Permasalahan
Umum Yang Dihadapi Pesantren
LEPAS dari persoalan analisa sejarah apakah pesantren merupakan kelanjutan
dari sistem gilda para pengamal tasawuf di Indonesia dan Timur Tengah pada
masa lalu, atau merupakan wujud dari sistem pendidikan Hindu-Budha yang
telah terislamkan, yang jelas kini banyak orang yang mulai mengakui bahwa
pesantren, termasuk juga madrasah, sudah merupakan suatu kenyataan hidup
yang melekat di bumi Indonesia. Bahkan peranan dan kedudukan pesantren
di masyarakat kita ini ternyata lebih besar, lebih kuat, dan lebih penting
dari perkiraan "resmi" sebelumnya.
Kesadaran yang mulai tumbuh mengenai pesantren itu sering disertai dengan
sikap apresiatif secukupnya. Misalnya dengan memberi penilaian bahwa sistem
pesantren adalah merupakan sesuatu yang bersifat "asli" atau
"indegenous" Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif
dan harus dikembangkan. Penilaian itu menempatkan dunia pesantren pada
deretan daftar perbendaharaan nasional, dan menumbukkan pengakuan akan
peranannya dalam pertumbuhan dan perkembangan pendidikan nasional.
Namun tidak tertutup kemungkinan adanya penilaian resmi yang pincang
(sekurang-kurangnya sebagai sisa masa lalu). Misalnya dalam pembicaraan
atau penulisan resmi, hampir tidak terdapat penyebutan pesantren sebagai
unsur pokok dalam sistem pendidikan nasional. Bahkan peranan dan sumbangan
pesantren pada sistem pendidikan nasional dinilai belum mampu menandingi
organisasi-organisasi pendidikan lainnya.
Hal itu tampaknya karena pesantren dilihat sebagai berada di luar "jalur
resmi" atau "standar" dalam hal pendidikan, dan dilihat
sebagai gejala yang seolah-olah seham saya tidak boleh ada. Sebab yang
"resmi" dan "baku" atau "standar" ialah apa
yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh pemerintah kolonial Belanda,
yaitu sistem dan filsafat pendidikan tertentu yang kini dikenal sebagai
"sekolah" atau lebih populer "sekolah umum". Namun
kembali pada apa yang disebutkan tadi, syukurlah bahwa kecenderungan yang
lebih positif sekarang mulai tampak di ufuk dunia pemikiran para sarjana
kita, khususnya di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Pesantren sendiri dalam melihat dirinya, seperti dapat diduga, terbagi
menjadi bermacam kelompok. Untuk penyederhanaan, di sini kita sebutkan
saja bekerapa kelompok yang perlu. Pertama, yang merupakan bagian terbesar,
yaitu kelompok pesantren yang tidak menyadari dirinya, apakah bernilai
baik atau bernilai kurang baik. Mereka menganggap bahwa apa yang terjadi
adalah terjadi begitu saja, tanpa ada persoalan serius yang perlu mereka
pikirkan. Kedua, adalah kelompok yang seperti seorang zealot atau fanatikus
yang karena kefanatikannya ini membuat penilaian mereka kurang obyektif.
Kelompok ini menilai bahwa pesantren dengan segala aspeknya adalah pasti
positif dan mutlak harus dipertahankan. Ketiga, adalah kelompok yang kehinggapan
perasaan rendah diri. Perasaan ini bisa menumbuhkan sikap pesimis dan kurang
percaya diri dalam "mengejar" ketertinggalannya, sehingga mereka
menganggap identitas pesantrennya tidak perlu lagi dipertahankan. Tentunya
ini akan berakibat rusaknya identitas pesantren secara keseluruhannya.
Dan keempat, mungkin kelompok ini yang paling sedikit jumlahnya, yaitu
pesantren-pesantren yang sepenuhnya menyadari dirinya sendiri baik segi-segi
positif maupun negatifnya, sanggup dengan jernih melihat mana yang harus
diteruskan dan mana yang harus ditinggalkan. Kelebihan mereka dalam melakukan
introspeksi secara obyektif ini menjadikannya memiliki kemampuan beradaptasi
secara positif pada perkembangan zaman dan masyarakat.
Adapun peranan pesantren di masa lampau adalah terlalu banyak untuk
diceritakan atau dibahas segi-segi positifnva Maka biarkan hal itu menjadi
suatu kesaksian sejarah yang mencatat tanpa salah kebijakan yang telah
dibuktikan oleh para ulama kita. Kalau kita telusuri secara historis keberadaan
pesantren ini, maka akan kita temukan kenyataan yang tak terbantah bahwa
pesantren lahir pada zamannya yang tepat. Pada saat itu pesantren sangat
fungsional memberi jawabar terhadap tantangan zaman, misalnya dalam menghadapi
penetrasi asing kolonial, baik dalam bidang politik dan terlebih lagi dalam
bidang sosial-budaya. Tetapi peranan pesantren masa kini, apalagi masa
mendatang, adalah peranan dalam menjawab tantangan yang membuatnya berada
di persimpangan jalan. Yaitu persimpangan antara meneruskan peranan yang
telah diembannya selama ini atau menempuh jalan menyesuaikan diri samasekali
dengan keadaan. Yang dimaksud baru menyesuaikan diri dengan keadaan itu
adalah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu-pengetahuan
(modern), termasuk di dalamnya bagian yang merupakan ciri utama kehidupan
abad ini, yaitu teknologi.
Dalam melihat kemungkinan peranan pesantren di masa depan itu, ada baiknya
kita mengingat sejenak "riwayat pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pada mulanya semua cabang
ilmu pengetahuan adalah berpangkal pada ilmu agama. Lembaga ilmiah di Barat,
yaitu universitas-universitas, adalah sebagia besar bersemai dari pokok
lembaga keagamaan, katakanlah "pesantren" Kristen. Tetapi karena
terkena "hukum besi perkembangan dan diferensiasi, ilmu pengetahuan
ini akhirnya bersikap independen atau sedikitnya otonom dari teologi, dan
menempuh jalan pertumbuhannya sendiri sehingga tak lagi berada dalam kekuasaan
kontrol agama (Kristen). Diibaratkaan sebuah busur, gereja telah rnelepaskan
anak panah ilmu pengetahuan, namun sayangnya anak panah itu melesat begitu
hebat sehingga tidak lagi dapat diketemukan kembali.
Maka mungkin saja dalam hubungannya dengan tugas pengembangan ilmu pengetahuan
ini nasib pesantren Islam di Indonesia ini akan sama dengan nasib gereja
dan seminari Kristen di Eropa itu. Atau apakah memang terdapat perbedaan
prinsipil dalam hal pandangan dunia Islam dan Kristen sehingga lembaga
keislaman tidak akan tertimpa nasib malang sebagaimana lembaga-lembaga
kekristenan? Ini adalah pertanyaan yang jawabnya pastilah tidak sederhana,
khususnya jika memang dikehendaki penilaian yang murni, apa adanya, dan
tidak bersifat dongengan belaka.
Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi masih sedang dengan kuat berada
dalam kekuatan dan genggaman tangan orang-orang Barat, tetapi karena efeknya
telah begitu keras menguasai kehidupan seluruh umat manusia secara mondial,
maka kita di Indonesia ini pun selain kebagian nangkanya juga tak luput
dari getahnya, yang berupa ekses-ekses negatif. Hal itu menyeret seluruh
umat manusia, termasuk kita bangsa Indonesia, ke dalam persoalan bagaimana
menempatkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi itu dalam daerah pengawasan
nilai agama atau moral dan etika. Begitu imperatifnya tantangan ini sehingga
kegagalan dalam menjawabnya akan berarti membiarkan dunia dan umat manusia
secara perlahan atau cepat meluncur ke dalam jurang kehancuran. Ataukah
memang begitu tafsiran eskatologi kita sebagaimana termuat dalam al-Qur'ân?
Kita tentu merasa keberatan jika dikatakan bahwa pesantren tidak sepenuhnya
mampu mengemban tugas keilmuan. Tetapi saya kira kita lebih keberatan lagi—atau
begitulah seharusnya—jika dikatakan bahwa pesantren telah kehilangan keampuhannya
dalam menunaikan tugas moralnya. Sebab sebagai sumber nilai, ajaran agama
yang ditekuni pesantren adalah terutama berfungsi dalam pengembangan tugas
moral. Dan tampaknya memang begitulah yang sekarang ini sedang berjalan.
Tetapi misalnya amanat ilmu itu hanya diserahkan ke "sekolah umum",
toh bukan berarti akan terlepas dari persoalan zaman. Mungkin persoalan
yang kita hadapi bisa kita kategorikan menjadi dua, yaitu:
Primer, yaitu persoalan bagaimana menyuguhkan kembali isi pesan moral
yang diembannya itu kepada masyarakat abad ini begitu rupa sehingga tetap
relevan dan mempunyai daya tarik. Tanpa relevansi dan daya tarik itu keampuhan
atau efektifitasnya tidak dapat diharapkan. Ibarat rokok, isinya boleh
dan mungkin malah harus tetap kretek, sebab ternyata lebih sehat dari jenis
“cigarette”dan mampu mengisi selera dunia. Tetapi toh harus dipikirkan
bagaimana membungkusnya dan menanganinya lebih baik, dan tentunya lebih
higienis, sehingga akan memiliki hak hidup pada zamsekarang karena memenuhi
standar yang dituntutnya.
Sekunder, yaitu persoalan yang sebenarnya sudah disarnpaikan di atas,
yaitu bagaimana menguasai sesuatu yang kini berada di tangan orang lain.
Lebih buruk lagi kemungkinannya jika pesantren hanya memilih peranan
moral saja, dengan tidak disertai dengan usaha meningkatkan mutu penyuguhan
(ini pun bertolak dari sisi bahwa dari segi isi sudah tidak ada persoalan
lagi). Maka yang akan terjadi adalah semakin lemahnya hak hidup pesantren
di tengah kehidupan abad ini, untuk kemudian tidak diakui samasekali dan
lenyap. Tidak mudah mengatakan apakah hal itu akan menguntungkan atau merugikan,
atau menunjuk siapa yang untung dan siapa yang rugi, (misalnya dapat dikiaskan
dengan kasus lenyapnya kesultanan-kesultanan di Indonesia sekarang), tetapi
yang jelas pesantren dengan segala aspeknya akan menjadi tinggal kenangan
lama.
Maka dari itu, kemungkinan ideal yang bisa dilakukan pesantren adalah
dengan mengambil posisi sebagai pengembang amanat ganda (duo mission) yaitu
amanat keagamaan atau moral dan amanat ilmu pengetahuan. Dua amanat ini
dilakukan serentak dan proporsional sehingga tercapai keseimbangan yang
diharapkan. Tuntutan utama pelaksanaan amanat ganda ini adalah efisiensi
yang menyangkut:
- Penggunaan waktu, dana, dan daya (juga ruang) dengan sehaik-baiknya.
Kalau bisa faktor-faktor itu harus dipergunakan dua kali lebih efektif
daripada yang ada sekarang ini.
- Mungkin "streamlining" apa yang diperlukan sebagai pengetahuan.
Barangkali hal ini tidak perlu mengenai isi atau materi, tetapi metode
atau cara penyampaian dalam pengajaran rnisalnya. Juga menyangkut pengintensifan
segi-segi yang bersifat pembentukan watak dari penciptaan suasana keagamaan.
- Dan mungkin pula pemilihan yang tepat tentang ilmu pengetahuan yang
terdekat dalam jangkauan penguasaan. Lebih-lebih desakan keperluan ini
relatif mudah dideteksi, yaitu tinggal melihat dan membaca kondisi masyarakat
sesuai dengan ruang dan waktunya.
Akhirnya barangkali ada sangkut-pautnya dengan persoalan kita sekarang
ini untuk mengingat-ingat dan merenung-renung peringatan dalam al-Qur'ân,
bahwa "Adapun buih maka akan lenyap tak berbekas, sedangkan sesuatu
yang berguna untuk umat manusia maka akan tetap menghujam di Bumi."
|