Kembali ke menu sajian Memandang Gus Dur-Amien Rais Sebagai Rahmat Strategi perjuangan model Gus Dur-Amien Rais tak perlu dipertentangkan. Meninjau dua strategi itu secara komplementer jauh lebih arif. Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais Arief Afandi, ed., Pustaka Pelajar, Yogyakarta, September, 1996 xii + 148 halaman (termasuk indeks) Rp 7.500,00 Hubungan antara Islam dan negara, apalagi di bawah Orde Baru, tampaknya merupakan perbincangan yang selalu menarik disimak dan dicermati. Perjalanan Republik kita memperlihatkan dengan jelas pasang-surut dan fluktuasi relasi itu --bahkan sejak pertumbuhan ide kebangsaan pada awal abad ini. Problematika itulah yang diangkat dalam buku ini, terutama melalui sosok dua tokoh Islam Indonesia terkemuka dewasa ini, Ketua Umum PBNU, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dan Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais. Sosok Gus Dur dan Amien Rais sendiri sangat menarik, apalagi pemikirannya. Keduanya tak hanya "wakil" dan pemimpin dari dua ormas Islam terbesar negeri ini --yang secara tipikal sering disebut sebagai golongan Islam tradisional dan Islam modernis-- tapi juga representasi dari dua kecenderungan pemikiran mengenai hubungan Islam dan negara. Baik Gus Dur maupun Amien Rais, sebenarnya intelektual bebas yang cenderung merasa tak begitu terikat dengan mainstream cara pandang ormas-ormas Islam yang mereka pimpin. Realitas ini tak hanya berkait dengan proses sosialisasi yang berbeda dari masing-masing tokoh, melainkan juga pengalaman individual dan kolektif mereka dalam berhadapan dengan realitas negara Orde Baru. Lalu, di manakah perbedaan penting antara kedua sosok tersebut? Bagi Gus Dur, perjuangan umat atau golongan Islam tetaplah harus dalam kerangka Indonesia. Dia memahami Indonesia sebagai suatu pluralitas tak hanya di antara masyarakat sebangsa, tapi juga pluralitas aspirasi dan pemikiran di antara golongan Islam sendiri. Tampaknya, Gus Dur juga "membaca" Orde Baru sebagai struktur politik korporatis-otoritarian yang hanya memperkuat negara dan memperlemah masyarakat --yang kebetulan mayoritas Muslim. Karena itu, dalam konteks demokrasi, agenda terpentingnya adalah pemberdayaan rakyat dan menjadikan masyarakat sebagai faktor dalam proses politik, sehingga ketimpangan kekuasaan antara masyarakat dan negara secara berangsur-angsur dapat dikurangi. Dia melihat, representasi golongan Islam dalam struktur politik akan dicapai dengan sendirinya bila rakyat berdaulat, dan format politik yang adil dan demokratis ditegakkan. Sementara bagi Amien Rais, representasi golongan Islam yang mayoritas itu harus diperjuangkan terlebih dulu. Baginya, tak ada demokrasi tanpa representasi. Karena itu, mayoritas Islam Indonesia harus tercermin dalam struktur kekuasaan, baik pemerintah maupun lembaga perwakilan rakyat. Tuntutan representasi itu didasari oleh pengalaman pahit golongan Islam yang mengalami marjinalisasi selama dua dasawarsa pertama Orde Baru. Amien melihat, era "kedekatan" Islam dan negara dewasa ini merupakan momentum bagi umat untuk memperjuangkan keterwakilan mereka secara proporsional di dalam lembaga-lembaga negara. Buku ini berasal dari kumpulan artikel yang berisi polemik tentang pemikiran Gus Dur dan Amien Rais yang diterbitkan Jawa Pos, edisi Mei 1995 hingga Januari 1996. Polemik berawal --dan tampaknya sengaja "diprovokasi"-- oleh artikel Arief Afandi, wartawan Jawa Pos dan editor buku ini, sehingga sejumlah pemikir terlibat dan dilibatkan dalam polemik. Mereka itu adalah Afan Gaffar, Kuntowijoyo, Fachry Ali, kakak-beradik Cholil Bisri dan Mustofa Bisri, Arief Budiman, Eros Djarot, Emha Ainun Nadjib, Mohammad Sobary, Mohtar Mas'oed, Muhammad AS Hikam, Abdul Munir Mulkhan, serta Abdurrahman Wahid dan Amien Rais sendiri. Betapapun begitu banyak pemikir yang terlibat, hanya Mustofa Bisri dan Mohammad Sobary yang mencoba menyinggung "perangkap" strategi-pendekatan Amien Rais. Yaitu, pertama , kepercayaan berlebihan Amien terhadap representativeness sebagai jalan keluar. Padahal, seperti dilukiskan Robert A. Dahl dalam Democracy and Its Critics (1989), representasi merupakan soal paling pelik dalam ide demokrasi. Perwakilan (kuantitatif) tak pernah bisa menjadi jaminan bagi keterwakilan (kualitatif). Kiai-penyair Mustofa Bisri sudah menggarisbawahi soal ini dengan contoh yang lugas: walaupun DPR mewakili rakyat, tak semua rakyat merasa terwakili oleh lembaga legislatif tersebut (hlm. 37). Pengalaman Pemilu 1955 memperlihatkan, betapapun populasi umat mencakup 90 persen, toh sekitar 45 persen saja dari mereka yang percaya, dan karena itu, memilih partai-partai Islam. Selebihnya, memilih partai-partai sekular, baik nasionalis, sosialis, maupun komunis. Jadi, walaupun 90 persen lembaga-lembaga politik sudah diisi oleh golongan (yang KTP-nya) Islam, tak seorang pun bisa menjamin bahwa yang 90 persen itu concern pada format politik yang adil dan demokratis. Seperti diajukan Arief Afandi dan Gus Mustofa --tapi cenderung dianggap enteng oleh Afan Gaffar dan Fachry Ali-- siapa yang berhak "mewakili" dan mengatasnamakan golongan Islam bila realitas umat amat beragam? Itu berarti, lagi-lagi capaian representasi bisa jadi hanya dinikmati oleh segelintir elite golongan Islam. Kedua , Amien Rais terlalu mendasarkan cara pandangnya pada pembelahan Islam dan non-Islam. Amien, dan juga mayoritas penanggap Arief Afandi, melupakan dua isu sentral Orde Baru yang belum sungguh-sungguh ada pencerahannya. Yakni, soal relasi negara-masyarakat, dan masalah hubungan sipil-militer (ABRI). Bagi saya, keterpinggiran umat lebih karena belum melembaganya pola relasi antara masyarakat atau "sipil" (yang mayoritas Muslim) dan negara (yang berintikan tentara --pun mayoritas Islam). Karena itu, diskusi tentang negara Orde Baru tak pernah bisa dipisahkan dari persepsi diri dan tempat tentara di dalamnya. Persepsi ABRI sebagai korps mengenai Indonesia jauh lebih jelas dan seragam --dan karena itu lebih mudah diwujudkan (karena mereka bersenjata)-- ketimbang persepsi kalangan yang disebut sebagai "umat" atau "golongan Islam". Pertanyaannya, siapakah yang bisa menjamin bahwa tentara "rela" dan bersedia mendukung perjuangan umat ke arah representasi? Walaupun pilihan strategi Amien Rais relatif penuh risiko, dan pendekatan Gus Dur menuntut energi dan kerja besar berjangka panjang, kita barangkali tak perlu mempertentangkannya. Mungkin jauh lebih arif memandang dua strategi itu secara komplementer --seperti ditawarkan Eros Djarot dan Kuntowijoyo. Bagaimanapun, Gus Dur dan Amien Rais adalah bagian dari kekayaan rohaniah, intelektual, dan kultural Islam Indonesia. Perbedaan wacana dan pemikiran keduanya tak perlu dipersoalkan, apalagi dipertajam. Sejarah Republik kita sudah memperlihatkan, identitas keindonesiaan justru ditemukan dan mengental melalui dialog terus-menerus antara ide-ide yang berbeda di antara "bapak-bapak bangsa". Perbedaan Gus Dur-Amien Rais harus dipandang sebagai rahmat yang akan memperkaya cara pandang dan pilihan kita, baik dalam membesarkan Indonesia dalam kerangka (nilai dan etik) Islam, maupun Islam di dalam konteks (pluralitas) keindonesiaan. Syamsuddin Haris, Peneliti LIPI --------------------------------------------------------------------------- Titik Nadir Demokrasi Emha Ainun Nadjib, Zaituna, Yogyakarta, 1996, xii + 368 hlm. Buku ini berisi berbagai refleksi politik Emha Ainun Nadjib yang pernah dimuat di sejumlah media --antara lain Target, Tiras, Forum Keadilan . Secara garis besar, ia mengurai semacam analisis, wawasan, dan cakrawala tentang budaya politik Orde Baru. Tapi, seperti disebut dalam pengantar penerbitnya, ini bukan buku pengamat politik yang berbicara tentang politik, melainkan,manusia Emha yang menuliskan nuraninya, pikirannya, wawasan dan gagasannya tentang hal-hal yang disebut politik. Kendati tulisan-tulisan ini pernah dimuat di beberapa media, buku ini tetap sangat menarik dan layak disimak. Pasalnya, di sini beragam senjata dipakai Cak Nun: keris sejarah, silet kesenian, celurit ekonomi, pedang agama, panah mistik, parang ideologi, rencong sosial, pisau mitos, dan lain-lain. Dalam kata pengantar buku ini, Kiai Mbeling itu menulis, "Seringkali saya menulis tidak karena saya menyukainya, melainkan karena memang ada kewajiban sosial yang mengharuskan saya menuliskan sesuatu." Bagi Emha, hidup bukanlah menjalani apa yang ia inginkan atau sukai, melainkan melakukan apa yang harus ia kerjakan --berdasarkan kebutuhan orang banyak, juga keharusan zaman dan kehendak Tuhan. Karena itu, tambah Emha, buku ini adalah "sebuah dialog dalam suatu adegan dari suatu episode". Segala sesuatunya berkaitan dengan apa yang sudah, apa yang sedang, serta apa yang belum. Ibrahim AF. --------------------------------------------------------------------------- Ilmu dalam Perspektif Tasawuf , Al-Ghazali, Karisma, Bandung, 1996, 330 hlm. Aslinya, buku ini berjudul Kitab Al-'Ilm , bagian dari Ihya 'Ulum Ad-Din . Walau ditulis ratusan tahun lalu, buku ini masih layak dibaca untuk menyeimbangkan antara ilmu duniawi dan ukhrawi. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu adalah wahana menuju Allah dan sarana paling mulia untuk ber-taqarrub kepada-Nya. Ilmu dapat dibagi dua bagian. Pertama , ilmu yang bersifat fardhu 'ain, ilmu yang wajib dimiliki oleh setiap individu Muslim. Kedua , ilmu yang bersifat fardhu kifayah, yaitu semua ilmu yang sama sekali tak dapat diabaikan untuk menegakkan segala urusan dunia, seperti kedokteran. Pasalnya, ilmu ini adalah sesuatu yang dharuri (yang tak boleh tidak, harus ada) untuk keperluan keselamatan badan. Namun, kadang ilmu sering disalahgunakan. Akibatnya, ia dapat membahayakan kehidupan manusia. Seseorang yang memanipulasi ilmu sering disebut 'ulama as-su' . Selain itu, Al-Ghazali juga menjelaskan tentang ilmu "jalan menuju akhirat", yang terdiri dari dua bagian; ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah . Ilmu mu'amalah adalah ilmu yang membahas ahwal (keadaan) hati. Keadaan hati yang terpuji adalah sabar, syukur, cemas dan harap, ridha, zuhud, qana'ah , murah hati, mengakui nikmat, ihsan, husn adz-dzan, husn al-khuluq, husn al-mu'asyarah , tulus, dan ikhlas. Sedangkan ilmu mukasyafah disebut ilmu bathin , ilmunya kaum shiddiqin atau muqarrabin . "Inilah tujuan puncak dari semua ilmu," tulis Al-Ghazali. Idris Thaha