Tempo Interaktif, 15 Februari 1997 Politik Kiai NU Menjelang Pemilu 1997: Antara Sikap Pragmatis dan Kemandirian Pondok Pesantren Kiai-kiai NU punya alasan kuat untuk mangkal di Golkar, tetap bertahan di PPP, maupun nongkrong di PDI. Benarkah mereka sangat pragmatis melihat keadaan? Bagaimana jadinya kalau Gus Dur jadi menggandeng Mbak Tutut ke pesantren NU? BAGAIKAN rakit diombang-ambingkan ombak laut. Kurang lebih beginilah nasib Partai Persatuan Pembangunan sekarang ini. Sang "ombak" adalah pernyataan Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid bahwa dia akan membawa Ketua DPP Golkar Siti Hardijanti Rukmana keliling pesantren Nahdlatul Ulama. Gus Dur bicara di depan pengurus NU di Kediri dua pekan lalu. Inilah puncak "perseteruan" Gus Dur dengan Ketua Umum PPP Buya Ismail Metareum. Yang terakhir ini, menurut sebuah sumber, menganggap Gus Dur berada di balik "permainan" bekas Sekjen PPP Matori Abdul Djalil untuk "menggoyang" PPP. Tentu saja semua langkah politik Gus Dur tadi adalah "pemanasan" menjelang Pemilu 1997 yang tinggal tiga bulan lagi dilangsungkan. Jika benar Mbak Tutut akan diusung ke berbagai pesantren, tak pelak lagi, itulah penggembosan besar terhadap partai berlambang bintang itu. Sekaligus, itulah saatnya gong kemenangan besar Golkar ditabuh. Tapi, benarkah kiai NU dan pesantrennya berpihak seratus persen pada Gus Dur? Apakah PPP yang dikatakan Buya Ismail sebagai partai warisan ulama itu benar-benar telah tercerabut dari NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia? Bagaimana sebenarnya sikap politik kiai NU setelah 13 tahun NU kembali ke Khittah 1926 yaitu sebagai organisasi yang berfungsi membina umat dan menolak berpolitik? Menurut bekas Sekjen PPP Matori Abdul Djalil, mayoritas kiai NU di Jawa akan mengalirkan dukungan untuk Golkar. Penyebabnya, menurut Matori yang kini terdepak dari PPP itu, hubungan Buya Ismail dan Gus Dur kian memburuk. Diakui Matori, selain Golkar piawai mendekati kiai-kiai NU di berbagai pesantren, para kiai NU saat ini banyak yang memilih sikap pragmatis dalam menyalurkan suaranya.(Lihat Wawancara Matori Abdul Djalil: "Ramai-ramai Masuk Golkar atau Tidak Memilih....."). Maka, walaupun tersepak dari PPP, Matori menolak "melompat" ke Golkar. "Saya tetap orang PPP," tegasnya. Kiai Haji Maimoen Zubair kurang sependapat jika dikatakan kiai NU direbut habis Golkar. Pemimpin Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang itu mengatakan bahwa masih banyak kiai-kiai NU yang bertahan di PPP. Kiai-kiai Kelompok Rembang, contohnya, masih banyak yang masuk daftar calon PPP, walau mereka gagal mengganti Buya Ismail Metareum sebagai ketua umum partai bintang. Kelompok Rembang adalah kiai-kiai NU di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, yang berupaya merebut kursi ketua umum PPP dalam muktamar PPP tahun 1994 lalu, walau akhirnya gagal menggeser Buya Ismail. Kiai Zubair yang kini duduk di nomor satu daftar calon sementara (DCS) PPP dari Jawa Tengah, mengingatkan bahwa boleh saja kiai NU berbeda tempat penyaluran aspirasi politik. Tapi tidak dalam soal-soal keagamaan dan kemasyarakatan. Misalnya, ujar Kiai Zubair, pentolan Kelompok Rembang yakni KH Cholil Bisri -- yang tergusur dari DCS PPP kali ini -- masih mengunjungi pengajian-pengajian PPP baru-baru ini di Pekalongan. "Jadi tak benar Kelompok Rembang semuanya keluar dari PPP," kata Kiai Zubair lagi.(Lihat: Daftar Kiai NU di PPP) Lalu, apa yang dipertahankan kiai NU di PPP setelah era orsospol menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan bukan lagi memakai Islam sebagai asas partai? Tampaknya, di kalangan kiai NU yang bergabung dengan PPP ini mempunyai kesan kuat bahwa PPP masih lebih "Islam" ketimbang yang lain. "Saya sebagai orang PPP tetap memandang penting PPP, karena PPP berasal dari fusi partai-partai Islam. Dan sekarang ini Islam itu sudah besar dan ada di mana-mana," demikian Zubair kepada TEMPO Interaktif.(Lihat Wawancara KH Maimoen Zubair: "PPP Tetap Begitu Saja, Tak Mungkin Jadi Pesaing Utama Golkar") Kiai Zubair barangkali benar. Di DCS PPP dari Aceh sampai Nusa Tenggara Barat, kiai-kiai NU masih mendapat tempat cukup strategis (Klik Daftar Orang NU di DCS PPP). Hanya saja, kata sebuah sumber, kiai-kiai NU yang pro Gus Dur -- sebut saja kiai kharismatik Cholil Bisri dari Rembang, kiai Chamzah Achmad dari Jawa Timur, atau Matori yang punya pengaruh kuat di pesisir utara Jawa -- digusur dan digantikan mereka yang lebih "netral" atau malah kritis terhadap Gus Dur. Tapi, apa pula motif politik kiai NU yang berada di PDI? Misi dakwah, kata KH Abdul Cholid Murod, satu-satunya kiai NU di Senayan yang berasal dari Partai Banteng. "Saya ingin meng-Islamkan orang Islam di PDI," kata lulusan Universitas Alexanderia Mesir berusia 42 tahun ini. Umumnya, kiai yang masuk PDI bukan melompat dari Golkar atau PPP. Mereka sebelumnya belum pernah berpolitik. Dengan tujuan dakwah itu, kiai-kiai PDI ini seperti tak mau pusing dengan konflik berkepanjangan yang membuat Partai Banteng compang-camping. Mereka pada prinsipnya berpegang pada asas legalitas: berpegang pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PDI yang menetapkan kongres di Medan dan memilih Soerjadi. Kelihatannya, ditumbangkannya Mega atau campur tangan pemerintah yang sangat kental dalam kasus PDI tak membuat para kiai NU di PDI itu terganggu. Tapi, kata Kiai Murod yang duduk di nomor jadi DCS PDI di Jawa Tengah, sebenarnya kiai-kiai di PDI shock dengan konflik Soerjadi-Mega, namun,"Kita berpegang pada AD-ART saja."(Lihat Wawancara KH Abdul Cholid Murod: "Meng-Islamkan Orang Islam di PDI") Sebenarnya, ada juga kiai NU yang dulu berpolitik, namun "kapok" dengan permainan politik. Misalnya Kiai Aziz Mashuri, 54 tahun, sekarang adalah Wakil Ketua Pesantren Mambaul Ma'arif Genggong, Probolinggo. Dulu kiai ini adalah pendukung PPP. Tapi kini perhatiannya tercurah pada bidang pendidikan di pondok pesantren. Menurut Kiai Mashuri, ada kesepakatan yang dicetuskan di musyawarah kerja nasional pesantren tahun lalu bahwa pesantren meneguhkan kembali komitmen sebagai lembaga pendidikan, perjuangan dakwah Islam, dan pembina kerukunan beragama. Menurut Kiai Mashuri, memihak satu orsospol hanya akan mengkotak-kotakkan pesantren. Hubungan kiai-santri pun bisa renggang. "Saya setuju pondok pesantren harus netral dan tidak memihak satu orsospol tertentu," ujar Kiai Mashuri.(Lihat Wawancara KH Aziz Mashuri: "Kiai Berpolitik, Rasa Hormat Santri Bisa Menurun") Dalam pandangan Bahtiar Effendi, 37 tahun, doktor politik Islam asal Ohio State University, AS, hubungan santri-kiai tak harus renggang gara-gara pemilu. Dia mengamati, pesantren-pesantren besar di Jawa kebanyakan meliburkan santrinya di hari pencoblosan. Jadi,"Walaupun kiainya berafiliasi ke orsospol tertentu, belum tentu santrinya ikut berafiliasi," kata lulusan Pesantren Pabelan ini. Tampaknya, yang lebih berpengaruh pada pilihan politik santri sekarang ini bukanlah afiliasi kiai semata, tapi juga kiprah politik orsospol itu terhadap Islam. Kalau kiai banyak yang ke Golkar, kata Bahtiar, karena Golkar dapat membawa aspirasi umat Islam, sebab Golkar menang dan menguasai parlemen. Dia melihat berbagai kebijakan pemerintahan Golkar ini banyak menguntungkan Islam. Contohnya, berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia, Festival Islam Istiqlal, dicabutnya larangan berjilbab, atau lainnya. "Saya melihat pilihan kiai ke Golkar itu pilihan strategis," ujarnya.(Lihat Wawancara Dr. Bahtiar Effendy: "Kiai Tidak Akan Menggadaikan Pondoknya Demi Orsospol") Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Masdar F. Mas'udi, punya pandangan lain. Menurut intelektual muda NU ini, para kiai yang banyak diantaranya ahli fikih itu dalam soal pemilu lebih berperhatian pada memilih partai dan tanda gambar dan dukungan pada orsospol tertentu. "Jarang sekali ada proses refleksi yang agak mendalam, apa sesungguhnya makna pemilu dalam menegakkan keadilan. Yang tumbuh hanyalah sebuah seremoni demokrasi yang tidak memiliki substansi," katanya. Dengan kata lain, kiai-kiai NU tampaknya menjadi sangat pragmatis sekarang ini. "Saya merasakan betapa ada perbedaan antara kiai satu dengan kiai lainnya. Dan ini seringkali menjadi ganjalan dalam hubungan antar mereka sendiri. Lihat saja kiai yang berpidato untuk orsospol yang satu, lantas menyindir kiai dari orsospol yang lain," kata Masdar. Dia menemukan hubungan bahwa semakin seorang kiai aktif berpolitik, misalnya dengan menjadi anggota DPR, maka semakin terasinglah dia dari umatnya.(Lihat Wawancara Masdar F. Mas'udi: "Kharisma Kiai Meredup Jika Menjadi Corong Orsospol") Sebenarnya, Masdar hanya menggaris bawahi keputusan kembali ke Khittah 1926 yang dicanangkan kepengurusan NU yang baru saja memilih Abdurrahman Wahid sebagai pemimpin, 13 tahun lalu di Situbondo. Waktu itu Gus Dur sangat getol mengkampanyekan kembali ke akar NU itu. Dia juga berkampanye bahwa NU berdiri di atas semua golongan. Di tahun 1987, di Markas Golkar di Jakarta, saat partai pemerintah itu merayakan Isra Mi'raj, Gus Dur berkata di depan 2000 undangan termasuk Ketua Umum Golkar Sudharmono: "Saya ini seperti orang teler setelah menenggak bir bintang, langsung nyender di beringin, kemudian diseruduk banteng". Gus Dur mengungkapkan, sejak Khittah 1926, massa NU menjadi massa mengambang. Kampanye Gus Dur cukup berhasil. Buktinya, suara PPP kontan susut setelah NU ke luar. Pada Pemilu 1982, PPP (dengan NU di dalamnya) menyabet 94 kursi. Pada Pemilu 1987, PPP hanya mengantongi 60 kursi dan meningkat satu kursi pada Pemilu 1992. Saat itu massa NU agaknya benar-benar dibebaskan untuk memilih apa saja. Tapi, kini, menjelang Pemilu 1997, ada suara santer Gus Dur akan menggandeng Ketua Golkar Mbak Tutut ke pesantren-pesantren NU. Jika ini terjadi, semangat khittah di kalangan warga NU boleh jadi akan meluntur. Dan ucapan Gus Dur di Markas Golkar Slipi pada 1987 tadi, barangkali jika diucapkannya sekarang, akan berubah jadi begini:"Saya ini seperti orang teler menenggak bir bintang, lalu diseruduk banteng, eh...bertengger di dahan beringin". TH « © »