Kembali ke menu sajian Ada Perbedaan, juga Kerja Sama Semangat kerja sama NU-Muhammadiyah sudah terjalin baik. Hambatannya hanya psikologis. Lantaran trauma masa lalu. Fakta tidak selamanya mewakili kebenaran. Inilah agaknya ungkapan yang pas dijadikan dasar dalam melihat "perbedaan" antara NU dan Muhammadiyah. Ketidaksejalanan antara Ketua Umum PBNU, KH Abdurrahman Wahid, dan Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais, rupanya tak lebih dari sekadar "fakta kemasan" media massa daripada sebagai kebenaran. Yang benar adalah, di antara keduanya terjalin ukhuwah yang kuat. Keduanya berdiri pada garis yang sama dalam memperjuangkan Islam untuk menjadi rahmatan lil'alamin . Kalaupun ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, itu hanya pada hal-hal kecil. Misalnya, lambang atau tata cara beribadat masing-masing warganya yang bersifat furu'iyah , tidak prinsipil. Menurut Abdul Hamid, peneliti di LP3ES, antara Gus Dur dan Amien Rais memang ada perbedaan metode dalam memperjuangkan umat. Tapi perbedaan itu dinilai wajar. Soalnya, medan dan objek umat yang dihadapi keduanya juga berbeda. Gus Dur memimpin komunitas NU yang umumnya dari kalangan agraris dan kulturalis, sementara Amien lebih banyak berada di tengah-tengah umat urban yang modernis. Kondisi semacam ini pun, menurut Hamid, tak akan berlangsung lama. Sebab, secara sosiologis, kelak akan ada konvergensi antara pemikiran NU dan pemikiran Muhammadiyah. Baik dalam aspek keagamaan, maupun aspek kemasyarakatannya. "Saya optimistis hal itu akan terjadi, karena variabel modernisasi mempengaruhi perubahan-perubahan dan pemikiran di kalangan NU," tambah putra kiai ternama di Lamongan itu. LPTKA . Harapan Abdul Hamid tak berlebihan. Sebab, pada tingkat praktis, konvergensi antara NU dan Muhammadiyah sudah terbukti di lapangan. Misalnya di Sumatera Utara dan Jawa Timur. Di Medan, menurut Pimpinan Wilayah (PW) NU Sumatera Utara, H Ahmad Rivai Siregar, meski secara formal kelembagaan baru dalam tahap rancangan untuk kerja sama dalam kegiatan keagamaan, secara informal kerja sama antara anggota NU dan Muhammadiyah sudah berjalan apik. Hampir setiap Minggu mereka bertemu dalam satu majelis membicarakan kemaslahatan umat. "Setiap kali kami (NU dan Muhammadiyah) bertemu, kami tak pernah membicarakan perbedaan. Yang kami bicarakan adalah masalah-masalah persamaan dan kerja sama," ungkap Rivai yang juga Pembantu Rektor IAIN Sumatera Utara itu kepada UMMAT. Di Surabaya, kerja sama antara NU dan Muhammadiyah juga terjalin secara informal. Bahkan di kota pahlawan itu ada Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Taman Kanak-Kanak Al-Qur'an (LPTKA) "Mesjid Nurul Islam". Badan ini terkenal di kalangan masyarakat sebagai lembaga kerja sama antara kedua organisasi besar itu. Karena para pengelolanya rata-rata aktif di tingkat pengurus cabang, baik dari NU maupun dari Muhammadiyah. Padahal, menurut seorang pengelolanya, Drs Farhan, LPTKA yang membina 260 unit TPA/TKA itu kini secara kelembagaan bukan milik Muhammadiyah juga bukan NU. Visi Sama. Kerja sama itu tidak saja terjadi di daerah, tapi juga di tingkat pusat. Bahkan, di pusat sudah terjalin secara formal kelembagaan. Setahun yang lalu, tepatnya 4 September 1995, di aula Perpustakaan Nasional Jakarta, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah bekerja sama dengan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor menyelenggarakan seminar "Perspektif Islam Menuju Masyarakat Indonesia Modern". Dalam kegiatan ini, menurut Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Hajriyanto Y. Thohari, telah ditandatangani kesepakatan bersama (MOU), yang disaksikan Menteri Agama, untuk menjalin kerja sama lebih lanjut dalam berbagai bidang yang tak terbatas. "Waktu itu kita ingin bersama-sama melakukan berbagai kegiatan pengembangan ekonomi umat dan pengkaderan bersama untuk makin mendekatkan visi," tuturnya. Kedua aspek kegiatan itu, menurut Hajrianto, adalah agenda utama yang menjadi perhatian Pemuda Muhammadiyah dan Ansor. Sebab, keduanya merupakan organisasi kader. "Dengan kerja sama dalam kaderisasi, insya Allah, pada sekian tahun ke depan, generasi NU dan Muhammadiyah akan memiliki visi yang sama," tambahnya. Kandidat doktor antropologi UI ini juga mengungkapkan, kalaupun ada hambatan kerja sama di antara kedua ormas raksasa itu, itu sifatnya psikologis saja. Dan penyebabnya adalah trauma masa lalu, seperti ketika NU keluar dari Masyumi. Atau seperti ditulis Martin van Bruinessen: NU sering dipersepsikan lahir sebagai antitesis terhadap kaum modernis seperti Muhammadiyah. Ada kebenaran dalam tesis ini, namun, menurut antropolog asal Belanda itu, NU lahir lebih disebabkan oleh perubahan di dunia Islam secara internasional. AR Ghazali, Ali Anwar, Imam Bukhori (Surabaya), Abdul Sattar AZ (Medan).