Kembali ke menu sajian Beda tapi Sama, atau Sebaliknya High politics Amien Rais sama dengan normative politics Abdurrahman Wahid. Keduanya boleh dibiarkan di posisi masing-masing. Politik memang sering mengundang kontroversi, terutama bagi mereka yang tak memahaminya. Meminjam definisi David Easton, politik tak lain dari soal "mengalokasikan sejumlah nilai secara otoritatif bagi sebuah masyarakat". Strategi kultural dan struktural yang selama ini disematkan banyak pihak sebagai model perjuangan Abdurrahman Wahid dan Amien Rais, tak lain, terkait dengan nilai. Dan tentu saja berbuntut politik. Perbedaan strategi itulah yang, konon, menyebabkan kedua pemimpin ormas Islam terbesar di Indonesia itu seolah bersitegang. Seperti ditulis dalam Islam Demokrasi Atas Bawah , suntingan Arief Afandi, lewat pendekatan kultural, Abdurrahman Wahid cenderung meletakkan strategi perjuangan umat sebagai bagian dari perjuangan demokrasi. Bagi Gus Dur, sekarang ini yang terpenting adalah bagaimana mengokohkan mekanisme politik yang demokratis. Mekanisme politik yang demokratis, kata Ketua Umum PBNU itu, dengan sendirinya akan menguntungkan umat Islam yang mayoritas. Singkatnya, Gus Dur tak pernah mempermasalahkan jumlah orang Islam yang duduk dalam pemerintahan maupun lembaga perwakilan. Malah, ia mengecam keras formalisasi Islam dalam struktur kekuasaan model ICMI. Atau, dalam bahasa Mohammad Sobary, Gus Dur menekankan wawasan, pandangan, dan pemahaman tentang perlunya sikap demokratik dan egaliter di tingkat bawah. Sebaliknya, lewat pendekatan struktural, Amien Rais cenderung tak mengingkari pentingnya representasi umat Islam dalam kehidupan legislatif --terutama eksekutif. Soalnya, selama ini umat Islam tidak memperoleh representasi politik yang adil dan wajar. Di mana pun di dunia ini, katanya, yang namanya demokrasi itu harus mencerminkan representativeness government . Kalau tidak, itu demokrasi omong kosong. Itulah sebabnya, kelompok Islam berhak mendapat jatah dalam struktur kekuasaan secara proporsional. Lantaran dari dua lembaga inilah akan lahir peraturan, juga keputusan yang sangat menentukan masa depan bangsa Indonesia. Amien lebih percaya pada transformasi yang relatif substantif, bahkan cenderung radikal. Tapi, transformasi ini bukan berarti sampai menjungkirbalikkan tatanan. Afirmatif-Kritis. Belakangan, terminologi "struktural-kultural" atau "atas-bawah" ini dipertanyakan sejumlah kalangan. Emha Ainun Nadjib, misalnya, melihat terminologi itu kelewat menyederhanakan. "Siapa bilang Gus Dur itu di bawah, Amien Rais di atas. Kenyataannya, Amien juga sering ke bawah," katanya. Ini dilihat juga oleh AM Fatwa. Bagi dia, strategi "atas-bawah" itu tak begitu benar. Soalnya, "Sejumlah kegiatan Amien dengan Muhammadiyahnya, baik itu amal sosial, pendidikan, kesehatan, panti asuhan, kan sifatnya kultural," ujarnya kepada A. Muayad dari UMMAT. Kuntowijoyo menanggapi soal itu dari perspektif lain. Menurut sejarahwan yang tajam itu, tak cukup melihat sosok Gus Dur dan Amien Rais lewat perbedaan dua strategi tersebut. Kita perlu juga memotretnya dari pendekatan afirmatif dan kritis. Menurut lensanya, Gus Dur dan Amien sebetulnya sama-sama memakai strategi struktural --kendati ada perbedaan. Ia tak menampik bahwa Amien dekat dan bersikap afirmatif dengan kekuasaan. Namun, katanya, "Amien juga kritis terhadap sistem." Gus Dur, kata Kunto, bukan saja di luar ICMI, tapi lebih dari itu, ia terang-terangan anti-ICMI. Walaupun bukan orang politik, tak berarti ia tidak berpolitik. Bahkan Gus Dur lebih politis, berliku-liku, dan lebih canggih ketimbang para politisi vokal semacam Sri-Bintang Pamungkas. Kunjungannya ke Israel, "kedekatannya" dengan mantan Ketua Umum PDI Megawati, aktivitasnya dalam Forum Demokrasi dan YKPK, jelas menunjukkan bahwa dia berpolitik secara intensif. Ini tak pernah dilakukan Gus Dur ketika masih "dekat" dengan kekuasaan. Yakni, tambah Kuntowijoyo, saat Benny Moerdani masih berkuasa. Artinya, "Gus Dur memang memakai strategi kultural dengan catatan: dulu sikapnya sangat afirmatif pada kekuasaan, tapi berubah menjadi kritis ketika kawan-kawannya turun dari panggung kekuasaan." Sementara itu, sosok Amien Rais sudah dikenal jauh sebelum ia terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Kevokalan pakar politik ini makin nyaring saat ia menggelindingkan isu suksesi dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya pada 1993. Juga, gagasan high politics -nya menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-43. Selain itu, ia juga keras mengkritik kebijakan lima hari sekolah dan sejumlah isu politik nasional. Oleh kalangan Muhammadiyah sendiri, lontaran-lontaran keras Amien dianggap sebagai upaya untuk membawa ormas ini ke lingkaran arus politik. Juga oleh sejumlah kalangan di pemerintahan. Amien tak bergeming. Baginya, jika Muhammadiyah membuat sebuah rekomendasi yang bersinggungan dengan politik, itu semata-mata imbauan yang bersifat moral dan etis saja. "High politics yang saya maksud adalah politik yang luhur, adiluhung, dan berdimensi moral etis," tegasnya. "Gagasan Amien tentang mekanisme suksesi merupakan konsekuensi logis dari high politics -nya itu. Atau, dalam bahasa Islamnya, adalah amar ma'ruf nahi munkar ," kata Abdul Munir Mulkhan, anggota PP Muhammadiyah. Dalam pandangan pengamat politik Fachry Ali, high politics ini adalah refleksi dari paradigma politik kolektivisme Amien. Maksudnya, ketika politik Islam tak terakomodasikan ke dalam struktur kekuasaan, Amien cenderung kritis dan berada di kalangan umat. "Apalagi sekarang, dengan munculnya ICMI, misalnya, ia tampil sebagai salah satu tokohnya. Jadi, di sini, ia justru lebih konsisten dengan semangat kolektivitasnya itu." Komplementer. NU dan Muhammadiyah di era Abdurrahman Wahid dan Amien Rais memang jauh berbeda dibanding ketika masih di bawah para pendahulu mereka. Tapi, haruskah keduanya dipertentangkan? "Bagi saya, perbedaan itu hanya terletak pada sudut pandang, bukan esensi masalah," kata pengamat politik dari UGM, Riswandha Imawan, kepada Saikhu dari UMMAT. Kalaupun harus dibedakan, tambahnya, strategi Amien lebih cocok untuk jangka pendek. Sedangkan strategi Gus Dur lebih berorientasi jangka panjang. Menurut peneliti LIPI, Muhammad AS Hikam, dua strategi itu adalah warna dari pergerakan Islam. Tak perlu dikhawatirkan. Setidaknya, ini pula yang ditekankan Mohammad Sobary. Katanya, perbedaan adalah api yang memberikan dinamika kehidupan bagi kedua ormas dan pendukungnya. Juga, dinamika bagi kehidupan Islam secara keseluruhan. Dan ini harus dipahami sebagai fastabiq al-khairat . Barangkali benar bahwa secara prinsipil antara keduanya tak ada perbedaan. "Konsep high politics Amien tak jauh berbeda dari konsep Gus Dur tentang agama sebagai kekuatan moral, yakni normative politics : nilai moral dalam politik," tegas Kuntowijoyo. Yang pasti, keduanya memperjuangkan satu hal yang sama. Yakni, demokrasi ekonomi, sosial, dan politik bagi kehidupan rakyat keseluruhan. Atau, dalam ringkasan Nurcholish Madjid di pertemuan Sunda Kelapa itu, keduanya sama-sama memperjuangkan keadilan. Jadi, yang diperlukan agaknya menempatkan mereka dalam peran komplementer. Biarkan mereka berdiri dalam posisi masing-masing. Ibrahim Ali-Fauzi, Dhorifi Zumar, Ahmad Baso