Tempo Interaktif, 15 Februari 1997 Wawancara Dr. Bahtiar Effendy: "Kiai Tidak Akan Menggadaikan Pondoknya Demi Orsospol" Pesantren tak ubahnya sebuah kerajaan kecil, kata seorang peneliti. Di situ berhimpun menjadi satu; kiai pengasuh pesantren yang kharismatik dan ditaati, santri dalam jumlah ratusan hingga ribuan, masjid tempat salat berjamaah dan bermusyawarah, pondok tempat tinggal, sampai tumpukan kitab kuning--kitab ulama klasik yang saking kunonya sampai berwarna kekuningan atau bahkan dicetak dengan kertas kuning. Semua sistem ini terpadu sedemikian rupa, sehingga kerap dianggap menjadi "agen perubahan sosial" yang patut diperhitungkan banyak kalangan. Kalangan yang kini gencar membidik, terutama menjelang musim kampanye tiba, tentunya ketiga orsospol. Wajar, karena di situ, di seantero republik, ada ribuan kiai, puluhan ribu pondok, dan bahkan jutaan santri. Pesantren pun menjadi primadona bagi kontestan pemilu. Apalagi jika bukan untuk menggalang massa, yang berarti juga terkumpulnya jutaan suara. Dengan berbagai cara, ketiganya berusaha menarik simpati pesantren yang umumnya warga nahdliyyin, dengan pengikut sekitar 30 juta ini. Bahtiar Effendi, 37 tahun, doktor politik Islam lulusan Ohio State University, AS, melihat bahwa dari ketiga kontestan pemilu, boleh jadi Golkarlah yang paling berhasil menarik simpati kalangan pesantren. "Kiai-kiai yang bergabung dengan Golkar mengalami peningkatan," ujar lulusan Pesantren Pabelan yang rajin mengamati politik pesantren ini. Bergabungnya para kiai ke Golkar, menurut Bahtiar, karena orsospol itu kini lebih Islami. "Menurut para kiai, Golkarlah yang dapat memperjuangkan aspirasi umat Islam," kata Wakil Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Usaha Indonesia (LSPEU) ini. Untuk mengetahui aspirasi politik pesantren, berikut wawancara Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif dengan Dr. Bahtiar Effendy, di kantornya, Wisma Perdana, Jl. HR.Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Rabu, 5 Februari 1997 lalu. --------------------------------------------------------------------------- Menjelang pemilu nanti, masihkah pesantren menjadi primadona pengumpul suara? Saya lihat tidak ada yang luar biasa yang dilakukan orsospol dalam menarik simpati kalangan pesantren. Tampaknya, para kontestan pemilu punya cara sendiri untuk mempengaruhi massa pesantren. Caranya pun tidak ada yang baru. Karena sudah dilakukan jauh sebelum terjadinya fusi-fusi partai. Bahkan secara tegas, ada beberapa pesantren yang menyatakan berafiliasi ke Golkar. Atau, ada sejumlah kiai pesantren yang memiliki hubungan dekat dengan Golkar. Memang dalam tradisi pesantren NU, pesantren merupakan basis partai-partai Islam. Tapi itu dulu, sebelum terjadinya fusi. Namun, sejak tahun 1971, sudah ada beberapa pesantren yang menjalin hubungan dengan Golkar. Misalnya, Pondok Pesantren Darul Ulum di Jombang, Jawa Timur. Dan itu biasa, seorang kiai membangun kekuatan politik dengan Golkar. Apakah simbol-simbol Islam akan menarik jika didengungkan saat kampanye nanti? Penggunaan simbol dan formalime Islam dalam pemilu, itu biasa. Yang menarik, justru masih digunakannya simbol-simbol Islam dalam kampanye. Seperti, para kiai itu. Mengapa simbol Islam masih penting? Bukankah sejak tahun 1985 semua orsospol telah menggunakan azas tunggal Pancasila? Memang, hubungan antara umat Islam dengan orsospol, tidak lagi bersifat ideologis. Tapi, lebih bersifat aspiratif. Misalnya, para kiai pesantren tidak bisa lagi menyalurkan suaranya ke PPP yang terlalu banyak konflik internalnya. Akibatnya, para kiai lebih memandang Golkar ketimbang PPP. Melihat hal ini, tentunya Golkar bermain dengan menggunakan simbol-simbol Islam untuk menarik massa kalangan pesantren. Imbalannya, Golkar akan menyuarakan suara umat Islam, bila kalangan pesantren menyuarakan ke Golkar. Begitu pula dengan PDI. Ia juga akan menggunakan simbol Islam untuk menarik simpati. Menurut saya, ini positif, karena kalangan pesantren punya akses dimana saja. Tidak hanya di PPP, tapi juga di Golkar dan PDI. Bisakah para kiai itu menggiring santri dan warganya ke orsospol pilihannya? Hal itu bisa saja terjadi. Karena hubungan antara kiai dengan santri dan masyarakatnya, sangat potensial menggiring ke orsospol tertentu. Namun, hubungan kiai sebagai patron dan santri sebagai klien telah dipengaruhi oleh pola modernisasi yang terus berkembang. Dalam hal agama, hubungan patron-klien masih bisa diterapkan. Tapi, dengan politik, si klien tidak bisa lagi mengikuti pola hubungan itu. Jadi, dalam masalah politik, telah terjadi penurunan peran kiai sebagai patron dan broker (perantara) politik. Dalam hubungan politik, santri tidak segan-segan berbeda pandangan dengan kiainya. Dan itu telah terjadi sekarang-sekarang ini. Lihat saja NU, dahulu semua warganya menyalurkan suaranya ke PPP, tapi sekarang tidak lagi karena bisa menyalurkan ke Golkar dan PDI. Namun, walau demikian penyaluran suara itu tidak menimbulkan perpecahan di tubuh NU. Apakah pesantrennya masih bisa independen jika para kiai mendukung Golkar atau PDI, dan bukan PPP? Ada dua penilaian mengenai hal itu. Ada kiai yang mendukung orsospol tertentu tetapi membebaskan santrinya untuk menentukan suaranya. Tapi, ada juga kiai yang berafiliasi orsospol tertentu dan mempengaruhi santri untuk menyalurkan aspirasinya ke orsospol kiainya. Tapi, setahu saya, karena saya dari pesantren, kebanyakan pesantren di Jawa meliburkan santrinya pada saat hari pemungutan suara. Kebanyakan para santri diperbolehkan pulang. Walaupun, kiainya berafiliasi ke orsospol tertentu, belum tentu santrinya ikut berafiliasi. Selain itu, para kiai tidak punya ketergantungan dengan aparatur desa atau negara untuk memenangkan orsospol tertentu. Maka, dalam setiap pemilu, kiai tidak punya beban, walau ia berafiliasi dengan orsospol tersebut. Dan ini yang menjaga independensi pesantren. Ke orsospol mana pesantren menyalurkan aspirasi terbanyaknya dalam pemilu nanti ? Saya tidak bisa memperkirakan kemana suara pesantren disalurkan. Saya tidak memiliki angka dan data mengenai hal itu. Tapi, jika melihat jumlah pesantren yang ribuan dan santri yang jumlahnya jutaan, ini adalah sasaran incaran orsospol. Bila dikaitkan dengan PPP, peningkatannya tidak variatif. Namun, secara liberal, saya melihat akan ada peningkatan suara ke Golkar dari kalangan pesantren. Mengapa ke Golkar? Karena kebanyakan kalangan pesantren melihat semata-mata oleh pandangan politik rasional, bukan politik simbol. Hal ini wajar, karena masyarakat pesantren bukan kalangan kritis, seperti mahasiswa atau masyarakat kota. Dari pandangan politik rasional ini, mereka dapat merasakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, semakin aspiratifnya pemerintah terhadap kalangan Islam, dan lain sebagainya. Selain itu, banyaknya kiai pesantren yang menyuarakan ke Golkar, tidak terlepas dari berbagai konflik yang terjadi di PPP. Seperti, adanya kompetisi yang tidak sejalan dengan fusi partai dalam berebut jatah. Apakah karena dipaksakan oleh aparatur pemerintah ? Saya tidak merasakan adanya pemaksaan. Karena kiai sangat dihormati oleh birokrat. Pemilu kan urusan birokrat, bukan kiai. Kalau Golkar kalah, yang ditegur bukan kiainya, tapi birokratnya. Jadi tidak ada ketergantungan antara kiai dengan perolehan suara. Karena di kalangan pesantren (moderen) ada yang namanya Panca Jiwa Pondok, salah satu diantaranya kebebasan. Dan saya yakin, para kiai tidak akan menggadaikan pondoknya hanya untuk kepentingan orsospol tertentu. Selain faktor di atas, apa yang menyebabkan para kiai pesantren menyalurkan asiprasinya ke Golkar ? Yang jelas, Golkar dapat membawa aspirasi umat Islam. Karena Golkar yang menang dan mengusai parlemen. Tujuh tahun belakangan ini suara umat Islam terwakili. Seperti adanya ICMI, Festival Istiqlal, dicabutnya pelarangan jilbab, dan lainnya. Oleh kalangan pesantren semua itu hasil Golkar, dan bukan dari PPP. Jadi para kiai pesantren berfikir sangat taktis, tanpa harus menjual independensinya, walau pun si kiai berafiliasi dengan Golkar. Dan saya melihat, pilihan kiai ke Golkar merupakan pilihan strategis. Karena, para kiai melihat, hanya Golkar yang dapat memperjuangkan aspirasi umat Islam. Selain itu, semakin banyak pimpinan Golkar yang Islam. Dan kalangan pesantren melihat, Golkar sebagai partai yang menang dan berkuasa mampu memperjuangkan aspirasi umat Islam. Bagaimana dengan kiai yang memilih PDI, yang nota-bene secara kultural berbeda dengan budaya pesantren ? Itu bisa saja. Karena yang dimainkan orsospol bukan politik simbol lagi. Para kiai yang ke PDI, saya pikir sudah berhitung, dengan harapan, dukungan suara pesantren dan umat Islam datang dari mana saja. Dan apa salahnya, membangun hubungan dengan PDI. Apakah masuknya kiai ke semua orsospol menandakan adanya keinginan pesantren untuk menguasai semua saluran politik? Itu tidak bisa dilepaskan dari khittah NU 1926. Dan karena tidak adanya keharusan menyalurkan suaranya ke PPP. Dan masuknya para kiai ke semua saluran politik itu tidak bisa dilepaskan dari peran dan kemampuan para kiai sendiri. Lagi pula para kiai tidak mewakili institusi pesantren, tapi individu. Apakah akan terjadi pergeseran suara pesantren dari PPP ke Golkar, atau sebaliknya? Sebagian besar suara kiai, pasti ke Golkar. Kedua ke PPP. Dan suara yang ke PDI, berkurang. Kalau kemarin PDI masih ada (pimpinan Megawati), saya melihat akan terjadi peningkatan suara kiai ke sana. « © »