Kembali ke menu sajian Menanti Jodoh Habibie-Gus Dur Sesudah "Rujuk Sunda Kelapa" antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais, 1 Desember lalu, sejumlah orang menginginkan "ronde" lanjutan. Tapi kali ini antara Gus Dur dan B.J. Habibie, yang konon juga dianggap "bermasalah". Banyak yang berharap, jika pertemuan antara keduanya terwujud, sejumlah persoalan bisa diselesaikan. Forum untuk mempertemukan kedua tokoh itu pun sudah dirancang. Yakni, dalam Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ICMI di Hotel Cempaka, Jakarta, pekan lalu. Tapi harapan itu pupus. Habibie menegaskan, tak ada alasan bertemu Ketua Umum PB-NU itu. "Saya kan tak ada masalah dengan Gus Dur. Karenanya, tak ada alasan bagi saya untuk bertemu dengan dia. Tak ada agenda untuk itu. Bahkan terpikir pun tidak," tandas Habibie kepada wartawan usai membuka Silaknas ICMI. Cukup mengejutkan. Mengapa Ketua Umum ICMI itu berminat bertemu Gus Dur? Konon, banyak kalangan ICMI yang kecewa terhadap pernyataan orang nomor satu PB-NU itu. Tapi, menurut Sekum ICMI, Adi Sasono, sejak awal memang tak ada rencana, baik dari Habibie maupun dari ICMI, untuk bertemu Gus Dur. Adi juga menolak anggapan adanya desakan dari umat untuk mempertemukan mereka. "Saya tak percaya kalau ada tuntutan semacam itu," ujarnya pada Ahmad Muayyad dari UMMAT. Bagi Adi, ada atau tidaknya pertemuan tersebut, bukan persoalan penting bagi ICMI. Sebab, ICMI tidak memikirkan kegiatan yang simbolik atau yang bersifat seremonial seperti itu. "Agenda ICMI adalah agenda kerja dan karya nyata. Jadi, ukurannya bukan omongan yang diramaikan," lanjut Adi. M. Dawam Rahardjo bahkan menilai pertemuan antara Habibie dan Gus Dur tak ada gunanya sama sekali. "Buat apa ada pertemuan. Gus Dur orangnya kan arogan sekali," kata tokoh LSM itu. "Pakai mengajukan syarat segala macam. Wong rencana ketemu saja belum ada, kok sudah mengajukan syarat yang bukan-bukan." Yang dirujuk Dawam tentulah "syarat" yang ditetapkan Gus Dur beberapa waktu sebelumnya, setelah isu ini diramaikan media massa. Konon, ide pertemuan datang dari Wakil Ketua PW-NU Jawa Timur yang juga Ketua ICMI, dr Muhammad Thohir. Rais Am PB-NU, KH Ilyas Ruhiyat, secara terus terang juga mendukung gagasan itu. Apa respons Gus Dur? "Prinsipnya, saya tak keberatan bertemu Habibie," katanya, seperti dikutip Media Indobesia. "Tapi dengan syarat, di akhir pertemuan dia harus membuat pernyataan bahwa ICMI tidak lagi mendominasi kekuasaan politik." Gus Dur mengajukan syarat itu karena dalam pandangannya pidato tokoh-tokoh ICMI selalu ingin memancangkan "bendera Islam" dalam kekuasaan politik di birokrasi dan ABRI. Politisasi. Mengomentari persyaratan itu, seorang pakar ilmu sosial terkemuka, yang kenal baik dengan Gus Dur, mengaku kecewa. "Dengan mengajukan syarat semacam itu, Gus Dur punya dua kesalahan sekaligus," katanya. "Pertama , ia memposisikan diri lebih tinggi dari Habibie. Kedua , memandang rendah makna silaturahmi yang sangat dianjurkan ajaran Islam." Setelah Habibie menegaskan sikapnya tentang tak bakal ada pertemuan, Gus Dur tangkas menanggapi balik. "Sejak dulu saya kemukakan, tidak ada kepentingan untuk ketemu Habibie. Dia juga tak ada kepentingan untuk ketemu saya. Ya sudah, kalian (wartawan --Red. ) saja yang meributkan," kilahnya (Merdeka, 6/11). Belakangan ini, Gus Dur memang sedang jadi bintang. Awal November lalu, misalnya, ada "Jabat Tangan Probolinggo" antara Pak Harto dan Gus Dur. Di bulan yang sama, muncul "Jabat Tangan Situbondo" antara dia dan Kasad Jenderal Hartono. Terakhir, ya.. "Jabat Tangan Sunda Kelapa" Gus Dur-Amien Rais, awal Desember lalu itu. Ternyata komentar Gus Dur terhadap ketiga episode jabat tangan itu berbeda-beda. Oleh Gus Dur, pertemuan dan jabat tangannya dengan Pak Harto diartikannya sebagai "koreksi terhadap kebijakan sebelumnya yang menyebabkan ICMI mendominasi politik". Menurut Dawam Rahardjo, komentar ini merupakan "politisasi dan politicking yang berlebihan". Di sisi lain, pertemuannya dengan Jenderal Hartono oleh Gus Dur dipandang sebagai "pertemuan yang biasa dan wajar-wajar saja". Adapun pertemuannya dengan Amien Rais disebutnya "hanya bersifat kosmetik". Karena itu, katanya, jangan terlalu bermimpi atau berharap banyak. Bermimpi atau tidak, semua pertemuan dan jabat tangan itu melegakan dan disyukuri oleh banyak orang. Baik di kalangan warga nahdliyin maupun umat Islam lainnya. Dengan kata lain, mereka semua sebenarnya sangat merindukan para pemimpinnya bersatu. Belum Jodoh . Yang menarik, khusus "Jabat Tangan Sunda Kelapa", yang mempertemukan Gus Dur-Amien Rais, para penggagasnya justru dari kalangan muda. Yakni, Ali Ridho, Ali Masykur dan kawan-kawannya para aktivis PMII, organisasi kemahasiswaan di bawah NU. Gagasan ini kemudian didukung oleh mantan Ketua Umum Riska (Remaja Islam Sunda Kelapa), Faisal Motik. "Tujuan kami adalah menciptakan harmoni agar 'ketegangan' dan jarak yang pernah muncul antara Gus Dur dan Mas Amien, atau warga NU dan Muhammadiyah, menjadi semakin berkurang," tutur Ali Ridho. Bagaimanapun, sulit untuk menghindarkan kesan bahwa pertemuan Gus Dur dan Amien Rais memang merupakan "rekayasa" anak-anak muda itu. "Mereka sudah berjabat tangan, saya pikir itu bagus. Saya ikut gembira. Lagipula, itu kan kewajiban agama. Sedihnya, untuk pertemuan seperti itu, sampai perlu 'diatur' anak-anak muda," ujar tokoh tua NU, KH Yusuf Hasyim. Namun, Mohammad Thohir, yang mengaku akrab dengan Gus Dur dan Amien Rais, pertemuan kedua tokoh itu tetap sangat bermanfaat. Bukan hanya bagi warga NU dan Muhammadiyah, tapi juga bagi bangsa Indonesia. Karena itu, ia merasa berkepentingan agar bertemunya Gus Dur dan Amien Rais yang dianggapnya sebagai babak awal itu perlu dikembangkan lebih maju lagi. Untuk itulah tokoh NU yang aktif di ICMI ini sangat mendambakan adanya pertemuan antara Gus Dur dan Habibie. Sayang, sejauh ini keduanya rupanya belum berjodoh. Tapi, lain waktu, apa mustahil? Ali Anwar, Dhorifi Z, A. Baso, MSA