Kembali ke menu sajian Satu Pertemuan, Sepuluh Interpretasi Pertemuan itu elitis, bagus, politis, dan diragukan tindak lanjutnya. KH Cholil Bisri, Pesantren Raudhatut Thalibin, Rembang Pertemuan Gus Dur-Amien Rais itu memang belum menjawab seluruh pertanyaan. Orang-orang di kalangan bawah pun mempertanyakannya: relevansinya apa? Setahu saya, mereka juga mengharapkan agar setelah pertemuan itu, mbok ya.. konflik yang selama ini memang masih terjadi itu berhenti. Tapi, secara prinsipil, di antara keduanya tak ada perseteruan. Cuma, karena mereka nggak pernah bertemu, akhirnya muncul banyak komentar bahwa keduanya berseteru. Jadi, barangkali akan ada prospek yang sangat baik untuk umat Islam jika pertemuan semacam itu bukan cuma dilakukan NU dan Muhammadiyah, tapi juga oleh seluruh kekuatan ormas Islam yang ada. Pertemuan kedua tokoh itu jelas ada implikasi politisnya. Apalagi itu menjelang pemilu. Tentu pihak-pihak yang berkepentingan mengantisipasi hal ini. Amien Rais banyak bicara hal yang bersifat mikro --suksesi, korupsi, kolusi. Komentarnya jelas dan transparan. Gus Dur lebih makro. Kadang-kadang orang nggak paham apa yang dia maksud. Amien, misalnya, mengatakan, Belo perlu dimintai pertanggungjawabannya atas ucapannya di Der Spiegel . Gus Dur malah mau mengantar Belo ke Norwegia. Karena itu, banyak omongannya terkesan amat kontroversial --ini jika dibaca sesaat. Tapi, kalau dipahami lebih dalam, omongannya ternyata bisa diterima. Namun saya pikir keduanya punya obsesi yang sama. Yakni, ingin melakukan perbaikan-perbaikan "politik" bagi negara dan pemerintahan ini. Supaya rakyat kita nggak terus-menerus sengsara. --------------------------------------------------------------------------- Fachry Ali, Pengamat Politik Itu pertemuan elite. Lebih banyak merupakan panggung buat kemunculan orang-orang daripada esensinya. Lihat, mereka kan tidak menyampaikan pandangannya masing-masing. Tidak juga mendebatkan pandangannya masing-masing. Mereka lebih banyak saling memuji dan guyon. Saya kira dari dulu tak ada persoalan pribadi di antara mereka. Sebaiknya, yang paling esensial dilakukan justru pertemuan pada tingkat manajerial, tingkat menengah ke bawah. Itu yang paling penting. Sebab, belum tentu peristiwa di Masjid Sunda Kelapa itu dibaca oleh orang-orang NU dan Muhammadiyah di pedesaan. Substansi visi politik mereka sebenarnya sama. Hanya saja, Abdurrahman Wahid menginginkan perubahan tanpa tahapan-tahapan tertentu. Sedangkan Amien Rais ingin mayoritas ini ada di dalam lanskap politik nasional, yang ujung-ujungnya adalah tuntutan demokratisasi. Mereka akan tetap pada jalannya masing-masing. Yang begitu itu nggak mungkin disatukan, dan nggak usah diharapkan untuk bisa bersatu, kecuali di kalangan generasi yang ada di bawah mereka. Amien Rais itu tidak identik dengan Muhammadiyah. Abdurrahman Wahid juga tidak identik dengan NU. Jadi, kalau Wahid menyerukan kebaikan (amar am'ruf ), dia akan diturut oleh umatnya. Tapi kalau dia bicara tentang suksesi, belum tentu itu pandangan umatnya. Amien Rais begitu pula. Kalau dia bicara masalah suksesi, itu bukan pandangan Muhammadiyah, itu pandangan Amien Rais sebagai seorang ilmuwan, karena tak ada pengaruhnya terhadap Muhammadiyah. --------------------------------------------------------------------------- Hajrianto Y. Thohari, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Sebetulnya di antara kami, generasi muda di kedua ormas, sudah ada kesadaran bahwa Muhammadiyah dan NU itu merupakan wadah terbesar umat Islam di Indonesia. Bahkan saya berani mengatakan bahwa itu merupakan representasi umat Islam Indonesia. Maka, kalau keduanya bisa bekerja sama secara institusional, itu sangat positif. Tapi, sebelum sampai ke situ, pendekatan-pendekatan informal perlu dilakukan. Dalam bidang pemikiran di kalangan muda sudah tidak banyak lagi perbedaan. Di masa depan, yang paling penting adalah menggarap ekonomi umat. Muhammadiyah dan NU itu kan sebetulnya dari segi ekonomi hancur-hancuran. Lihatlah basis-basis ekonomi NU dan Muhammadiyah, seperti di Pekajangan, Pekalongan, Ponorogo, dan segala tempat, kan praktis sangat dahsyat kehancurannya. Keberpihakan suprastruktur mesti serius terhadap umat ini. Nah, kedua organisasi besar ini perlu melakukan upaya-upaya konkret untuk membangun basis ekonomi umat tersebut. Tanpa political will atau, yang lebih penting, tindakan-tindakan konkret dari suprastruktur politik, sulitlah untuk membangun basis ekonomi umat. Karena kesenjangannya sudah luar biasa. Ekonomi umat Islam, baik NU maupun Muhammadiyah, kan masih ekonomi "warungan". Sementara para kompetitor lainnya sudah konglomerasi. Ekonomi warung ini mesti melakukan lompatan kuantum. --------------------------------------------------------------------------- Riswandha Imawan, Dosen Fisipol UGM Sebetulnya pertemuan Gus Dur-Amien Rais itu lebih merupakan konsumsi politik daripada konsumsi umat. Dasarnya adalah untuk Pemilu 1997 mendatang. Penentu suara itu secara politik adalah pemilih yang sudah berubah, dari abangan-priyayi sekarang ke abangan-santri atau priyayi-santri, karena adanya gerakan dakwah di segala lapisan masyarakat. Karena adanya arus bawah dan atas, kalau kita bicara perjuangan politik, itu nggak efektif. Yang efektif adalah kalau kedua paham itu disatukan. Pertemuan Gus Dur dan Amien Rais sebetulnya dalam upaya konsolidasi umat Islam. Dampak pertemuan itu akan sangat menguntungkan bagi umat Islam. Soal jarak terhadap kekuasaan, mendekat itu justru yang paling baik dalam tinjauan sosial, karena aspirasi umat akan lebih gampang didengar. Tapi, dalam tinjauan politik, mungkin justru tidak menguntungkan. Karena kalau terjadi kesalahan dari rezim politik, maka NU-Muhammadiyah harus ikut-ikutan menanggung "dosanya". Kemudian, juga ada kesulitan dalam melakukan kontrol. Ketika Amien Rais naik, banyak orang yang mengkhawatirkan Muhammadiyah terbawa pada politik praktis. Kekhawatiran itu mulai tampak sekarang, tapi konteksnya berbeda. Jadi, bukan politik praktis demi Amien Rais, tapi konsep yang dikembangkan Amien Rais, bahwa dalam hegemoni politik sekarang ini mustahil kita bisa memaksimalkan kepentingan umat jika tak terlibat dalam sistem politik yang sedang berlangsung. Otomatis, ini kebalikan dari Gus Dur. Kalau sebelum Amien Rais, Muhammadiyah itu menjaga jarak dengan pemerintah, sekarang mulai merajut hubungan yang semakin dekat. Bahkan, dalam beberapa hal, menjadi anggota Muhammadiyah tampaknya menjadi paspor politik. Di bawah Amien Rais, kedekatan dengan pemerintah itu tampak semakin transparan. Adapun fenomena Gus Dur, itu adalah persoalan klasik dalam politisi Islam. Yaitu, kalau dia populer di kalangan umat Islam, maka kurang populer di kalangan non-Muslim. Sebaliknya, kalau populer di kalangan luar umat Islam, maka kurang populer di kalangan umat Islam. --------------------------------------------------------------------------- Ahmad Syafii Maarif, Wakil Ketua PP Muhammadiyah Hubungan NU-Muhammadiyah, tanpa pertemuan Sunda Kelapa itu, sebetulnya sudah bagus. Jadi, betul-betul nggak ada masalah. Pada tingkat akar rumput, mungkin masih ada sisa-sisa masa lampau. Tapi itu pun kian mengecil. Karena itu, pertemuan tersebut tidak akan menyelesaikan masalah apapun. Kalau ada yang mengatakan bahwa implikasi politis dari pertemuan itu akan memperkokoh basis politik Islam di masa depan, saya tidak percaya. Sebab, pemerintah itu cukup canggih membacanya. Kecuali kalau memang ada pertemuan dari hati ke hati betul untuk memikirkan nasib bangsa di masa depan secara serius, jujur, bening, itu mungkin. Sedangkan pertemuan itu kan begitu-begitu saja. Kalaupun ada yang mengusulkan harus ditindaklanjuti, itu masih susah. Karena NU dan Muhammadiyah bukan gerakan politik praktis. Lalu, apa yang mau dibuat, keduanya kan hanya gerakan moral. Imbauan-imbauan saja yang dapat dilakukan. Memang itu tetap punya dampak. Tapi siapa yang mau melaksanakan? Saya pikir, perlu ada kejelasan sikap mendasar masing-masing. Apa yang mendesak perlu kita pikirkan untuk bangsa ini? Amien Rais malam itu mengemukakan marginalisasi ekonomi umat. Saya rasa itu masalah yang sangat mendasar. Sebab, kalau tidak, bangsa ini akan berantakan betul, seperti yang terjadi di Pakistan. Antara Amien dan Gus Dur sebenarnya ada persamaannya. Umpamanya, pembelaan terhadap kaum yang lemah. Juga, keduanya tidak selalu mengiyakan apa yang dikatakan pemerintah. Pada level itu kan ada titik temu, yang menurut saya bagus. Sedangkan perbedaannya, yaitu sikap terhadap kelompok-kelompok lain. --------------------------------------------------------------------------- Muhammad Tohir, Tokoh NU Jatim, Ketua ICMI Pusat Pertemuan itu, menurut saya, belum akan menyelesaikan masalah. Karena itu baru pertama. Padahal diperlukan sepuluh atau seratus langkah. Tapi, sebagai langkah pertama, saya kira cukup positif. Implikasi politis? Dalam arti makro --kesadaran umat terhadap kehidupan berbangsa, bernegara, dan lain-lain-- itu sangat berpengaruh. Tapi dalam bentuk politik mikro --dalam arti sempit, sekadar pengelompokan pada PPP, Golkar, dan PDI-- saya kira nggak ada pengaruhnya. Sebab, umat itu sudah punya kotak sendiri-sendiri. Tapi, sebagai umat Islam, ada suprastruktur yang berada di atas organisasi-organisasi politik itu, yaitu Islam. Usulan Pak Amien agar ada forum meja bundar antarseluruh ormas Islam, saya kira baik. Jadi, dua orang bertemu. Namun tentunya masing-masing ada pendampingnya, kan . Nah, dialog, terutama mengenai paradigma strategi perjuangan umat, itu perlu didiskusikan. Dan bersatunya dua ormas Islam terbesar ini, kalau mungkin, bukan untuk merobohkan pemerintah. Kalau NU dan Muhammadiyah bersatu, berarti Indonesia bersatu. Ini kan komponen mayoritas. Jadi, solidnya kedua ormas ini berarti sumbangan terbesar untuk persatuan Indonesia. Kalau ini pecah, ya berbahaya. Ibr, AA, Saikhu, DZ, HB