politik harus dilihat sebagai institusi yang netral oleh ketiga orsospol. Dan pesantren memandang santri sebagai siswa yang harus dididik dalam bidang agama. Pesantren tidak memandang santri dari latar belakang atau aliran mana. Yang dilihat hanya satu, ingin belajar dan memenuhi persyaratan masuk pesantren, hanya itu. Jadi, posisi pesantren dalam bidang politik, independen. Belakangan banyak pengurus pesantren yang masuk orsospol, menurut Anda? Sebenarnya bukan pesantrennya yang ke orsospol, tapi pimpinan pesantren. Namun, patut disadari pula hubungan masyarakat Indonesia yang paternalistik. Begitu pula dengan hubungan kiai dengan santri dan masyarakat sekitarnya. Kiai dipandang sebagai figur sentral yang dipanuti. Maka ada kesan bila kiai memilih kontestan A, santrinya akan ikut. Itu salah kaprah. Santri tidak harus mengikuti kiainya dalam hal politik. Apalagi sekarang santri telah mempunyai wawasan politik yang luas. Apakah kiai-kiai NU yang masuk PDI punya tujuan tertentu? Alasan kiai-kiai yang masuk PDI adalah untuk mengembangkan sayap dalam berdakwah. Karena selama ini kami melihat mayoritas warga PDI adalah muslim, namun pengetahuan keIslamannya masih minim. Selama ini PDI belum menemukan figur yang pas sebagai pendakwah. Karena kiai itu selalu amar ma'ruf nahi munkar (berbuat kebaikan dan menjauhi kejahatan), maka klop keinginan antara kiai dengan PDI. Satu mencari dai dan satunya lagi mencari lahan. Maka walaupun terdapat kiai yang dicalonkan PDI bukan di nomor jadi, itu tidak masalah bagi kiai. Karena para kiai memandang itu bukan tujuannya untuk dicalonkan. Apakah keinginan berbuat amar ma'ruf nahi munkar di PDI sudah dilakukan? Untuk terwadahi itu sudah, sejak berdirinya Majelis Muslimin Indonesia (MMI) di PDI. Selain itu aktifitas keIslaman orang-orang PDI meningkat. Mengapa para kiai pesantren mau bergabung dengan PDI, yang note-bene dibentuk oleh partai-partai non Islam? Sejak asas tunggal (Pancasila) ditetapkan, berarti kita harus meninggalkan ciri khas masing-masing partai. Dan partai sudah harus terbuka terhadap aspirasi masyarakat. Sebenarnya PPP juga terbuka terhadap agama lain. Kalau tidak salah, di Timor-Timur pernah ada pengurus PPP yang non muslim, namun tidak berkembang. Walaupun PDI berasal dari partai-partai non muslim, tapi kita tahu mayoritas anggota PDI beragama Islam. Sehingga interaksi orang PDI dengan orang pesantren tidak ada masalah. Karena secara kultural tidak terhambat. Yang berbeda hanya tingkat pendalaman agamanya saja. Apakah para kiai yang masuk PDI karena merasa tidak mendapat jatah di PPP atau di Golkar? Tidak. Bahkan sebagian besar kiai yang masuk PDI belum pernah berpartai. Hanya sebagian kecil yang sebelumnya pernah berpartai. Jadi tujuannya untuk "menghijaukan" PDI? Masuknya kiai-kiai ke PDI agar aspirasi umat Islam terwadahi. Itu realitas yang tidak dapat terbantahkan karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Lalu, apakah aspirasi umat Islam itu harus terwakili 90 persen di PDI? Kan tidak. Jadi masuknya kiai-kiai ke PDI untuk mengIslamakan yang sudah Islam di PDI. Apa bukan untuk jadi penambang suara NU ke PDI? Menurut saya, semua di daftar sementara adalah vote-getter. Hanya sebagian jadi anggota DPR dan lainnya tidak. Tapi, vote-getter atau tidak, itu tidak jadi masalah. Karena ada kiai yang tidak mau dicalonkan, tapi tetap dicalonkan. Dan ada juga yang tidak masuk dalam daftar calon, tapi bersedia menjadi vote-getter. Itu tergantung kepada keputusan kiai-kiai itu sendiri. Siapa saja kiai-kiai yang duduk dalam kepengurusan PDI? Di Jawa Tengah saja sudah banyak kiai-kiai menjadi pengurus daerah dan cabang PDI. Seperti KH Muksin di Grobongan, KH Halimi dari Pesantren Al Furqon di Demak, KH Maksum dan KH Nurul Huda dari Jepara, KH Umar Faruq dari Rembang. Lalu dari Tegal ada KH Najib Tegal. Sejak kapan kiai-kiai mulai berkiprah di PDI? Sejak Pemilu 1992. Di Jawa Tengah saat itu ada sekitar 12 kiai masuk PDI. Apa untungnya masuk PDI? Secara material kami rugi, karena bantuan pemerintah sudah tidak mengalir lagi. Tapi bukan itu yang penting. Misi utama Islam harus ditegakkan, yaitu dakwah. Menjelang Pemilu 1997, apa makin banyak kiai NU ke PDI? Ya. Saya kira ada peningkatan kiai-kiai yang simpati pada PDI. Di Jawa Tengah saja ada peningkatan lebih dari sepuluh kiai. Di Jawa Timur juga ada kenaikan. Namun mereka ke luar dari PDI karena mendukung Megawati. Lalu di Bangkalan, Madura, juga ada. Mereka lebih banyak ada di daerah. Bagaimana kiai-kiai NU di PDI memandang konflik antara Megawati dengan Soerjadi? Sebenarnya kiai-kiai tidak siap menerima konflik itu. Karena konflik di NU saja tidak separah itu. Konflik Mega-Soerjadi itu menurut saya sangat parah, dan banyak membuat shock para kiai. Kiai berpihak kepada siapa? Karena kiai kebanyakan mengemban misi dakwah, kiai hanya berpihak kepada Anggran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai saja. Karena AD/ART 1986 memerintahkan kepengurusan munas mempertanggungjawabkan di kongres, ya, kiai menerima saja. Dengan kondisi porak poranda, apakah menurut Anda suara PDI akan naik? Mudah-mudahan. Paling tidak, mampu mempertahankan jumlah kursi. « © »